Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

03 November 2010

Memahami Homoseksualitas (Membaca Ulang Pemahaman Islam)

…Adakah Islam berbicara soal homo?
Berkaitan dengan identitas gender, Al-Qur’an hanya menyebut dua jenis identitas, yakni laki-laki dan perempuan (ar-rajul dan al-mar’ah). Sementara, literatur fikih menyebut empat varian, yaitu: pertama, perempuan (al-mar’ah); kedua, laki-laki (al-rajul); ketiga, waria atau banci (al-khunsa), dan keempat, laki-laki yang keperempuanan (al-mukhannits) atau perempuan yang kelaki-lakian (al-mukhannats).



Adapun istilah untuk perilaku seksual ditemukan kata liwath yang berarti sodomi. Menarik dicatat, bahwa kajian fikih tidak mengenal istilah untuk orientasi seksual, baik hetero maupun homo serta lainnya. Karena tidak ditemukan istilah bagi orientasi seksual dalam literatur fikih, tidak heran setiap kali pembahasan soal homo dalam fikih selalu menggunakan kata al-khunsa’(waria atau banci). Jelas sekali bahwa Bahasa Arab tidak mengenal kosa kata untuk orientasi seksual, baik hetero maupun homo dan lainnya. Lalu, bagaimana mungkin Islam yang lahir di Arab mengutuk homo? Homo berkaitan dengan orientasi seksual, sedangkan khunsa berhubungan dengan identitas gender. Penelusuran terhadap kitab-kitab fikih menyimpulkan bahwa yang dikutuk sesungguhnya adalah berkaitan dengan perilaku seksual, yakni mengekspresikan perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath dengan cara yang keji. Dan ini bukan hanya ditujukan kepada kelompok homo, juga selain homo.

Para fukaha berbeda pendapat soal hukuman terhadap pelaku liwath yang keji. Imam Syafi’i menegaskan bahwa pelaku liwath dapat dikenai hukuman hanya jika dilakukan di depan publik. Selanjutnya, al-Auza”i dan Abu Yusuf menyamakan hukuman sodomi dengan zina. Fakta sejarah tidak menjelaskan adanya kasus penghukuman atas praktek sodomi pada masa Nabi. Eksekusi pertama terhadap perilaku sodomi justru terjadi pasca Nabi. Misalnya, pada masa Abu Bakar terjadi hukuman mati terhadap pasangan pelaku sodomi. Lalu, masa khalifah Umar bin Khattab, beliau menginstruksikan agar seorang pelaku sodomi dibakar hidup-hidup. Namun, karena mendapat kritik keras, lalu hukumannya dirajam.

