Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

13 April 2010

Kapan ya selebritis dan politikus Indonesia berani coming out kepublik?

VIVAnews - Selama ini, Ricky Martin selalu dikabarkan bila dirinya
adalah pecinta sesama jenis. Tetapi, Ricky Martin selalu menampik kabar
tersebut. Setelah sekian lama, akhirnya penyanyi berdarah Latin tersebut
mengakui bila dirinya adalah gay.

Ricky mengakui hal tersebut di
dalam blog pribadinya. Pelantun 'Livin' La Vida Loca' ini menganggap
saat ini adalah momen yang tepat untuk membuat pengakuan tentang sebuah
rahasia yang selama ini selalu dia simpan rapi tersebut.

"Hari
ini adalah hari buat saya. Ini adalah waktu saya dan ini adalah momen
untuk saya. Selama bertahun-tahun saya diam dan dibayangi justru membuat
saya kuat dan mengingatkan saya atas dukungan yang datang. Dan itu
membuat saya kuat untuk menaklukkan emosi," kata Ricky Martin seperti
dikutip dari Hollyscoop, Selasa 30 Maret 2010.

Dalam kesempatan
itu, Ricky juga mengakui bila dirinya bangga menjadi seorang gay. Dia
merasa bahagia dengan pilihannya tersebut.

"Saya bangga
mengatakan bila saya adalah homoseksual. Saya sangat diberkahi dengan
menjadi diri saya," ucapnya.

Gosip seputar Ricky Martin adalah
gay sudah lama beredar. Tetapi, Ricky selalu menutupinya. Pada tahun
2000 lalu, penyanyi yang terkenal dengan goyangannya yang seksi itu
diundang menghadiri acara yang dipandu Barbara Walters.
Barbara memberikan pertanyaan yang sangat mengejutkan terlebih lagi
untuk Ricky Martin. Barbara bertanya kepada pria yang terkenal dengan
tariannya yang seksi itu soal kehidupan pribadi penyanyi tersebut.

"Saya
bertanya dan mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab oleh Ricky. Saya
bertanya apakah dia gay atau tidak. Tetapi, dia membantahnya. Dan
bantahannya itu membuat orang menganggap sebaliknya," ujar Barbara.

Wanita
ini yakin bila pertanyaannya itu membuat karir Ricky di dunia
entertainment meredup. Konon, pertanyaan itu kabarnya sangat berpengaruh
pada perjalanan karir musik ayah dua anak tersebut. Sejak tampil di
acara tersebut, nama Ricky Martin semakin hilang dari gemerlapnya
panggung musik dunia.

Dia juga jarang tampil di muka publik. Hal
itu meninggalkan perasaan menyesal dalam diri Barbara. Dia merasa sudah
melakukan kesalahan terhadap Ricky.

Pelibatan Orang Terinfeksi HIV dalam penanggulanan HIV & AIDS di Indonesia

Apa sih orang terinfeksi HIV? Tentu saja, ini harus dipahami terlebih dahulu oleh semua orang baik yang sudah berkecimpung dalam pendampingan dan yang tidak pernah sama sekali bersentuhan dengan dampingan kelompok ini. Orang terinfeksi HIV artinya orang yang secara medis sudah dinyatakan terinfeski di dalam darahnya oleh virus HIV ( Human Immunodeficiency Virus). Orang seperti ini belum bisa dikategorikan sudah terkena AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), karena ia masih menunjukkan gejala dan fisik yang masih normal seperti umumnya orang sehat. Selama orang yang terinfeksi HIV bisa menjaga aktivitasnya dengan baik seperti : pola makan yang sehat, pola tidur, olah raga, dan aktivitas yang lain, tentu ia akan tetap bisa bertahan hidup lebih lama meskipun virus ini terus menggerogoti kekebalan tubuhnya(CD4 =sel-T CD4+ sekitar 600-1,500/mm3 darah, ini standar orang sehat). Berbeda lagi dengan orang yang sudah masuk tahap AIDS, artinya kekebalan tubuhnya sudah mulai melemah sekitar sel-T CD4+ jatuh di bawah 200 sel/millimeter persegi (mm3) darah. Tentu, saja akan ditandai dengan banyak gejala penyakit yang mulai menyerang dalam tubuhnya seperti TB, demam, flue yang tidak kunjung sembuh dan berbagai macam penyakit yang sudah ada di tubuhnya. Orang dengan HIV/ AIDS ini sudah menunjukkan gejala penurunan yang sangat draktis maka ia sangat sensitive dengan orang yang sedang sakit, karena mudah tertular.

Bagaimana pelibatan orang terinfeksi HIV itu sebagai obyek atau subyekkah? Nah, kiranya kita harus memahami posisi orang yang terinfeksi HIV tersebut. Bila dia dalam koridor sebagai seorang pasien yang setiap saat harus berkunjung ke klinik untuk test darah setiap 3 bulan sekali, melakukan proses penyembuhan ataupun sekedar untuk konsultasi kepada para medis yang ada klinik layanan untuk program pencegahan terhadap penularan HIV/AIDS maka ia dapat dikatakan sebagai Obyek.Obyek artinya orang yang dipandang perlu untuk dibantu dalam edukasi, maupun penanganan medis baik berupa test darah (CD4) , tindakan kelanjutan bila dikatakan positip HIV dan atau AIDS. Lain hal, bila orang yang terinfeksi HIV selalu intens berhubungan dengan klinik medis dan kelompok jaringan yang menangani/ mendampingi kelompok dampingan (KD) dalam program HIV/ AIDS. Orang tersebut secara suka rela atau diminta atau dipekerjakan untuk membantu klinik atau kelompok jaringan /LSM yang terlibat dalam dampingan program pencegahan HIV/AIDS. Ia dapat dikai Subyek. Subyek disini artinya orang yang sehat ataupun positip HIV/AIDS terlibat dalam penanggulangan/pencegahan HIV/AIDS. Saya setuju untuk melibatkan orang yang terinfeksi HIV untuk dilibatkan dalam penanggulangan/ gahan HIV/AIDS di Indonesia. Alasannya bahwa : pertama, mereka akan semakin memahami pengetahuan HIV/ AIDS itu sendiri. Kedua, mereka semakin dikuatkan dengan para volunteer yang lain atau sesama HIV+. Ketiga, mereka mempunyai semangat hidup baru setelah dinyatakan HIV+, karena mereka berkumpul dengan lingkungan yang mendukungnya. Keempat, untuk yang orang yang HIV+ yang kehidupannya kurang secara financial mereka akan direkrut dan beri honor setidak dan ini akan memberi peluang untuk mencari nafkah. Sebagai subyek, orang yang HIV+ dapat diharapkan sebagai Peer Edukator untuk melakukan program edukasi ke masyarakat tentang apa itu HIV/AIDS, bagaimana penyebarannya, bagaimana pencegahan; memberikan penguatan/dukungan kepada kelompok yang terinfeksi HIV/AIDS untuk bisa sharing menguatkan antar sesame penderita , bisa membangun kelompok basis. Dengan sebagai PE ini, dia sudah masuk dalam kelompok tertentu yan g dianggap rawan dengan penularan HIV/AIDS. Selain itu orang yang HIV+ dapat diharapkan sebagai konselor artinya dia dapat memberikan konseling kepada temen-temen atau orang lain. Karena tidak semua orang bisa terbuka dengan siapa saja, dia bisa terbuka dengan orang tertentu saja. Untuk membantu , membuka dan memecahkan persoalannya, seseorang ini butuh konselor. Tugas ini memang tidak mudah. Karena , tugas ini dibutuhkan orang yang mau belajar mendengar persoalan orang lain, tidak mencampur adukkan dengan persoalan dalam dirinya kecuali sebatas sharing untuk membantu memecahkan masalah, tidak membuat orang bergantung terus. Sebagai konselor, bagi seorang HIV+ ini akan sangat membantu kepada pihak lain berada dilingkungan yang mudah terinfeksi HIV/AIDS. Ada lagi, seorang yang HIV+ dapat menjadi Buddies adalah petugas pendamping Odha (orang dengan HIV/ AIDS) dan Ohidha (orang hidup disekitar orang yang HIV/AIDS). Adapun Tugas Buddies: Memberikan informasi Rujukan Perawatan dan pengobatan, memberikan dukungan psikologis dan sosial, dan melakukan pemberdayaan ODHA dan keluarganya, Mencatat profil kelompok dampingan , Membuat laporan home visit , Membuat laporan kegiatan KIE (jika melakukan) , Membuat laporan konseling haruan , Membuat laporan pendampingan ODHA , Memberikan rujukan dan membuat laporan rujukan, Membuat rekap standart performance mingguan yang diberikan kepada Koordinator Lapangan, Merekap laporan mingguan untuk dilaporkan kepada Koordinator Lapangan . Orang yang HIV + dapat pula menjadi seorang MK . MK adalah Manager Kasus. Manager kasus ini mempunyai tugas yang cukup rumit antara lain : mengajak odha untuk hidup mandiri dengan mengajak membuat jaduwal untuk minum ARV, menunjukkan cara mengakses obat ARV, menunjukkan dan memberitahu dimana dapat memperoleh ARV, menjelasakan kepada keluarga bila odha sudah siap, menjelaskan kepada lingkungan yang mengetahui kondisi odha, dan sebagainya. Dari semua ini yang perlu diantisipasi dan diajarkan ke masyarakat adalah harus membuka wacana masyarakat untuk tidak stigma dan diskriminasi. Dan itu, tidak selalu ke masyarakat awam, tetapi kepada kalangan yang sudah berkecimpung dalam pendampingan untuk program HIV/AIDSpun juga perlu dibuka kerangka berpikirnya. Karena merekapun masih ada yang melakukan stigma dan diskrimasi. Ini dapat ditunjukan saat mereka bertemu dengan orang yang HIV+ ataupun AIDS. Tentu saja, rekan-rekan di LSM harus bisa membagi-bagi dalam beberapa kelompok kategorial orang-orang yang terinfeksi HIV untuk dilibatkan. Kita bisa membaginya dalam kelompok status social : seperti dari keluarga kaya,sedang, miskin/tak mampu; seperti dari kelompok pekerja, sekolah, atau pengganggur dan sebagainya. Atau kita juga bisa emlihat dari kelompok bagaimana terinfeksinya: seperti ibu rumah tangga biasa, PSK, pengguna Narkoba. Nah, dengan demikian ini akan sangat membantu kemana mereka harus mengedukasi ke masyarakat.

Kita semua tentu berharap bahwa persoalan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia dapat di tekan dengan membangun basis kelompok yang terkecil dengan melibatkan orang-orang yang terinfeksi HIV . Menunjukkan pula bahwa orang-orang dengan HIV+ masih mampu untuk berkarya dan bersosialisasi dengan orang lain. Ini juga menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa kita semua harus merangkul orang-orang seperti ini dan menghilangkan stigma dan diskriminasi baik dalam prilaku, perkataan dan perbuatan kepada orang-orang denga HIV+ ataupun odha.

Salam perjuangan.



F Eko Purwanto

Jakarta, 22 Februari 2010

What will be the next violation of human rights in Indonesia?

First there was the Aceh Legislative Council that passed the Qanun Jinayat punishing adultery and homosexual conduct with stoning to death and caning. Then there was the Constitutional Court decision upholding the Anti-Pornograhy law that criminalizes homosexuality, and leaves room to criminalize sensuality violating especially cultural minorities’ freedom of expression. Finally there came the mobs attacking the ILGA Asia Conference participants in broad daylight of Surabaya.



On March 23rd the Indonesian police cancelled the regional Asia Conference of the International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Intersex Association (ILGA) that was to be held in Surabaya through 26 – 28 March and was to be attended by more than 150 activists representing 100 organizations from 16 Asian countries. It is claimed that the police cancelled the conference due to pressures and threat of attacks from conservative Muslim groups, though in fact the duty of the police was to deter such attacks. As the inability of a state and its law enforcement units to protect the freedom of expression and association can only reflect institutional discrimination and systematic intimidation against human rights advocates.



On March 26th these groups did indeed attack the Conference participants in the Oval Hotel where they were trapped, having arrived in Surabaya unaware of the last minute cancelation, and unable to leave the city.



We know that the freedom of association is protected by the law in Indonesia, and we also know that though not required by law, the Organizing Committee had received the permit for the conference and that this permit was withdrawn by the police in Surabaya, which allegedly feared violent attacks by radical Islamic groups.



Yet the same police had no fear dining with the attackers in the lobby of the Oval Hotel, while the mob harassed the Conference participants subjecting them to verbal and physical abuse. The mob also sealed the office of GAYa NUSANTARA, the local organization that hosted the conference. This office is still closed and human rights activists in Surabaya are still under the threat of further attacks.



In a country such as Indonesia that prides itself on its diversity, and is supposed to uphold the universal principles of human rights, these acts of violence and intimidation against human rights activists are simply and completely unacceptable. In a democratizing country such as Indonesia, the duty of the state, its legal instruments and its police is to guarantee the constitutional right of association of the people, and not to deprive them of this right by sheltering pressure groups that wrongfully use the name of Islam to further their political agendas.



As 38 leading non-governmental organizations and academic institutions from 16 countries in the Middle East, North Africa, South and South East Asia, we call upon the members of the press to spread the news on these outrageous violations of human rights, so that the authorities take immediate and solid action to guarantee the safety of the Conference organizers and participants who are still in Surabaya, and reopen the doors of GAYa NUSANTARA and safeguard the security of all its members

Peran penting ODHA dalam penanggulangan AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah Suatu virus yang menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah terinfeksi penyakit dan tubuh penderita akan menjadi sarang berbagai penyakit yang tak kunjung sembuh. Kondisi inilah yang disebut AIDS alias Acquired Immunodeficiency Syndrome. HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina, atau air susu ibu. Ini artinya, perilaku seks bebas, penggunaan jarum suntik yang tidak steril di kalangan pecandu narkoba , transfusi darah, atau wanita hamil yang terjangkit HIV berisiko memberikan tongkat estafet mewabahnya HIV. Di antara perilaku yang memancing kehadiran HIV ini, Injection Drug Use (IDU) memimpin klasemen.

Semua Odha setelah pertama kali mendengar bahwa mereka positif HIV, maka segalanya jadi terasa seperti kiamat. Mereka jadi tidak bersemangat untuk bekerja, bergaul, tidak enak makan, depresi dan tidak bersemangat untuk melanjutkan hidup.Namun ketika ODHA telah menyadari keadaannya kemudian mereka bangkit maka ia akan jauh lebih semangat menjalani hidup karena ia mempunyai tanggung jawab moral sebagai orang sakit agar orang lain tidak ikut sakit seperti dirinya. Inilah semestinya yang harus dipahami oleh setiap ODHA bahwa sebaik-baik Manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

Permasalahan justru datang dari masyarakat yang masih memiliki stigma buruk kepada ODHA. Tak dipungkiri stigma buruk ini memang sengaja dibuat oleh zaman orde baru hingga ODHA mengalami diskriminasi. Anggapan, opini dan stigma masyarakat pada pengidap HIV/AIDS atau Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) masih sangat negatif. Untuk meretas stigma itu, diperlukan upaya nyata dan komitmen berbagai pihak baik Pemerintah, LSM, terlebih dari ODHA sendiri dalam menekan laju pertumbuhan HIV/AIDS. Jika stigma sudah berhasil diretaskan maka penanggulangan HIV/AIDS akan mendapatkan dukungan penuh masyarakat termasuk berbagai kalangan.

ODHA selayaknya menjadi mentor utama dalam penanggulangan AIDS, bukan malah justru dijadikan objek oleh Pemerintah,LSM maupun lembaga yang menangani penanggulangan AIDS lainnya.karena selama ini pelibatan ODHA dalam penanggulangan AIDS hanya bersifat Formalitas saja,ODHA diundang rapat tapi hanya untuk menyetujui program yang dilakukan Pemerintah, hanya diajak untuk tanda tangan untuk setuju tapi tidak dilibatkan ketika penyusunan Perda tentang HIV AIDS.

Demikian pula dalam penanggulangan AIDS oleh LSM. bahwa ODHA hanya semata menjadi angka dalam program penanggulangan AIDS. Makanya tiap kali pertemuan koordinasi antara LSM, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), dan lembaga donor, mereka hanya menanyakan soal pertambahan angka. Parahnya lagi LSM-LSM itu terlihat sangat bangga dengan penambahan jumlah klien.Ini adalah eksploitasi ODHA.

Pemberdayaan ODHA adalah agenda utama yang harus menjadi program Pemerintah dan LSM saat ini. Karena kalau ODHA sudah memahami keadaanya maka mereka akan menentukan sendiri apa yang terbaik untuknya.Pemberdayaan dapat dilakukan secara berjenjang terhadap ODHA. Dimulai dengan memberikan pemahanan Agama yang baik yang akan dapat menumbuhkan kepercayaan diri mereka akan Hak dan kewajibannya.Karena dalam Agama ada nilai-nilai tasawuf yang diajarkan sehingga manusia tidak akan mudah putus dari kasih sayang Allah.Doktrin Agama juga akan menjadi motivasi yang menjadikan manusia untuk terus berusaha bermanfaat bagi manusia lainnya. Selanjutnya terapi kesehatan .Setelah persoalan kesehatan teratasi, maka selanjutnya ODHA diberikan pemberdayaan di bidang ekonomi. Jika ODHA sudah mempunyai rasa percaya diri yang kuat kemudian Masyarakat tak lagi memandang negatif kepada ODHA maka penanggulangan AIDS di Indonesia bisa diharapkan mampu mencegah infeksi HIV kepada masyarakat luas.

Mahasiswa, 20 tahun

Muhammad Said

ORANG TERINFEKSI HIV SEBAGAI SUBJEK OTONOM YANG TERABAIKAN

Telah banyak isu-isu sensitif mengenai perlakuan diskriminatif terhadap orang terinfeksi HIV terkait situasi penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, beragam upaya untuk dapat menempatakan Orang Terinfeksi HIV untuk berada dalam posisi yang ‘seharusnya’. Walaupun dalam implementasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Terjadinya pergeseran kepentingan didalam upaya penanggulangan HIV/AIDS ternyata telah mampu memberikan kontribusi negatif terhadap perkembangan situasi epidemi HIV/AIDS di Indonesia khususnya individu-individu yang terlibat didalamnya. Perlakuan-perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan moralitas telah pula menghambat perjuangan Orang Terinfeksi HIV untuk mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat kelas sosial, bukan tidak mungkin sentimen negatif tersebut akan berujung pada proses dehumanisasi terhadap orang terinfeksi HIV itu sendiri. Secara semantik, dehumanisasi terjadi tatkala nilai-nilai luhur yang ada dalam teks ideologi, budaya dan agama tidak lagi berfungsi efektif sebagai pegangan hidup manusia sehari-hari, sehingga kebudayaan kehilangan dukungan kolektif dan manusia cenderung hidup tanpa basis keluhuran kebudayaan, inilah yang terjadi ketika perkembangan kawan-kawan yang konsisten memperjuangkan persamaan hak sebagai Warga Negara untuk mendapat perlakuan yang adil mendapatkan hadangan berupa dekadensi budaya yang tergerus arus besar estetika moral.

Suatu kenyataan bahwa selama ini Orang Terinfeksi HIV telah mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak manusia, sementara sebagian kecil lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil. Persoalan inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “situasi penindasan” yang apapun nama dan alasannya adalah tidak manusiawi. Dalam pemahaman Freire, dehumanisasi adalah bersifat ganda, dimana ia terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Kedua-duanya menyalahi kodrat manusia sejati (the man’s ontological vocation). Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan. Bahkan, mereka sendiri pun dibuat tak berdaya dan dibenamkan ke dalam apa yang disebut Freire sebagai “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Sedangkan miroritas kaum penindas, menjadi tidak manusiawi, karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati nurani dengan memaksakan “penindasan” terhadap sesama.

Telah banyak pula yang mencoba menjadi pahlawan dalam situasi yang sedemikian ‘krusial’ dengan kepentingan yang beragam pula, menambah pelik permasalahan penanggulangan HIV di Indonesia, masing-masing orang mengejar tujuannya sendiri yang setara dengan yang diinginkan, dan justru resultan dari banyak kemauan ini yang beroperasi dalam jurusan yang berbeda serta pengaruhnya yang bermacam-macam terhadap efektivitas penanggulangan HIV. Beberapa pengaruh yang ditampilkan dalam drama penanggulangan HIV di Indonesia dengan segera menetukan pula suatu alur kepentingan yang beragam. Sebagian dari pengaruh-pengaruh tersebut mendramatisasi kegairahan akan kebenaran dan keadilan melalui simpul objek material. Saat toleransi menjadi berlebih, kuantitas berlanjut menjadi kualitas, dengan kata lain, kepedulian tadi menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga. Dengan melibatkan Orang Terinfeksi HIV sebagai objek, maka Pemegang kekuasaan ‘telah berhasil’ pula menghambat laju penanggulangan HIV secara nyata, dan perlakuan diskriminatif pun layak untuk ditempatkan pada posisi teratas dalam permasalahan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Mengapa Orang Terinfeksi HIV harus terlibat sebagai subjek didalam Penanggulangan HIV/AIDS secara konsisten? Secara umum Manusia adalah sebagai pribadi (subjek otonom), berarti memiliki kepribadian yang mengatasi atau mentransendir dunia luar, alam sekitar, dan lingkungan sekitarnya. Manusia sebagai pribadi tidak mungkin dijadikan sebagai objek. Manusia adalah otonom. Sebagaimana dikemukakan oleh Boethius dalam abad pertengahan, pribadi didefinisikan sebagai substansi, individual yang bersifat rasional, yang mampu menyadari bahwa dunia luarnya merupakan objek, yang dijadikan alat untuk memperkembangkan diri sehingga makin sempurna. Atas dasar demikian sudah seharusnya Orang Terinfeksi HIV mendapatkan porsi yang lebih besar dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS mengingat apa yang sejauh ini telah dicapai dengan mengisolasi dan mengabstraksi Orang Terinfeksi HIV dari segala kebijakan-kebijakan klinis yang dibuat membuat peran Orang Terinfeksi HIV tidaklah lebih bebas sebatas objek karena kenyataan yang terjadi, Orang Terinfeksi HIV mengabstraksi dirinya daripada Origenes dari organ genital yang telah dipotong dari dirinya sendiri yang pada akhirnya menenggelamkan semangat untuk terus memperjuangkan hak-haknya.

