Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

03 November 2010

Analisa Tafsir Ayat-Ayat Homoseksual Dalam AL Qur’an

SALAH satu hambatan terbesar dalam advokasi hak-hak homoseksual adalah tafsir homofobia terhadap ayat-ayat Alquran yang bercerita tentang hubungan seksual sesama jenis.

Tafsir model ini merupakan tafsir literal yang menegasikan sisi sosial-kultural- politik di balik difirmankannya ayat-ayat itu. Padahal, Alquran, seperti ditunjukkan dengan adanya asbab an-nuzul, mengekspresikan situasi sosial tertentu yang mengilhami ayat-ayat itu diwahyukan, dan selalu menyertakan faktor sosial-kultural ini dalam proses pewahyuannya itu. Ada sekitar 85 ayat dalam 12 surat yang terdapat dalam Alquran yang bercerita mengenai Kaum Lut (the People of Lot), sebagai “ilustrasi” komunitas homoseksual dalam sejarah umat manusia. Karena penggambaran Alquran mengenai orang-orang Lut yang (seakan-akan) homofobia itulah, umat Islam menjadi sangat percaya bahwa agama penuh kasih ini melarang hubungan sesama jenis; dengan cerita ini pula, umat Islam menyandarkan legitimasi teologisnya untuk “menghukum” dan memperlakukan secara diskriminatif mereka yang terlibat dalam pengalaman hubungan sesama jenis.

Bagaimana mencari solusi terhadap problem teologis ini? Yang paling penting dan utama adalah mencoba menerapkan pendekatan kontekstual terhadap ayat-ayat tersebut; “membayangkan” situasi sosial-kultural pada saat ayat-ayat itu diwahyukan. Pertama, dalam pendekatan ini, kita perlu menekankan bahwa Alquran bukanlah buku atau kitab sejarah (historical book). Alquran adalah kitab suci agama (religious book atau holy book). Apa implikasi dari cara pandang ini? Karena Alquran bukan buku atau kitab sejarah, maka beragam cerita dan kisah dalam Alquran tidak selalu terjadi secara faktual. Tidak seperti buku sejarah yang merupakan hasil observasi dan analisis historis, berbagai kisah dalam Alquran (hanya) merupakan ilustrasi sosial-politik- kultural sebuah kondisi masyarakat tertentu yang kejadian aslinya tidak selalu “akurat” dideskripsikan oleh Alquran itu.

Salah satu contoh saja adalah kisah “pengusiran” Nabi Adam dan Siti Hawa dari swargaloka. Karena Alquran bukan kitab sejarah, maka kisah “pengusiran” Adam dan Hawa di situ merupakan ilustrasi karikaturistik tentang “balasan” Tuhan bagi umat-Nya yang mencoba tidak taat terhadap perintah-Nya. Karena Alquran bukan kitab sejarah, maka kejadian tersebut tidaklah benar-benar terjadi secara nyata dan faktual.

Sementara, karena Alquran adalah kitab suci agama atau kitabullah, maka upaya manusia untuk memahami isinya tidak bisa dilepaskan dari keharusan melakukan penafsiran. Kita membutuhkan penafsiran untuk bisa “menerapkan” firman-firman Allah itu. Karena manusia bukan Allah, maka yang kita fahami dari ayat-ayat dalam Alquran adalah pemahaman manusiawi, yang (bisa jadi) tidak sepenuhnya memenuhi tujuan teologis yang ditetapkan Allah. Dalam bahasa yang lebih singkat, Alquran adalah kitabullah, sementara proses pemahaman terhadap Alquran adalah proses manusiawi, di mana logika kemanusiaan berperan penting dalam proses pemahaman itu. Dengan landasan ini pula, menurut saya, cerita mengenai Kaum Lut yang dibinasakan oleh Allah karena terlibat dalam hubungan seksual sesama jenis dalam kenyataan faktualnya tidak terjadi demikian.

Kisah itu merupakan ilustrasi sebuah kelompok masyarakat yang tidak sudi tunduk terhadap ajaran ketuhanan dan kenabian serta menolak visi dan misi kenabian yang dibawa oleh Nabi Lut utusan-Nya. Faktanya, dalam kisah mengenai hubungan sesama jenis yang dilakukan oleh orang-orang Lut, Alquran juga bercerita mengenai perilaku buruk mereka yang lain, seperti merampok, bergunjing, mabuk-mabukan; gambaran masyarakat yang tidak tertib, tidak “berperaturan”.

