Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

13 April 2010

ORANG TERINFEKSI HIV SEBAGAI SUBJEK OTONOM YANG TERABAIKAN

Telah banyak isu-isu sensitif mengenai perlakuan diskriminatif terhadap orang terinfeksi HIV terkait situasi penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, beragam upaya untuk dapat menempatakan Orang Terinfeksi HIV untuk berada dalam posisi yang ‘seharusnya’. Walaupun dalam implementasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Terjadinya pergeseran kepentingan didalam upaya penanggulangan HIV/AIDS ternyata telah mampu memberikan kontribusi negatif terhadap perkembangan situasi epidemi HIV/AIDS di Indonesia khususnya individu-individu yang terlibat didalamnya. Perlakuan-perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan moralitas telah pula menghambat perjuangan Orang Terinfeksi HIV untuk mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat kelas sosial, bukan tidak mungkin sentimen negatif tersebut akan berujung pada proses dehumanisasi terhadap orang terinfeksi HIV itu sendiri. Secara semantik, dehumanisasi terjadi tatkala nilai-nilai luhur yang ada dalam teks ideologi, budaya dan agama tidak lagi berfungsi efektif sebagai pegangan hidup manusia sehari-hari, sehingga kebudayaan kehilangan dukungan kolektif dan manusia cenderung hidup tanpa basis keluhuran kebudayaan, inilah yang terjadi ketika perkembangan kawan-kawan yang konsisten memperjuangkan persamaan hak sebagai Warga Negara untuk mendapat perlakuan yang adil mendapatkan hadangan berupa dekadensi budaya yang tergerus arus besar estetika moral.

Suatu kenyataan bahwa selama ini Orang Terinfeksi HIV telah mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak manusia, sementara sebagian kecil lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil. Persoalan inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “situasi penindasan” yang apapun nama dan alasannya adalah tidak manusiawi. Dalam pemahaman Freire, dehumanisasi adalah bersifat ganda, dimana ia terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Kedua-duanya menyalahi kodrat manusia sejati (the man’s ontological vocation). Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan. Bahkan, mereka sendiri pun dibuat tak berdaya dan dibenamkan ke dalam apa yang disebut Freire sebagai “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Sedangkan miroritas kaum penindas, menjadi tidak manusiawi, karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati nurani dengan memaksakan “penindasan” terhadap sesama.

Telah banyak pula yang mencoba menjadi pahlawan dalam situasi yang sedemikian ‘krusial’ dengan kepentingan yang beragam pula, menambah pelik permasalahan penanggulangan HIV di Indonesia, masing-masing orang mengejar tujuannya sendiri yang setara dengan yang diinginkan, dan justru resultan dari banyak kemauan ini yang beroperasi dalam jurusan yang berbeda serta pengaruhnya yang bermacam-macam terhadap efektivitas penanggulangan HIV. Beberapa pengaruh yang ditampilkan dalam drama penanggulangan HIV di Indonesia dengan segera menetukan pula suatu alur kepentingan yang beragam. Sebagian dari pengaruh-pengaruh tersebut mendramatisasi kegairahan akan kebenaran dan keadilan melalui simpul objek material. Saat toleransi menjadi berlebih, kuantitas berlanjut menjadi kualitas, dengan kata lain, kepedulian tadi menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga. Dengan melibatkan Orang Terinfeksi HIV sebagai objek, maka Pemegang kekuasaan ‘telah berhasil’ pula menghambat laju penanggulangan HIV secara nyata, dan perlakuan diskriminatif pun layak untuk ditempatkan pada posisi teratas dalam permasalahan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Mengapa Orang Terinfeksi HIV harus terlibat sebagai subjek didalam Penanggulangan HIV/AIDS secara konsisten? Secara umum Manusia adalah sebagai pribadi (subjek otonom), berarti memiliki kepribadian yang mengatasi atau mentransendir dunia luar, alam sekitar, dan lingkungan sekitarnya. Manusia sebagai pribadi tidak mungkin dijadikan sebagai objek. Manusia adalah otonom. Sebagaimana dikemukakan oleh Boethius dalam abad pertengahan, pribadi didefinisikan sebagai substansi, individual yang bersifat rasional, yang mampu menyadari bahwa dunia luarnya merupakan objek, yang dijadikan alat untuk memperkembangkan diri sehingga makin sempurna. Atas dasar demikian sudah seharusnya Orang Terinfeksi HIV mendapatkan porsi yang lebih besar dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS mengingat apa yang sejauh ini telah dicapai dengan mengisolasi dan mengabstraksi Orang Terinfeksi HIV dari segala kebijakan-kebijakan klinis yang dibuat membuat peran Orang Terinfeksi HIV tidaklah lebih bebas sebatas objek karena kenyataan yang terjadi, Orang Terinfeksi HIV mengabstraksi dirinya daripada Origenes dari organ genital yang telah dipotong dari dirinya sendiri yang pada akhirnya menenggelamkan semangat untuk terus memperjuangkan hak-haknya.

Memang sudah seharusnya kita memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi pemikiran dialektis untuk memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibilitas pergerakan penanggulangan HIV/AIDS melalui konsep-konsep yang akan terimplementasikan lewat pengambilan keputusan, sehingga kita akan sangat berterima kasih kepada impuls kuat yang diberikan Tuhan kepada pemikiran. Sehingga pada akhirnya cita-cita bersama kita akan dapat tercapai.

Salam perjuangan,

Satu Suara, Satu jaringan, Satu Tujuan Untuk Pemenuhan Hak..!!

Shandy Rahadiansyah SH

Tidak ada komentar: