11 Oktober 2009
Jangan Bilang Homoseksual itu Gangguan Jiwa
Tentang homoseksual ini masyarakat Indonesia umumnya masih memiliki pikiran yang sempit, mungkin karena masalah seputar seksual masih tabu untuk menjadi bahan pembicaraan ( walaupun sudah bukan tabu lagi untuk dilakukan atau dinikmati di kalangan remaja jaman sekarang). Buktinya masih banyak yang menyamakan antara kaum homoseksual dengan kaum banci (transeksual). Padahal diantaranya jelas-jelas sangat berbeda dalam ilmu kejiwaan. Selain itu, masyarakat Indonesia masih sangat alergi terhadap kaum gay atau lesbian dan menganggap mereka adalah orang-orang yang sakit jiwa.
Komunitas homoseksual memang sudah lama diketahui ada pada dunia manusia. Contohnya Leonardo da Vinci adalah salah satu tokoh besar yang disebut-sebut sebagai seorang homoseksual. Walaupun hal ini sudah diketahui keberadaannya di tengah sosial sejak lama, namun polemik dan kontroversi di dalamnya masih terus berkecamuk tiada akhir, khususnya di negara-negara dengan kultur budaya dan agama yang kuat seperti halnya di negara kita. Awalnya homoseksual memang digolongkan sebagai suatu bentuk deviasi seksual (penyimpangan) dalam bidang psikiatri. Namun seiring dengan waktu dan diikuti dengan kemajuan teknologi penelitian, maka didapatkan bahwa homoseksual memiliki faktor penyebab kuat berupa defek genetic atau dengan kata lain segi biologis.
Hal ini serupa dengan misalnya penyakit kencing manis, hipertensi, bahkan beberapa retardasi mental. Dengan kata lain, dunia medis menyadari bahwa bukan faktor kehendak atau perilaku semata yang membuat seseorang itu menjadi seorang gay amupun lesbian, melainkan faktor genetik yang jelas-jelas tidak dapat ditolak memiliki kontribusi yang lebih besar. Menyadari hasil objektif demikian, maka sejak 1973 Komite nomenklatur di USA sudah menyatakan bahwa homoseksual bukan lah suatu psikopatologi atau gangguan jiwa. Jadi jika saat ini kita mencari istilah homoseksual di buku pedoman ilmu psikiatri (contohnya DSM IV maupun PPDGJ III-suplemen), maka kita tidak akan menemukan kata-kata gangguan homoseksual lagi. Namun perubahan paradigma secara keilmuan ini tidaklah semudah itu dapat diterima masyarakat. Polemik dan pandangan negatif tentang kaum ini masih terus berlanjut di masyarakat.
Homoseksual dapat didefinisikan sebagai suatu keinginan membina hubungan romantis atau hasrat seksual dengan sesama jenis, jika sesama pria dinamakan gay sedangkan sesama wanita sebuat saja lesbian. Sebenarnya pengertian homoseksual itu meliputi 3 dimensi yaitu orientasi seksualnya yang ke sesama jenis, perilaku seksual dan juga tentang identitas seksualitas diri. Jadi masalah homoseksual bukan semata perkara hubungan seksual dengan sesama jenis semata.
Hal inilah yang seringkali membuat kita merasa najis dengan kaum homoseksual, karena berpikiran bahwa di dalam otak mereka hanya berisikan semata nafsu birahi dengan sesama jenis saja, padahal homoseksualitas itu mencangkup identitas diri sekaligus perilaku mereka juga. Itu semua bukan dapatan semata dari faktor lingkungan, melainkan faktor genetiklah yang membuat perkara ini menjadi sangat sulit. Memang ada jenis homoseksual yang terjadi karena dipicu faktor lingkungan semata, misalnya suasana dalam penjara yang merupakan populasi homogen serta di biara seperti skandal sodomi dalam gereja di USA. Homoseksual semacam ini sesungguhnya jauh lebih muda ditangani karena hal tersebut tercangkup dalam segi perilaku semata, sementara segi identitas diri relatif masih normal (homoseksual situasional).
Dalam ilmu psikiatri, homoseksual yang dianggap sebagai suatu bentuk gangguan jiwa hanyalah homoseksual egodistonik. Homoseksual jenis ini bercirikan pribadi tersebut yang merasa tidak nyaman dengan dirinya dan tidak dapat menerima kenyataan orientasi seksualnya yang abnormal tersebut. Akibatnya pribadi semacam ini dihantui kecemasan dan konflik psikis baik internal maupun eksternal dirinya.
Homoseksual distonik memberikan suatu distress (ketegangan psikis) dan disability (hendaya, gangguan produktivitas sosial) sehingga digolongkan sebagai suatu bentuk gangguan jiwa. Pribadi homoseksual tipe ini seringkali dekat depresi berat, akibatnya seringkali mereka mengucilkan diri dari pergaulan, pendiam, mudah marah dan dendam, aktivitas kuliah terbengkalai dan sebagainya.
Homoseksual jenis inilah yang dicap sakit mentalnya dan memang harus diterapi. Di negara dengan budaya dan agama yang kuat seperti di negara kita, celakanya homoseksual jenis inilah yang mendominasi. Kaum homoseksual di tanah air sulit untuk menerima kenyataan dirinya sebagai kaum abnormal seperti demikian, maka mereka sering menyembunyikan orientasi yang dicap salah dalam masyarakat tersebut. Represi semacam demikian akan berakibat gejolak negatif dalam dirinya sehingga tampil ke permukaan sebagai stress,depresi dan gangguan dalam relasi sosial. Mereka sering gagal dalam menemukan identitas dirinya ditengah ancaman cambuk agama dan budaya yang sedemikian kuat.
Kaum homoseksual lain justru dapat menerima apa yang ada di dirinya sebagai suatu bentuk hal yang hakiki. Pribadi semacam ini berani coming out atau menyatakan identitas dirinya yang sesungguhnya sehingga konflik internal dalam dirinya lepas. Kaum homoseksual ini dinamakan egosintonik, tidak dikatakan sebagai kelompok gangguan jiwa karena mereka tidak mengalami distress amupun disability dalam kehidupan mereka. Bahkan mereka yang sukses dengan coming out seperti demikian seringkali lebih produktif dan sukses dalam profesi mereka seperti misalnya perancang baju, penata rias dan rambut,dll.
Menjadi seorang dengan orientasi seksual ke sesama jenis sesungguhnya bukan semata pilihan pribadi homoseksual, melainkan itu merupakan kesalahan genetik. Kecenderungan itu sesungguhnya sudah ada sejak lahir namun baru naik ke permukaan setelah seorang individu masuk ke dalam fase sosial dalam tahap perkembangannya.
Bahkan seorang Sigmund Freud berani mengatakan bahwa pada setiap diri kita sebenarnya ada bakat untuk homoseksual, dan proses interaksi sosial dalam perkembangan selanjutnyalah yang menyebabkan bakat itu dapat muncul atau tertahankan. Permasalahan jiwa pada pribadi homoseksual sebenarnya jauh lebih banyak terkait faktor eksternal dirinya atau berupa tekanan dari masyarakat. Mereka yang tidak berani coming out ke masyarakat akan dihantui konflik identitas diri seumur hidupnya sedangkan mereka yang memberanikan coming out tetap menghadapi resiko dicibir atau malah dikucilkan masyarakat.Jadi sebenarnya homoseksual itu lebih berupa ‘penyakit masyarakat’ ketimbang penyakit jiwa karena memang yang menimbulkan penyakit itu adalah perlakuan dari masyarakat sendiri.
Kaum homoseksual di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, mereka ada di sekitar kita namun seringkali kita memang tidak tahu karena umumnya mereka termasuk yang memilih untuk non coming out karena takut akan ancaman sosial-agama dari masyarakat. Sebagai catatan dari suatu survey dari Yayasan Priangan beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah terlibat dalam perilaku homoseksual. Data lain menyebutkan kaum homoseksual di tanah air memiliki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota kota di Indonesia. Hal di atas menggambarkan bahwa jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit.
Bagaimanapun kita sebagai pribadi yang terpelajar hendaknya mau mengerti latar belakang kaum homoseksual, tidak semata merasa jijik atau malah menolak mereka. Tentunya Anda tidak bisa mengucilkan teman Anda yang berambut ikal karena memang gen nya membawa sifat ikal seperti itu bukan? Begitu pula homoseksual, bukan kemauan mereka untuk menjadi homoseksual, namun bedanya gen orientasi seksual semacam itu mencangkup pula segi perilaku sosial bukan semata penampilan fisik seperti halnya rambut ikal. Dukungan sosial justru sangat dibutuhkan oleh kaum homoseksual, dengan demikian mereka dapat menemukan dan mengaktualisasikan identitas dirinya serta terbebas dari distress, dengan demikian mereka dapat tetap produktif dalam masyarakat.
Homoseksual harus dibedakan dengan gangguan transeksual (banci). Transeksual masih termasuk dalam gangguan jiwa jenis preferensi seksual. Bedanya yang mudah diantara keduanya adalah bahwa kaum homoseksual tidak pernah ingin mengganti jenis kelaminnya (misal dengan operasi plastik), tidak pernah berhasrat mengenakan pakaian lawan jenis (melainkan kebanyakan gay berpenampilan macho dan necis). Selain itu kaum transeksual terutama memiliki dorongan untuk menolak jenis kelaminnya, dan mengingini jenis kelamin lawan jenisnya. Jadi pengertian transeksual lebih ke arah penolakan akan identitas dirinya sebagai seorang pria atau wanita, bukan menekankan kepada orientasi seksual (keinginan dengan siapa berhubungan seksual / membina relasi romantis). Jadi kaum banci atau waria sukanya dengan cowok atau cewek dunk jika begitu. Wah sebaiknya Anda tanya ke mereka langsung deh untuk pertanyaan satu ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Holla semuanx
kenalan yuk, gue ketua gaya nusantara
www.manjam.com/wariamilenium
www.manjam.com/jantanngondex
www.manjam.com/belamino
www.manjam.com/dijan
www.manjam.com/kobudi
www.manjam.com/budijantoko
add gue ya, yuuukkk, tarik mang!
Posting Komentar