Namun, penafsiran-penafsiran yang homofobia akan langsung menunjuk kalau mereka dihancurkan karena perilaku homoseksualitasnya itu. Padahal, sangat mungkin mereka dihancurkan lebih karena perilaku negatifnya yang lain serta penentangannya terhadap misi kenabian Lut. Yang kedua, menurut saya, sangat tidak “Islami”, dalam artian bertentangan dengan misi Islam sebagai agama damai, agama penuh kasih, agama yang disebarkan dengan cara-cara tanpa kekerasan, agama kaum terpinggirkan, jika Islam “semena-mena” menghancurkan orang-orang Lut karena alasan mereka terlibat dalam hubungan seksual sesama jenis. Padahal, Islam sendiri “belum pernah memberikan ajaran dan “pelajaran” mengenai masalah ini.

Bagaimana mungkin, sesuatu yung belum diajarkan kebaikan dan keburukannya menjadi target “pembinasaan” seperti itu? Mungkin hal ini bisa diterima oleh akal sehat kita jika sejak awal Islam memang lebih ingin menggambarkan diri sebagai agama penuh kekerasan, agama tanpa toleransi. Tetapi, Islam yang saya yakini, adalah Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam pembawa misi kasih dan damai bagi seluruh umat. Karena itu kisah pembinasaan orang-orang Lut dengan alasan terlibat hubungan homoseksualitas menjadi tidak masuk akal keislaman saya dan bertentangan dengan logika Islam rahmatan lil’alamin itu. Yang ketiga, istilah homoseksual adalah penemuan modern untuk mendefiniskan hubungan seksual sesama jenis kelamin. Hubungan seksual homoseksual berbeda dengan hubungan seksual heteroseksual, yang berlawanan jenis kelamin. Yang menjadi janggal, istilah modern ini juga diterapkan untuk menyebut perilaku seksual orang-orang Lut, untuk menguatkan pandangan homofobia berdasarkan ajaran keagamaan, termasuk Islam. Padahal perilaku seksual orang-orang Lut itu berbeda dengan hubungan sesama jenis di masa modern ini. Contohnya saja, seperti disebutkan dalam salah satu ayat, Ata’tuna adz-dzukran fi al-‘alamin, “Apakah kamu (laki-laki) mendatangi (approaching) laki-laki (lain) yang ada di jagat raya ini?” (QS. Asy-Syuara [27]: 165). Dalam ayat tersebut, Alquran menggunakan kata al-‘alamin, alam raya. Artinya, dalam pemahaman saya, orang-orang Lut itu juga terlibat dalam hubungan sesama jenis dengan spesies lain, selain manusia, seperti dengan binatang, dan benda-benda lain yang menggambarkan maskulintas (ad-dzakr), termasuk batu-batuan dan pepohonan. Karena itu, dalam pemikiran saya, perilaku seksual Kaum Lut lebih dari sekedar perilaku homoseksualitas dalam definisi masyarakat kontemporer sekarang ini. Karena beda, maka tidak seharusnya menjadikan cerita orang-orang Lut untuk bertindak tidak adil dan menghalalkan kekerasan terhadap kaum gay.

Keempat, ilustrasi homofobia dalam cerita Kaum Lut yang diangkat Alquran itu terkait dengan politik pencitraan teologi Islam (the politics of Islamic theology). Sebagai agama dan kepercayaan baru, Islam tentu saja berkeinginan menghadirkan sebuah citra sebagai agama yang berbeda, yang lebih baik, dari praktik keagamaan yang berkembang di masa sebelumnya. Cerita pembinasaan Kaum Lut, menurut saya, terkait dengan politik pencitraan ini. Islam ingin mencitrakan diri sebagai agama yang “bersih” dari pengaruh praktik-praktik keagamaan, kegiatan ritual, yang dilakukan kelompok masyarakat sebelum Islam. Politik pencitraan ini sangat penting untuk menarik minat dan ketertarikan publik terhadap Islam, sehingga akan lebih banyak orang memeluk agama baru ini.