Secara teologis penolakan sebagian besar masyarakat Islam terhadap homoseksual dinisbahkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang berkisah tetang Nabi Luth as. Di antaranya, Q.S. al-Naml, 27: 54-58, Hud, 11:77-83; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26:160-175). Di samping Al-Qur’an ditemukan juga sejumlah hadis Nabi. Di antaranya, hadis riwayat Tabrani dan al-Baihaqi; Ibnu Abbas; Ahmad, Abu Dawud, Muslim dan Tirmizi. Informasi dan petunjuk yang dapat disimpulkan dari sejumlah ayat dan hadis itu sebagai berikut: Pertama, Luth adalah Nabi dan Rasul yang diutus Allah swt sebagai pembawa risalah tauhid sebagaimana nabi dan rasul lainnya. Kedua, Nabi Luth diutus kepada suatu kaum untuk mengajarkan manusia cara berketuhanan dan berkemanusiaan yang benar. Ketiga, umat Luth melakukan kezaliman, ketidakadilan, dan kedurhakaan sehingga Allah murka dan menimpakan bencana, azab, dan malapetaka yang dahsyat. Keempat, Salah satu bentuk pelanggaran kaum Luth adalah mengekspresikan perilaku seksual terlarang menurut agama; mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan penganiayaan dalam bentuk sodomi. Al-Qur’an menggunakan empat kosa kata yang tidak secara langsung dapat diartikan liwath atau sodomi, yaitu al-fahisyah (al-A’raf, 7:80); al-sayyiat (Hud, 11:78); al-khabaits (al-Anbiyaa, 21: 74) dan al-munkar (al-Ankabuut, 29:21). Kelima, ada kesan bahwa pengikut Luth adalah biseksual. Sebab, dikatakan kaum laki-laki mendatangi sesama jenis dan berpaling dari isteri-isteri mereka. Umat Luth mengekspresikan perilaku seksual analseks (sodomi atau liwath) dengan cara yang amat keji dan tercela. Ada indikasi kuat telah terjadi perilaku kekerasan dan eksploitasi berbasis seksual. Keenam, Allah juga menimpakan azab pedih terhadap isteri Luth, padahal tidak ada informasi dia lesbian atau mengekspresikan perilaku seksual terlarang. Hal itu menunjukkan bahwa murka Allah kepadanya bukan karena faktor homo. Ketujuh, Laknat dan azab pedih dari Allah bukan hanya monopoli kaum Luth yang homo, melainkan juga mengenai umat nabi-nabi lainnya yang bukan homo (tidak ada informasi bahwa mereka homo), seperti umat nabi Nuh, Hud, Syuaib, Saleh, dan Musa. Bahkan, azab bagi umat Nuh jauh lebih dahsyat sehingga peristiwa itu disebut kiamat pertama. Artinya, Allah selalu murka kepada umat yang berbuat keji dan zalim serta melampaui batas, tidak peduli dengan orientasi seksual dan identitas gender mereka. Kedelapan, Meskipun dalam hadis, seperti hadis Ibnu Abbas, diperintahkan membunuh kaum homo, namun Al-Qur’an tidak menyebutkan perintah untuk mendiskreditkan kaum homo, apalagi membunuhnya. Kesembilan, Allah Maha Tahu siapa yang patut menerima azab-Nya; dan siapa pula berhak mendapatkan rahmat dan karunia-Nya (al-Ankabuut, 29:21). Manusia -apa pun orientasi seksualnya- hanya dapat berfastabiqul khairat, berlomba berbuat kebajikan seoptimal mungkin. Jadi, interpretasi tentang homo selalu dikaitkan dengan kisah Luth. Umumnya, umat Islam menganggap pemahaman itu sudah final dan mutlak, tidak dapat dipertanyakan lagi. Namun, kajian kritis akibat tuntutan dinamika masyarakat, serta penemuan sains dan teknologi membawa kepada sejumlah pertanyaan baru: Apakah pengikut Luth dilaknat hanya karena memiliki orientasi seksual homo yang tidak mungkin diingkarinya karena bersifat takdir?; atau karena mereka mengekspresikan perilaku seksual analseks secara keji, seperti sodomi? Lalu, apakah kaum homo yang tidak mengekspresikan perilaku seksual secara keji, yakni perilaku seksual yang mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, eksploitasi dan membahayakan kesehatan, seperti sodomi, perkosaan, pedofili, berzina, melacurkan diri, dan gonta-ganti pasangan- juga tetap akan dilaknat? Apakah laknat Allah kepada kaum Luth yang homo lebih dahsyat daripada laknat Allah kepada umat nabi Nuh yang bukan homo? Sementara, Al-Qur’an mengisahkan azab dan siksaan Allah kepada umat Nuh -yang bukan homo- (tidak ada informasi mereka homo) adalah paling dahsyat sehingga disebut kiamat pertama karena memusnahkan semua makhluk, kecuali sedikit pengikut Nuh. Selain itu, pertanyaan lain: mengapa para ulama begitu antusias menceritakan kisah Luth sebagai dakwah anti homo? Penulis jadi teringat pak guru di madrasah Tsanawiyah, mendramatisasi kisah ini di dalam kelas sehingga membuat beberapa murid, termasuk penulis menggigil ketakutan dan mimpi buruk. Belakangan penulis dapat info, ternyata dia seorang homo, persisnya gay.

Adalah suatu fakta yang terang benderang bahwa tafsir keagamaan sangat dihegemoni oleh heteronormativitas, nilai-nilai patriarkal dan bias gender, yaitu ideologi yang mengharuskan manusia berpasangan secara lawan jenis; dan harus tunduk pada aturan heteroseksualitas yang menggariskan tujuan perkawinan semata-mata untuk prokreasi, menghasilkan keturunan. Akibat hegemoni heteronormativitas, nilai-nilai patriarkal dan bias gender dalam fikih, umumnya masyarakat Islam memandang seksualitas yang normal, baik, natural dan ideal adalah heteroseksual, marital, reproduktif dan nonkomersial. Sebaliknya, homo dan orientasi seksual lainnya dipandang immoral, tidak religius, haram, penyakit sosial, menyalahi kodrat, dan bahkan dituduh sekutu setan. Dalam komunitas Muslim mainstream, penolakan terhadap homo dipandang mutlak, tidak dapat dipertanyakan lagi, maka setiap upaya mengkritisi pandangan Islam soal ini, apalagi mengubahnya dianggap perbuatan melawan hukum Islam, menentang syari’ah. Alasannya, sudah merupakan ijma’(konsensus fukaha) bahwa homo hukumnya haram, pelakunya harus dihukum berat: dibunuh, dirajam atau dibakar. Titik!!!