Memang sudah seharusnya kita memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi pemikiran dialektis untuk memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibilitas pergerakan penanggulangan HIV/AIDS melalui konsep-konsep yang akan terimplementasikan lewat pengambilan keputusan, sehingga kita akan sangat berterima kasih kepada impuls kuat yang diberikan Tuhan kepada pemikiran. Sehingga pada akhirnya cita-cita bersama kita akan dapat tercapai.

Salam perjuangan,

Satu Suara, Satu jaringan, Satu Tujuan Untuk Pemenuhan Hak..!!

Shandy Rahadiansyah SH

Orang terinfeksi HIV Subjek atau Objek?

Ketika yang lemah tak pernah mau melawan dia akan selalu ditindas. Di dalam kehidupan sosial bermasyarakat banyak sekali hal yang dapat kita temukan bila kita mau mencari tahu dan mempelajarinya. Mulai dari politik antar preman pasar sampai dengan politik kekuasaan yang sering kita lihat dimedia layar kaca. Politik Organisasi Pemerintah dan masyarakat sipil hingga mafia peradilan serta banyak lagi macamnya. Itu semua hanya bagian bagian dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Dalam kehidupan sosial inilah orang terinfeksi HIV juga memiliki latar belakang yang berbeda – beda, semuanya akan sangat bergantung kepada keluarga, lingkungan tempat tinggalnya, pengalaman bertumbuh kembang, kelas miskin serta kelas kaya material kehidupannya. Hanya satu yang sama dan harus bersifat menyeluruh yaitu Hak Asasi Manusia (HAM). Akan menarik untuk dipahami bagaimana HIV dan AIDS yang ditakuti masyarakat telah menimbulkan berbagai perbuatan kriminal, seperti rumah tinggal dibakar, pengucilan dalam bertetangga, diberhentikan kerja, gagal mendapatkan asuransi, penafikan dari jaminan kesehatan dan sosial, bahkan sebutan penyakit kutukan akibat moral bejat, penyalahgunaan narkoba serta bahasa ‘akibat penyimpangan seksual’ juga masih seringkali digunakan. Berbagai macam perlakuan dismkriminatif dilakukan dalam rangka ‘kepentingan’ orang yang belum pernah melakukan tes HIV atau bahkan memiliki pengetahuan dasar tentangnya untuk menghukum infeksi HIV, mulai dari transmisi sampai hidup dengan HIV didalam tubuhnya.

Upaya perlawan terhadap stigma dan diskriminasipun dilakukan untuk menekan kejadian - kejadian diatas. Bagi orang terinfeksi HIV upaya melawan stigma dan diskriminasi dilakukan dengan konsep pemberdayaan. Konsep dikembangkan mulai dari mau tahu tentang informasi HIV dan AIDS hingga pelibatan dalam pengambilan keputusan yang bersifat struktural. Apakah konsep pemberdayaan ini benar – benar dilaksanakan? Ini adalah pertanyaan dengan jawaban beragam.

Pemerintah dan privat melibatkan orang terinfeksi HIV dalam penanggulangan AIDS adalah melalui komitmen Dunia bernama Greater Involvement of People Living with HIV and affected by AIDS (GIPA). Pertemuan deklarasi GIPA yang dihadiri oleh 42 Kepala Negara dan Wakil Negara berkumpul di paris pada tahun 1994 dimana Indonesia adalah salah satunya. Tujuan tulus dari perjanjian itu adalah untuk memfasilitasi pelibatan bermakna orang terinfeksi HIV dalam merespon permasalahan epidemi AIDS secara global. Akan tetapi banyak ketidaksesuaian dalam pengartian, banyak pihak mengatakan bahwa GIPA itu adalah Pelibatan ODHA dan OHIDHA dalam penanggulangan HIV AIDS. Kurang jelas maksud untuk penyampaian tambahan OHIDHA dalam terjemahan GIPA, menurut beberapa buku yang dikeluarkan, pengartian tersebut telah diluaskan berdasarkan kesepakatan menjadi orang yang hidup dengan HIV atau terpengaruh oleh AIDS (ODHA/OHIDHA). Jadi OHIDHA adalah orang yang terpengaruh AIDS, lalu bagaimana orang terpengaruh HIV namun tidak terinfeksi HIV apakah disebut ODHA juga? Jika artinya adalah orang yang hidup dengan ODHA, bagaimana mereka yang satu kantor dengan ODHA, seperti dokter, perawat, staf administrasi RS, staf Komisi Penanggulangan AIDS atau staf lapas, atau bahkan yang berpapasan dengan ODHA dijalanan? Apakah dapat dikatakan OHIDHA?

Buat saya sendiri OHIDHA merupakan sebuah bahasa politik agar orang yang mempunyai ‘kepentingan’ dapat memainkan perannya lebih jauh dengan tujuan utama membuat orang terinfeksi HIV menjadi lebih berdaya. GIPA inilah yang membuat penanggulangan HIV dan AIDS mau tidak mau harus melibatkan Orang terinfeksi HIV dalam program – programnya (apabila mau dapat pendanaan program). Berbagai macam konsep model program intervensi mulai dijalankan dan dikembangkan di Indonesia, dari pencegahan, pengobatan perawatan dan dukungan serta kampanye informasi HIV dan AIDS hingga Advokasi. Pelibatan itu memang terjadi dan bahkan dibeberapa program diharuskan untuk melibatkan orang terinfeksi HIV dalam advokasi pencegahan.

Mari kita telaah sekilas gambaran sebenarnya pemberdayaan ODHA dan OHIDHA tersebut. Banyak orang yang mendefinisikan pemberdayaan dengan kegiatan memberikan informasi, menjangkau orang yang dianggap memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi HIV, mendapatkan pekerjaan sosial didalam penangulangan AIDS bertarif mulai 1 juta sampai dengan 5 juta setiap bulannya, bagi ODHA yang menjadi pasien, ‘dapat mengakses obat ARV di RS dikatakan pemberdayaan’. Kenapa begitu banyak orang terinfeksi yang ‘tertinggal’ baik akibat tidak meratanya akses layanan kesehatan hingga disingkirkannya hak mereka untuk hidup baik layak seperti yang tidak terinfeksi HIV? Benarkah hal – hal ini aplikasi dari konsep berdaya?

Keputusan dibuat untuk penanggulangan AIDS, dan tidak di konsultasikan kepada orang terinfeksi HIV dalam jumlah yang pantas serta bertanggung jawab. Walaupun begitu beberapa orang terinfeksi HIV memang sudah bisa dilibatkan dalam mengambil keputusan strategis, namun sayang orangnya hanya itu itu saja dan bila katanya dikonsultasikan maka konsultasi hanya terbuka kepada beberapa orang dan ‘dia lagi – dia lagi’. Akhirnya lambannya kaderisasi kepemimpinan orang terinfeksi HIV membuat ‘para wakil’ terlena dengan kemampuan akses sumberdaya yang tinggi dan posisi kapasitas kesejahteraan yang aman. Mereka semakin lupa dan tidak mau tahu dengan apa yang terjadi terhadap puluhan ribu teman – teman terinfeksi HIV lainnya.

Dalam kondisi ini peran orang terinfeksi HIV sebagai OBJEK atau SUBJEK? Tentu jadi pertanyaan yang pantas. Inikah yang disebut pemberdayaan dimaksud? Ada juga pandangan bahwa orang terinfeksi HIV adalah “objek saat mereka menjadi pasien RS”, maaf saja bila saya tidak sependapat dengan pernyataan ini. Kenapa mengalami kemunduran pemikiran, bukankah seharusnya pasien juga memiliki hak untuk ikut menentukan pilihannya dalam tindakan medis? (seperti memilih obat yang sesuai dengan kebutuhannya, membeli obat generik, menolak tindakan operasi, mendapatkan penanganan segera dalam situasi yang mengancam nyawa, dll) yang memampukan mereka sebagai subjek (janganlah karena tidak tahu lalu serta merta hilang hak-nya untuk menentukan pilihan dan menjadi objek). Namun pada banyak lembaga swadaya masyarakat sendiri ODHA juga umum hanya dikumpulkan saat bagi – bagi uang transport dan atau per-diem serta santunan sosial. Upaya ini membuat penanggulangan AIDS dengan pelibatan orang terinfeksi HIV adalah sebuah pendekatan karikatif (belas kasihan) yang membiaskan esensi tanggung jawab negara untuk menjaga dan melindungi warganya.

Budaya seperti inilah yang harus diperbaiki dalam komunitas atau jaringan orang terinfeksi di Indonesia. Budaya tokenisme harus dirubah, dah bagaimana cara merubah hal yang sudah terjadi cukup lama? Saya yakin kita orang terinfeksi HIV tidak boleh diam, karena diam akan membuat kita semakin ditindas, ingat ditindas! Bukan tertindas! Dan apabila hal ini terus terjadi, pemenuhan hak akan semakin sulit diraih dan menjadi cerita mitos atau legenda tak sampai. Perjuangan inilah yang membuat kita berkumpul, berkelompok dan/atau berorganisasi. Tapi selain itu ada satu hal penting juga yang tidak boleh kita lupakan “Persatuan dan Persaudaraan”, dua hal ini harus kita lakukan, bila kita benar – benar berhasil melakukannya cita – cita bersama jelas akan lebih mudah untuk diraih. Satu Suara, Satu Jaringan, Satu Tujuan untuk Pemenuhan Hak.

Sudah seharusnya posisi orang terinfeksi HIV benar – benar ditempatkan sebagai subjeknya dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Memang tidak mungkin seluruh orang terinfeksi HIV dilibatkan dalam posisi pengambil keputusan, itu yang harus kita sadari dan pahami. Tetapi amat sangat prinsipil agar orang – orang yang berada di posisi tersebut adalah mereka yang memang ditunjuk oleh teman teman terinfeksi HIV di Indonesia dan dapat menyuarakan dan mengaspirasikan kebutuhan teman temannya (maaf saja banyak juga orang terinfeksi HIV yang duduk mengambil keputusan untuk memenuhi kebutuhan dapur; bisa dapur organisasi atau dapur pihak privat lainnya; ini bukan berarti langkah yang salah atau tidak salah, hanya dimensi diskusinya tidak sesuai dalam tulisan ini). Seluruh orang terinfeksi HIV di Indonesia harus dapat merasakan pemenuhan hak – haknya tanpa Stigma dan Diskriminasi.

Disadari juga bahwa tidak mungkin orang terinfeksi HIV berjuang sendirian dalam mewujudkan pemenuhan hak-nya. Kebutuhan akan kemitraan, baik taktis dan strategis dengan selektif menentukan apakah mitra – mitra ini benar dapat membantu merubah budaya tokenisme dan meraih Visi penegakan HAM? Tanpa pemerhati atau orang yang peduli dengan permasalahan HIV dan AIDS kita akan semakin sulit berjuang. Sehingga gerakan penanggulangan AIDS yang ada di Indonesia ini kedepan dapat secara nyata menorehkan pemenuhan hak - hak orang terinfeksi HIV. Pemerintah, pemerhati dan para pekerja sosial harus lebih memahami dan memberikan dukungan sesuai kebutuhan orang terinfeksi HIV. Sedih melihat tudingan sakit yang mengatakan bahwa perjuangan hak orang terinfeksi HIV adalah keegoisan semata atau upaya advokasi terbuka yang mereka lakukan dianggap sebuah arogansi atau perilaku petantang - petenteng. Orang – orang berpaham sempit seperti ini telah melukai semangat perbaikan dan lupa akan tujuan awalnya menolong sesama manusia.

Singkat cerita, secara umum posisi pelibatan orang terinfeksi HIV dalam penanggulangan AIDS di Indonesia mulai berubah dari posisi objek menjadi subjek, dengan catatan ribuan tantangan baru.

Harapannya tulisan ini dapat memperjelas serta bisa mendatangkan banyak manfaat sebagai referensi penempatan posisi orang terinfeksi HIV penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Sebuah pesan inti bagi yang belum terinfeksi HIV sudah semestinya menjaga untuk tidak terinfeksi dan bagi yang sudah terinfeksi HIV bisa mendapatkan haknya dan ikut serta dalam penyehatan masyarakat secara positif.



Jakarta, 19 Februari 2010

Andika Prayudi W