Berbagai kajian sejarah menyebutkan kalau masyarakat purba dan masyarakat pra Islam sangat kuat memasukkan unsur pengalaman seksual ke dalam ritual keagamaan mereka. Seorang lelaki tokoh “agama” purba sangat biasa melakukan praktik ritual keagamaan dengan cara menyetubuhi anak lelaki untuk mencapai orgasme teologisnya. Praktik seksual ala orang-orang Lut adalah cerita lain bagaimana unsur pengalaman seksual terkait dengan pandangan dan praktik agama tertentu, dalam sebuah periode sejarah manusia. Nyatanya, seperti saya pernah menuliskannya dalam sebuah artikel “Changing Needed to Islamic Views on Homosexuality” di Jakarta Post, para filsuf Yunani semacam Plato dan Socrates juga terlibat dalam pengalaman seksual sesama jenis ini, yang menandakan adanya sebuah kondisi sosial yang sangat terbuka dan “melumrahkan” praktik-praktik ini.

Dalam politik teologi Islam yang ingin murni dari pengaruh praktik keagamaan ala masyarakat pra Islam itulah cerita tentang Kaum Lut ditonjolkan dalam Alquran, sebagai strategi bagi penguatan citra bahwa Islam adalah agama yang lebih baik, dan “bersih” dari pengaruh praktik-praktik keagamaan masyarakat sebelumnya. Karena itu, konteks cerita ini bukan dalam hal membinasakan orang-orang dengan perilaku seksual seperti Kaum Lut itu, tetapi dalam rangka menegakkan wajah dan identitas Islam yang bersih-putih dari pengaruh keagamaan orang-orang itu. Karena logika kontekstual inilah, sangat tidak beralasan menggunakan cerita orang-orang Lut untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok homoseksual. Apalagi, kondisi kontemporer yang lebih menuntut kapasitas dan kualitas, politik pencitraan sudah tidak dibutuhkan. Penguatan kapasitas dan kualitas diri setiap individu Muslim jauh dibutuhkan agar Islam bisa menyumbang di berbagai perkembangan zaman demi peningkatan kualitas hidup manusia.

Terakhir, kebutuhan untuk menggunakan pendekatan kontekstual terhadap ayat-ayat homoseksual bukan tanpa alasan. Seperti sedikit disebut di atas, pewahyuan ayat-ayat Alquran memiliki konteks sosial-kultural, dan Alquran tidak resik dari pengaruh sosial-budaya itu. Contoh jelas, cerita tentang hubungan seksual sesama jenis dalam Alquran itu lebih banyak menekankan pada kisah hubungan seksual antara laki-laki dan laki-laki (men who have sex with men), dan tidak banyak bertutur tentang hubungan sesama jenis antara perempuan dan perempuan (women who have sex with women). Karena Alquran sangat terpengaruh cara pandang sosial-budaya patriarkhal, perspektif sosial-budaya yang dominan di saat ia diturunkan, maka, mengikuti cara pandang dominan itu, ayat-ayat tentang hubungan seksual sejenis itupun lebih banyak menekankan hubungan di antara laki-laki, dan “menyembunyikan” hubungan seksual sejenis di kalangan perempuan. Atas dasar pandangan-pandangan di atas, saya lebih percaya kalau Islam tetap merupakan sebuah agama rahmatan lil’alamin, agama penuh kasih termasuk terhadap kelompok homoseksual. Saya juga lebih percaya, kalau sikap homofobia di kalangan muslim selama ini lebih karena mereka menomorsatukan pendekatan literal terhadap ayat-ayat Alquran tentang Kaum Lut itu, yang mengabaikan sisi sosial-kultural- politik di balik ayat-ayat itu. Dengan dasar pandangan ini pula, tidak perlu takut dianggap melakukan dosa (fakhisyah) atau melanggar moral ketika kita hendak menjalin hubungan seksual sesama jenis. Semoga, pandangan dalam tulisan ini, bisa menjadi alternatif cara pandang keislaman kita terhadap hubungan seksual sesama jenis, selain jalan literal yang nyatanya memunculkan wajah Islam yang tidak adil terhadap kelompok homoseksual. Wallahu’alam.*** *)

Farid Mutaqqin adalah alumnus Pesantren Darussalam, Ciamis, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Ohio University, Athens, Amerika Serikat. Pernah aktif di PUAN Amal Hayati, Jakarta. Ia juga mengelola forum diskusi online tentang isu-isu jender dan perempuan, dan berbasis di Banda Aceh.

Tidak ada komentar: