Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

22 Agustus 2008

Jakarta - Pengunjung beberapa kafe di Jakarta sejak dua pekan lalu selalu dikagetkan dengan razia polisi. Tidak biasanya polisi melakukan razia di tempat itu. Di lokasi yang biasa dijadikan tepat kumpul kalangan homoseksual khususnya gay itu, polisi memeriksa indentitas diri (KTP) para pengunjung. Saat itu beberapa pengunjung ada yang digelandang ke kantor polisi.

"Malam itu polisi bukan melakukan razia narkoba. Saya kira razia itu terkait kasus pembunuhan yang dilakukan Ryan. Sebab di malam yang sama kafe di Blok M, tempat kumpul teman-teman gay juga dirazia," jelas Marcel, seorang gay kepada detikcom.

Asumsi Marcel, tempat mereka (kalangan gay) kumpul bukan tempat ajep-ajep (dugem). Karena hiburan musik yang disuguhkan lagu-lagu top fourty. Sehingga para pengunjung di sana hanya minum-minum saja sambil mencari pasangan sesama pria.

Memang sejak kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Verry Idham Henyansyah alias Ryan, kalangan gay jadi sorotan masyarakat. Sebab kebetulan Ryan, pelaku pembunuhan sadis tersebut, adalah seorang gay. Beberapa tempat yang menjadi lokasi kumpul kalangan ini belakangan menjadi sasaran razia polisi.

Sejumlah pelaku homoseksual kemudian ramai-ramai mengadukan kekhawatirannya ke sejumlah organisasi transeksual, seperti Arus Pelangi, dan Our Voice. Mereka mengaku takut terkena razia atau diusir dari kos-kosan.

Dede Oetomo, pendiri Yayasan GAYa Indonesia (YGN), salah satu perkumpulan gay, mengatakan, keresahan kalangan gay di beberapa daerah, terutama Jakarta, akibat pemberitaan seputar kasus Ryan. Kondisi ini bertambah parah, karena sejumlah kriminolog melontarkan pendapat yang memojokan gay.

"Padahal dalam kasus ini terbukti pembunuhan Ryan bukan soal hubungan seks sesama jenis. Tapi lebih kepada tindak kriminal murni. Dari sebelas korban Ryan, hanya satu yang karena cemburu. Selebihnya karena ia ingin menguasai harta milik korbannya," ujar Dede.

Menurut Dede, soal diskriminasi dan pengucilan memang bukan hal baru bagi kalangan gay. Tapi setelah kasus Ryan, bukan soal diskriminasi itu yang ditakutkan. Melainkan tindak kekerasan atau pengusiran yang akan menimpa kalangan gay.

Seharusnya, lanjut Dede, masyarakat tidak menghubung-hubungkan kasus kriminal dengan orientasi seksual seseorang. "Kalau mau jujur, sebenarnya pembunuhan yang dilakukan heteroseksual jauh lebih banyak. Tapi karena kasus yang melibatkan gay sangat jarang. Kasus ini menjadi meledak luar biasa," aku Dede.

Diakuinya, geger kasus Ryan menimbulkan persepsi miring terhadap kalangan gay. Masyarakat kemudian menganggap kalau seorang gay hidup dari melacurkan diri sebagai gigolo, seperti yang dilakukan Ryan. Ada juga yang berpersepsi gay identik dengan tindak kriminal. Sehingga gay dianggap sampah masyarakat.

Padahal, jelas Dede, banyak gay dan lesbian yang sukses di profesi masing-masing yang digelutinya. Ada yang menjadi seniman, penyiar televisi, dosen, dokter, pengusaha, ataupun menteri. "Namun hal-hal positif itu tidak pernah mendapat perhatian masyarakat," kata Dede, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya.

Dede menambahkan, perbedaan gay dengan pria pada umumnya hanya soal orientasi seksnya. Sedangkan untuk mencari nafkah mereka sama seperti yang lain. Ia kemudian menyayangkan jika perbedaan orientasi seks tersebut menjadikan gay terpinggirkan di lingkungan kerja. Sebab baginya, jadi seorang gay atau lesbi adalah pilihan, dan tidak ada yang dirugikan karenanya.(ddg/iy)

Homoseksual di Sekitar Kita


Kisah Supernova di Dunia Nyata

Jakarta - Ruben dan Dhimas merupakan tokoh dalam novel Supernova karya Dewi Lestari. Keduanya dikisahkan menjalani hidup sebagai pasangan gay. Pasangan ini kemudian berikrar membuat suatu karya masterpiece 10 tahun kemudian. Karya keduanya kemudian meledak dan sukses.

Lantas bagaimana dengan kalangan gay di dunia nyata? Apakah sesukses kisah Ruben dan Dhimas? "Sebenarnya banyak orang dari kalangan gay yang sukses dalam karier maupun kehidupan ekonominya, termasuk di Indonesia," jelas Marcel, seorang gay yang kini menjadi konsultan Family Health International di Jakarta.

Menurut Marcel, yang pernah berpacaran dengan pria asal Meksiko saat kuliah di Amerika, perbedaan gay dengan pria heteroseksual hanya dari orientasi seksnya. Selain dari itu mereka menjalani hidup dan bekerja layaknya manusia yang lain.

Ia menjelaskan, sekarang ini keberadaan kalangan gay dan lesbian di Indonesia tidak asing lagi di lingkungan kerja. "Mereka sekarang lebih terbuka dalam menunjukan jati dirinya sebagai seorang gay. Dan ternyata mereka diterima di lingkungan kerjanya," ujar Marcel, kepada detikcom.

Tapi memang, lanjut Marcel, khusus di Indonesia, mereka baru diterima di lingkungan kerja sejak era reformasi. Itupun hanya di sektor swasta. Sedangkan di lingkungan pegawai negeri, banyak gay yang belum berani mengungkapkan jati dirinya.

"Dulu, Dede Oetomo (Ketua organisasi gay dari Yayasan Gaya Nusantara) pernah dicoret sebagai konsultan sebuah pekerjaan di Bappenas yang dibiayai UNDP. Tapi itu saat Orde Baru. Sekarang sudah tidak seperti itu," ungkap Marcel.

Saat ini Dede Oetomo menjadi lektor pada program pascasarjana di Universitas Katolik Widya Mandala. Peraih gelar Doktor dari Cornell University, Amerika ini sekarang juga menjadi dosen tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya.

Selain sibuk mengajar, Dede juga salah satu pendiri dan aktivis Lambda Indonesia pada 1982. Organisasi gay ini yang pertama lahir di Indonesia. Beberapa tahun kemudian ia mendirikan Yayasan GAYa Nusantara. Karena aktivitasnya ini Dede kemudian mendapat anugerah Felipa de Souza Award dari International Gay and Lesbian Human Rights Commision (IGLHRC), pada tahun 1998, dan Utopia Award for Pioneering Gay Work in Asia 2001.

Lain lagi kisah Stevanus Theodurus Gary Natanael, yang sekarang menjadi aktivis yayasan GESSANG (Gerakan Sosial, Advokasi, dan HAM untuk Gay). Stevanus yang mengaku sudah menjadi gay sejak lahir, mulai SMP sudah masuk ke dunia malam dan sudah jadi ‘kucing’ (gigolo). Aktivitas seperti itu dilakoninya selama dua tahun.

Saat duduk di kelas tiga SMP, ia mulai merasa resah dan berpikir, untuk meninggalkan aktivitas gigolonya itu dan mulai berpacaran dengan sesama pria. Sekalipun saat itu ia juga pacaran dengan perempuan.

Ketika duduk di bangku SMA, ia mulai memberanikan diri masuk ke dalam komunitas gay. Tapi Stevanus masih belum berani terang-terangan kepada keluarga dan teman-temannya. Baru saat kelas tiga SMA ia berani berterus terang kepada keluarga.

Ketika kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), pria kelahiran Solo 1987 ini, mulai mengekplorasi dirinya sebagai seorang gay. Hingga saat ini ia terus berjuang untuk membuka cakrawala di kalangan mahasiswa UKSW tentang kehidupan gay dan lesbian. Untungnya lagi, di kampusnya ia tidak pernah dikucilkan.

Mahasiswa FISIPOL Jurusan komunikasi ini kemuidan meraih sebuah kepercayaan untuk memimpin Kota Salatiga mengarahkan kepada komunitas With Men Who Have Sex With Men (MSM) alias gay untuk mencegah adanya penyebaran virus HIV/AIDS.

Pengamat sosial Sigit Pranawa mengatakan, homoseksual hanyalah salah satu bentuk orientasi seksual seseorang. Gay hanyalah masalah orientasi seksual. Sedangkan dalam kehidupan, mereka tetap manusia yang bisa berpikir, berkarya dan berprestasi seperti manusia lainnya.

Lulusan S2 dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengungkapkan, komunitas gay tidak seperti kelompok masyarakat umumnya. Menurutnya, kelompok gay punya ikatan sosial yang kuat dalam beraktivitas. Mereka saling mendukung dan menunjang satu sama lainnya. Hal ini dilakukan karena mereka sadar kalau jumlah mereka sedikit. Sehingga mereka berupaya untuk saling menjaga keutuhan. Setidaknya, menurut Sigit, ada 221 tempat pertemuan kaum gay di 53 kota di seluruh Indonesia.(ddg/iy)