Sejumlah pertanyaan penting muncul: Apakah umat Islam sekarang tidak boleh membaca ulang pandangan fukaha terdahulu yang begitu rigid dan kaku soal homo? Apakah tidak mungkin merumuskan kembali pandangan keislaman yang lebih akomodatif dan lebih humanis terhadap homo mengingat banyak hal telah berubah dalam realitas sosiologis, sebagai akibat kemajuan peradaban manusia dan perkembangan yang pesat dalam sains dan teknologi? Apakah mustahil umat Islam sekarang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi terhadap kelompok homo yang tertindas akibat orientasi seksual dan identitas gendernya? Bukankah Islam mengklaim diri sebagai agama pembawa rahmat dan janji pembebasan bagi semua kelompok mustadh’afin (tertindas) seperti dibuktikan Rasul pada masa awal perjuangannya? Bukankah Islam mengklaim diri sebagai agama penentang ketidakadilan dan semua bentuk kekerasan, pelecehan, diskriminasi, pengucilan dan stigmatisasi terhadap siapa pun? Bukankah Islam mengajarkan pemeluknya mencintai dan mengasihi sesama manusia, bahkan juga mengasihi semua makhluk?

Tawaran pembaharuan pemikiran

Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan hukum Islam adalah suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Hal itu mengingat Al-Qur’an dan Hadis meski mempunyai aturan bersifat hukum, namun jumlahnya amat sedikit jika dibandingkan dengan kompleksitas persoalan sosial kontemporer manusia yang memerlukan ketentuan hukum. Untuk itu, perlu sekali menggali hukum-hukum baru, sebagaimana pernah dilakukan umat Islam pada masa-masa awal, sehingga tersedia hukum Islam yang lebih responsif dan lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kaitan pembaharuan hukum ini penulis mengusulkan tiga prinsip berikut:

Prinsip maqashid al-syari`ah

Pembaruan hukum Islam harus tetap mengacu kepada sumber utama Islam: Al-Qur`an dan Sunnah. Penting dicatat, pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks, melainkan lebih banyak kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual sambil tetap mengacu kepada prinsip maqashid al-syari`ah (memperhatikan tujuan inti syariat). Prinsip ini mengandung nilai-nilai keadilan (al-`adl), kemashlahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (al-rahmah), keragaman (al-ta`addudiyah), dan nilai-nilai hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah). Berangkat dari prinsip Maqashid al-Syari`ah, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah yang bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama Islam; dan ayat furu`iyah yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal spesifik. Kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua, ayat-ayat tentang uqubat (bentuk hukuman), dan hudud (bentuk sanksi), serta ketentuan perkawinan, waris, dan transaksi sosial. Sayangnya, umat Islam lebih menfokuskan perhatian pada ayat-ayat partikular, dan mengabaikan ayat-ayat universal sehingga sering lupa pada tujuan inti syariat, yaitu memanusiakan manusia.

Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam setiap perumusan hukum Islam, dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri. Pernyataan senada dilontarkan Ibnu Rusyd: kemashlahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan. Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam berkesimpulan bahwa seluruh ketentuan ajaran Islam harus diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.

Prinsip relativitas fiqh

Fiqih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah, Sifatnya relatif, tidak absolut dan dapat berubah. Sebagai hasil ijtihad atau rekayasa cerdas pemikiran manusia dalam kaitan dengan hukum, tidak ada jaminan bahwa pandangan fikih tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan. Fikih selalu dipengaruhi faktor-faktor sosio-kultural dan sosio-historis. Oleh karena itu, fikih harus diyakini sebagai hal yang relatif, tidak absolut, dan tidak mungkin berlaku abadi untuk semua ragam manusia sepanjang masa.

Boleh jadi, suatu pandangan fikih cocok untuk suatu masyarakat tertentu, kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk masyarakat lain, pada kurun waktu lain, yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda. Artinya, suatu pandangan fikih mungkin dapat diterima, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi umat Islam bersikap kritis dan berpikir rasional. Pembaharuan hukum Islam hanya dapat terjadi jika produk fikih diperlakukan sebagai hal yang relatif. Sebab, manakala umat Islam menganggap fikih sebagai hal yang absolut akan membuat mereka berhenti berfikir rasional dan bersikap kritis. Selanjutnya, umat Islam akan terjebak dalam kejumudan berpikir dan pada gilirannya akan membuat mereka terbelakang dalam seluruh bidang kehidupan, sebagaimana terjadi pada masa sekarang.

Perlu dipahami bahwa seorang faqih, seobyektif apa pun dia, akan sulit melepaskan diri dari pengaruh budaya, hukum dan tradisi yang berkembang pada masa atau lingkungan di mana dia hidup. Karena itulah, pembukuan pendapat-pendapat fiqh dalam suatu masyarakat yang bias gender tentu akan melahirkan kitab-kitab fiqh yang memuat pandangan-pandangan keagamaan yang tidak ramah terhadap perempuan (missoginis). Demikian pula, pembukuan pendapat-pendapat fiqh dalam suatu masyarakat hetero yang homofobia (anti homo) tentu akan melahirkan kitab-kitab fiqh yang memuat pandangan-pandangan keagamaan yang diskriminatif terhadap kelompok homo.

Prinsip tafsir tematik

Al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan muatan nilai-nilai luhur dan ideal, hanya saja ketika nilai-nilai itu berinteraksi dengan beragam budaya manusia terjadi sejumlah distorsi, baik sengaja maupun tidak. Pemahaman yang distortif itu muncul, antara lain karena perbedaan tingkat intelektualitas; dan pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis. Di samping itu, teks-teks suci itu sendiri mengandung makna-makna literal dan simbolis. Kosa kata bahasa Arab sebagai bahasa teks-teks suci dikenal sangat kaya makna sehingga satu kata dapat memiliki sejumlah penafsiran berbeda tergantung konteksnya. Oleh karena itu, perlu sekali menggunakan metode tafsir tematik dalam memahami sebuah isu dalam Al-Qur’an, termasuk isu seksualitas.

Kajian terhadap metode tafsir tahlily yang selama ini banyak dipakai menyimpulkan sedikitnya lima kekurangan. Pertama, penafsiran tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sektarian (al-ta’milah al-‘ashabiyah). Kedua, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh model penafsiran ini kelihatan mengada-ada. Ketiga, penafsirannya amat diwarnai oleh pandangan non-Islam, seperti pandangan isra’iliyat atau dipengaruhi tradisi Judeo-Kristiani kuno. Keempat, kemukjizatan Al-Qur’an (I’jaz) cenderung diabaikan dalam tafsir konvensional ini. Terakhir, keunikan dan kedahsyatan retorika Al-Qur’an luput dari pengamatan para mufasir yang memakai metode tradisional ini.

Oleh karena itu, ditawarkan sebuah solusi penafsiran yang disebut penafsiran tematik dengan inductive method. Metode penafsiran ini dibangun berdasarkan teori yang meyakini bahwa seluruh isi Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang integral, utuh dan tidak terpisahkan. Prinsipnya adalah satu bahagian dalam Al-Qur’an menjelaskan bahagian lainnya (Al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan). Prinsip-prinsip dasar dari metode penafsiran tematik sesungguhnya sudah populer digunakan di masa sahabat dengan istilah tafsir bi al-ma`tsur. Para mufassir hendaknya memahami Al-Qur’an berdasarkan informasi yang terkandung di dalam diri Al-Qur’an itu sendiri, bukan berdasarkan pandangan atau ajaran dari luar Al-Qur’an. Karena itu, penting sekali pemahaman terhadap kata, kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an. Pola tafsir tematik mengunakan tiga pendekatan. Pertama, menekankan pentingnya memahami arti bahasa kata-kata Al-Qur’an (lexical meaning of any Qur’anic word). Pemahaman terhadap makna asli kata-kata dalam teks Al-Qur’an akan sangat membantu mufasir memahami tujuan makna (al-ma’na al-murad) sesuai dengan asbab nuzul ayat. Kedua, menyelidiki serta menyeleksi semua ayat yang berhubungan dengan tema pokok yang dibahas. Dengan prinsip ini, Al-Qur’an diberi kebebasan dan otonomi untuk berbicara tentang dirinya sendiri sehingga dihasilkan penafsiran yang objektif, bukan penafsiran subjektif yang mungkin sarat dengan muatan politis dari para mufasirnya. Ketiga, dalam rangka memahami kata, kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an harus ada kesadaran untuk mengakui adanya teks-teks agama yang turun dalam konteks tertentu atau khusus (as-siyaq al-khas) dan yang turun dalam konteks yang lebih umum (as-siyaq al-am). Dengan kata lain, sebuah penafsiran harus dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.

Beragamnya penafsiran dalam memahami teks-teks suci merupakan keniscayaan, dan itulah agaknya maksud hadis Nabi: “Ikhtilaf ummati rahmah” (Perbedaan pendapat di antara umatku merupakan rahmat). Untuk itu, dibutuhkan kearifan, ketelitian, dan sikap demokratis dalam memahami teks-teks suci, khususnya berkaitan dengan isu seksualitas. Dengan kata lain, penafsiran baru mendesak dilakukan, demi menemukan kembali pesan-pesan moral keagamaan yang menjanjikan rahmat bagi seluruh makhluk.

Dengan berdasarkan tiga prinsip itulah perlu membaca ulang pemahaman Islam tentang homo. Jika para ulama terdahulu telah memberikan kontribusinya yang positif dalam perumusan hukum Islam dan pemahaman keislaman secara umum, termasuk soal homo, mengapa ulama sekarang tidak dapat melakukan hal serupa? Penulis khawatir, ada ketidaksiapan mental dan ketakutan psychologis yang sangat besar. Sebab, reinterpretasi terhadap pemahaman Islam soal homo pasti akan mengubah bangunan sistem hukum Islam yang selama ini dianggap sudah mapan dan tidak dapat dipertanyakan lagi. Selain itu, reinterpretasi pemahaman Islam soal homo akan mendekonstruksikan sejumlah konsep hukum Islam yang selama berabad-abad dianggap baku, terutama berkaitan dengan keluarga dan perkawinan. Wallahu a’lam bishawab. In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh.

Tokoh-Tokoh Terkemuka : GLBT, Jangan Bunuh Diri!



Para pemimpin rohani menyuarakan pendapat mereka dalam sebuah proyek video baru yang tergabung di dalamnya para artis dan tokoh politik yang meyakinkan para gay yang dianiaya bahwa ‘kondisi sekarang sudah lebih baik’. Dalam video pesan tersebut, Evangelical Gereja Lutheran di Amerika memberitahu para korban yang dianiaya bahwa Tuhan mencintai mereka.

“Saya mendengar dengan sakit dan kaget bahwa banyak anak muda yang bunuh diri karena mereka dianiaya dan disiksa, hanya karena mereka berbeda, menjadi gay atau mengakui gay,” kata Rev. Mark S. Hanson. Dia menekankan, “Engkau dikasihi Tuhan. Hidupmu membawa martabat dan keindahan sebagai ciptaan Tuhan. Ada tempat untukmu di dunia ini dan di dalam gereja.”

“Kadangkala, kata-kata dari saudara-saudara Kristen dapat melukai Anda dan saya tahu bahwa diamnya kami dapat membuat Anda terluka,” kata Hanson, yang denominasinya mulai menerima gay secara terbuka tahun lalu.

Proyek ‘It Gets Better’ ini didirikan oleh pastor Katolik Dan Savage. Menurut proyek tersebut, 9 dari 10 murid GLBT (gay, lesbian, biseksual, dan transgender) pernah mengalami kekerasan di sekolah dan lebih dari 1/3 mereka mencoba untuk bunuh diri. Penyediaan dukungan proyek untuk para anak muda GLBT ini, ada belasan video yang dibuat dan menampilkan tokoh terkenal yang memberikan harapan dan menceritakan kisah bagaimana bisa terbebas dari penganiayaan dan menemukan kebahagiaan.

Beberapa di antara mereka yang pernah ada di video ini yaitu Jewel (penyanyi terkenal), Eve, dan Emily dan Martie dari Dixie Chicks, Sekretaris Negara Hillary Clinton, Juru Bicara Gedung Nancy Pelosi, dan Rady Roberts Potts, cucu pembicara di televisi yang bernama Oral Roberts.

Presiden Barack Obama juga menambahkan bahwa dia mendukung proyek ini. Dengan terkejut dan sedih, ketika Obama mengetahui peristiwa bunuh diri oleh gay ini mengatakan, “Hal ini mematahkan hati saya. Hal ini bukanlah sesuatu yang seharusnya terjadi di negara ini. Ketika Anda dianiaya, kelihatannya Anda memang berbeda atau tidak sesuai dengan orang lain, tapi apa yang ingin saya katakan adalah ini : Anda tidak sendiri. Anda tidak melakukan sesuatu yang salah.”

Gene Robinson, seorang Uskup Episcopal New Hampshire, menunjuk secara jelas pesannya kepada Katolik Roma, Southern Baptists dan Mormon yang mengatakan kepada gay bahwa hidup mereka tidak diterima oleh Tuhan. “Saya ingin memberitahu Anda sebagai orang yang rohani, mereka semua salah. Tuhan mencintai Anda sebagaimana Anda adanya,” kata uskup yang juga menjadi gay tersebut. Videonya ini mengundang kontroversi karena dia menyerang grup agama yang lainnya tersebut.

Menanggapi hal ini, Greg Kandra, seorang Katolik Roma di Diocese Brooklyn, New York mengatakan dalam blognya, beliefnet, “Robinson berhak atas pendapatnya sendiri, dan atas teologi moralnya. Kami bisa saja tidak setuju dengan kesimpulannya. Tapi saya tidak bisa menghargai caranya yang salah dalam menggambarkan moral pengajaran kepada yang lain,” kata Greg.

Sejak bunuh dirinya para gay belakangan ini, banyak orang yang mempersalahkan gereja karena ‘anti gay’ mereka. Menurut Jim Daly, pemimpin dari Focus on the Family, percaya bahwa umat Kristen tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas tragedi yang terjadi ini karena gereja dan organisasi karena Injil sendiri menempatkan kegiatan homoseksual di luar rancangan Tuhan untuk seksualitas manusia. Tapi dia percaya umat Kristen, harus mempraktikkan solusi yang tepat dalam memperlakukan orang lain.

“Jika ada satu wacana emas yang dikemukakan melalui Injil dan iman, adalah ini : ketika menyangkut hak manusia dan bagaimana cara memperlakukan seorang dengan yang lain, tidak ada orang yang lebih tinggi ataupun lebih rendah derajatnya. Ya, dosa itu tetap ada dan Tuhan tidak bisa mengampuni itu. Tapi Dia meraih orang yang berdosa, yang itu berarti setiap dari kita,” tulisnya dalam sebuah blog di CNN.

“Jadi, jika merusak martabat orang lain, baik dalam bentuk apapun itu, hal ini bertolak belakang dengan kehidupan yang berpusat pada Injil. Dan jika ada anggapan bahwa kaum ortodoks meminta umat Kristen untuk melakukan kekerasan melawan homoseksual adalah sesuatu yang salah dimengerti.”

Analisa Tafsir Ayat-Ayat Homoseksual Dalam AL Qur’an

SALAH satu hambatan terbesar dalam advokasi hak-hak homoseksual adalah tafsir homofobia terhadap ayat-ayat Alquran yang bercerita tentang hubungan seksual sesama jenis.

Tafsir model ini merupakan tafsir literal yang menegasikan sisi sosial-kultural- politik di balik difirmankannya ayat-ayat itu. Padahal, Alquran, seperti ditunjukkan dengan adanya asbab an-nuzul, mengekspresikan situasi sosial tertentu yang mengilhami ayat-ayat itu diwahyukan, dan selalu menyertakan faktor sosial-kultural ini dalam proses pewahyuannya itu. Ada sekitar 85 ayat dalam 12 surat yang terdapat dalam Alquran yang bercerita mengenai Kaum Lut (the People of Lot), sebagai “ilustrasi” komunitas homoseksual dalam sejarah umat manusia. Karena penggambaran Alquran mengenai orang-orang Lut yang (seakan-akan) homofobia itulah, umat Islam menjadi sangat percaya bahwa agama penuh kasih ini melarang hubungan sesama jenis; dengan cerita ini pula, umat Islam menyandarkan legitimasi teologisnya untuk “menghukum” dan memperlakukan secara diskriminatif mereka yang terlibat dalam pengalaman hubungan sesama jenis.

Bagaimana mencari solusi terhadap problem teologis ini? Yang paling penting dan utama adalah mencoba menerapkan pendekatan kontekstual terhadap ayat-ayat tersebut; “membayangkan” situasi sosial-kultural pada saat ayat-ayat itu diwahyukan. Pertama, dalam pendekatan ini, kita perlu menekankan bahwa Alquran bukanlah buku atau kitab sejarah (historical book). Alquran adalah kitab suci agama (religious book atau holy book). Apa implikasi dari cara pandang ini? Karena Alquran bukan buku atau kitab sejarah, maka beragam cerita dan kisah dalam Alquran tidak selalu terjadi secara faktual. Tidak seperti buku sejarah yang merupakan hasil observasi dan analisis historis, berbagai kisah dalam Alquran (hanya) merupakan ilustrasi sosial-politik- kultural sebuah kondisi masyarakat tertentu yang kejadian aslinya tidak selalu “akurat” dideskripsikan oleh Alquran itu.

Salah satu contoh saja adalah kisah “pengusiran” Nabi Adam dan Siti Hawa dari swargaloka. Karena Alquran bukan kitab sejarah, maka kisah “pengusiran” Adam dan Hawa di situ merupakan ilustrasi karikaturistik tentang “balasan” Tuhan bagi umat-Nya yang mencoba tidak taat terhadap perintah-Nya. Karena Alquran bukan kitab sejarah, maka kejadian tersebut tidaklah benar-benar terjadi secara nyata dan faktual.

Sementara, karena Alquran adalah kitab suci agama atau kitabullah, maka upaya manusia untuk memahami isinya tidak bisa dilepaskan dari keharusan melakukan penafsiran. Kita membutuhkan penafsiran untuk bisa “menerapkan” firman-firman Allah itu. Karena manusia bukan Allah, maka yang kita fahami dari ayat-ayat dalam Alquran adalah pemahaman manusiawi, yang (bisa jadi) tidak sepenuhnya memenuhi tujuan teologis yang ditetapkan Allah. Dalam bahasa yang lebih singkat, Alquran adalah kitabullah, sementara proses pemahaman terhadap Alquran adalah proses manusiawi, di mana logika kemanusiaan berperan penting dalam proses pemahaman itu. Dengan landasan ini pula, menurut saya, cerita mengenai Kaum Lut yang dibinasakan oleh Allah karena terlibat dalam hubungan seksual sesama jenis dalam kenyataan faktualnya tidak terjadi demikian.

Kisah itu merupakan ilustrasi sebuah kelompok masyarakat yang tidak sudi tunduk terhadap ajaran ketuhanan dan kenabian serta menolak visi dan misi kenabian yang dibawa oleh Nabi Lut utusan-Nya. Faktanya, dalam kisah mengenai hubungan sesama jenis yang dilakukan oleh orang-orang Lut, Alquran juga bercerita mengenai perilaku buruk mereka yang lain, seperti merampok, bergunjing, mabuk-mabukan; gambaran masyarakat yang tidak tertib, tidak “berperaturan”.

Namun, penafsiran-penafsiran yang homofobia akan langsung menunjuk kalau mereka dihancurkan karena perilaku homoseksualitasnya itu. Padahal, sangat mungkin mereka dihancurkan lebih karena perilaku negatifnya yang lain serta penentangannya terhadap misi kenabian Lut. Yang kedua, menurut saya, sangat tidak “Islami”, dalam artian bertentangan dengan misi Islam sebagai agama damai, agama penuh kasih, agama yang disebarkan dengan cara-cara tanpa kekerasan, agama kaum terpinggirkan, jika Islam “semena-mena” menghancurkan orang-orang Lut karena alasan mereka terlibat dalam hubungan seksual sesama jenis. Padahal, Islam sendiri “belum pernah memberikan ajaran dan “pelajaran” mengenai masalah ini.

Bagaimana mungkin, sesuatu yung belum diajarkan kebaikan dan keburukannya menjadi target “pembinasaan” seperti itu? Mungkin hal ini bisa diterima oleh akal sehat kita jika sejak awal Islam memang lebih ingin menggambarkan diri sebagai agama penuh kekerasan, agama tanpa toleransi. Tetapi, Islam yang saya yakini, adalah Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam pembawa misi kasih dan damai bagi seluruh umat. Karena itu kisah pembinasaan orang-orang Lut dengan alasan terlibat hubungan homoseksualitas menjadi tidak masuk akal keislaman saya dan bertentangan dengan logika Islam rahmatan lil’alamin itu. Yang ketiga, istilah homoseksual adalah penemuan modern untuk mendefiniskan hubungan seksual sesama jenis kelamin. Hubungan seksual homoseksual berbeda dengan hubungan seksual heteroseksual, yang berlawanan jenis kelamin. Yang menjadi janggal, istilah modern ini juga diterapkan untuk menyebut perilaku seksual orang-orang Lut, untuk menguatkan pandangan homofobia berdasarkan ajaran keagamaan, termasuk Islam. Padahal perilaku seksual orang-orang Lut itu berbeda dengan hubungan sesama jenis di masa modern ini. Contohnya saja, seperti disebutkan dalam salah satu ayat, Ata’tuna adz-dzukran fi al-‘alamin, “Apakah kamu (laki-laki) mendatangi (approaching) laki-laki (lain) yang ada di jagat raya ini?” (QS. Asy-Syuara [27]: 165). Dalam ayat tersebut, Alquran menggunakan kata al-‘alamin, alam raya. Artinya, dalam pemahaman saya, orang-orang Lut itu juga terlibat dalam hubungan sesama jenis dengan spesies lain, selain manusia, seperti dengan binatang, dan benda-benda lain yang menggambarkan maskulintas (ad-dzakr), termasuk batu-batuan dan pepohonan. Karena itu, dalam pemikiran saya, perilaku seksual Kaum Lut lebih dari sekedar perilaku homoseksualitas dalam definisi masyarakat kontemporer sekarang ini. Karena beda, maka tidak seharusnya menjadikan cerita orang-orang Lut untuk bertindak tidak adil dan menghalalkan kekerasan terhadap kaum gay.

Keempat, ilustrasi homofobia dalam cerita Kaum Lut yang diangkat Alquran itu terkait dengan politik pencitraan teologi Islam (the politics of Islamic theology). Sebagai agama dan kepercayaan baru, Islam tentu saja berkeinginan menghadirkan sebuah citra sebagai agama yang berbeda, yang lebih baik, dari praktik keagamaan yang berkembang di masa sebelumnya. Cerita pembinasaan Kaum Lut, menurut saya, terkait dengan politik pencitraan ini. Islam ingin mencitrakan diri sebagai agama yang “bersih” dari pengaruh praktik-praktik keagamaan, kegiatan ritual, yang dilakukan kelompok masyarakat sebelum Islam. Politik pencitraan ini sangat penting untuk menarik minat dan ketertarikan publik terhadap Islam, sehingga akan lebih banyak orang memeluk agama baru ini.

Berbagai kajian sejarah menyebutkan kalau masyarakat purba dan masyarakat pra Islam sangat kuat memasukkan unsur pengalaman seksual ke dalam ritual keagamaan mereka. Seorang lelaki tokoh “agama” purba sangat biasa melakukan praktik ritual keagamaan dengan cara menyetubuhi anak lelaki untuk mencapai orgasme teologisnya. Praktik seksual ala orang-orang Lut adalah cerita lain bagaimana unsur pengalaman seksual terkait dengan pandangan dan praktik agama tertentu, dalam sebuah periode sejarah manusia. Nyatanya, seperti saya pernah menuliskannya dalam sebuah artikel “Changing Needed to Islamic Views on Homosexuality” di Jakarta Post, para filsuf Yunani semacam Plato dan Socrates juga terlibat dalam pengalaman seksual sesama jenis ini, yang menandakan adanya sebuah kondisi sosial yang sangat terbuka dan “melumrahkan” praktik-praktik ini.

Dalam politik teologi Islam yang ingin murni dari pengaruh praktik keagamaan ala masyarakat pra Islam itulah cerita tentang Kaum Lut ditonjolkan dalam Alquran, sebagai strategi bagi penguatan citra bahwa Islam adalah agama yang lebih baik, dan “bersih” dari pengaruh praktik-praktik keagamaan masyarakat sebelumnya. Karena itu, konteks cerita ini bukan dalam hal membinasakan orang-orang dengan perilaku seksual seperti Kaum Lut itu, tetapi dalam rangka menegakkan wajah dan identitas Islam yang bersih-putih dari pengaruh keagamaan orang-orang itu. Karena logika kontekstual inilah, sangat tidak beralasan menggunakan cerita orang-orang Lut untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok homoseksual. Apalagi, kondisi kontemporer yang lebih menuntut kapasitas dan kualitas, politik pencitraan sudah tidak dibutuhkan. Penguatan kapasitas dan kualitas diri setiap individu Muslim jauh dibutuhkan agar Islam bisa menyumbang di berbagai perkembangan zaman demi peningkatan kualitas hidup manusia.

Terakhir, kebutuhan untuk menggunakan pendekatan kontekstual terhadap ayat-ayat homoseksual bukan tanpa alasan. Seperti sedikit disebut di atas, pewahyuan ayat-ayat Alquran memiliki konteks sosial-kultural, dan Alquran tidak resik dari pengaruh sosial-budaya itu. Contoh jelas, cerita tentang hubungan seksual sesama jenis dalam Alquran itu lebih banyak menekankan pada kisah hubungan seksual antara laki-laki dan laki-laki (men who have sex with men), dan tidak banyak bertutur tentang hubungan sesama jenis antara perempuan dan perempuan (women who have sex with women). Karena Alquran sangat terpengaruh cara pandang sosial-budaya patriarkhal, perspektif sosial-budaya yang dominan di saat ia diturunkan, maka, mengikuti cara pandang dominan itu, ayat-ayat tentang hubungan seksual sejenis itupun lebih banyak menekankan hubungan di antara laki-laki, dan “menyembunyikan” hubungan seksual sejenis di kalangan perempuan. Atas dasar pandangan-pandangan di atas, saya lebih percaya kalau Islam tetap merupakan sebuah agama rahmatan lil’alamin, agama penuh kasih termasuk terhadap kelompok homoseksual. Saya juga lebih percaya, kalau sikap homofobia di kalangan muslim selama ini lebih karena mereka menomorsatukan pendekatan literal terhadap ayat-ayat Alquran tentang Kaum Lut itu, yang mengabaikan sisi sosial-kultural- politik di balik ayat-ayat itu. Dengan dasar pandangan ini pula, tidak perlu takut dianggap melakukan dosa (fakhisyah) atau melanggar moral ketika kita hendak menjalin hubungan seksual sesama jenis. Semoga, pandangan dalam tulisan ini, bisa menjadi alternatif cara pandang keislaman kita terhadap hubungan seksual sesama jenis, selain jalan literal yang nyatanya memunculkan wajah Islam yang tidak adil terhadap kelompok homoseksual. Wallahu’alam.*** *)

Farid Mutaqqin adalah alumnus Pesantren Darussalam, Ciamis, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Ohio University, Athens, Amerika Serikat. Pernah aktif di PUAN Amal Hayati, Jakarta. Ia juga mengelola forum diskusi online tentang isu-isu jender dan perempuan, dan berbasis di Banda Aceh.