Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

21 April 2010

Call for applications to the CSBR Sexuality Institute

***Deadline for Applications: May 21, 2010***

The Coalition for Sexual and Bodily Rights in Muslim Societies (CSBR)
is pleased to announce the 3rd CSBR Sexuality Institute 2010 to be held
between September 18th and 25th 2010 in Jakarta, Indonesia. Designed as
a comprehensive curriculum on sexuality, sexual and reproductive health
and rights with an in depth discussion on the linkages between research
and practice, the CSBR Sexuality Institute offers a holistic
interdisciplinary program combining history, theory, research and
politics of sexuality with applications of advocacy, and fieldwork.

The CSBR Sexuality Institute brings together leading leading sexual and
reproductive rights activists, academics and researchers. Held
previously in Malaysia (2008) and Turkey (2009) with participants from
20 countries throughout Asia, Africa and the Middle East, the
institutes include lectures, group work, roundtables, panels, site
visits and film screenings, as well as a methodology to engage
participants’ own experiences around sexuality.

Background

“I would summarize the experience I had at the CSBR Institute in one
word - that is: LIBERATING. The novelty of this [CSBR’s] discourse in
our socio-cultural context is certainly one important aspect, but more
importantly, the silence that our society harbors around sexuality has
become so “normal” that we often forget how integral it is to our
existence and well-being.” (Mahrukh Mouhiddin, BRAC University –
Bangladesh, CSBR Sexuality Institute 2008).

“In one sentence; the Institute has shown me that sexuality is not only
about problems, ill-being and repercussion; it is also about pleasure,
happiness, well being and CHANGE” (Gulalai Ismail, Aware Girls –
Pakistan, CSBR Sexuality Institute 2009).

The realization of sexual and reproductive health and rights is an
integral part of gender equality, development and social justice.
However, sexuality continues to be a contested site of political
struggles both in Muslim societies and across the globe. Increasing
global militarism, conservatism, and nationalism over the last decades
provoked a serious backlash on sexual and reproductive health and
rights, both at national and global levels. Given the current
polarizations, it is more pertinent than ever to strengthen critical
insight, further research, enhance knowledge and capacity on sexual and
reproductive health and rights, and build an inclusive and affirmative
discourse on sexuality.

Aim

In the above mentioned context, the aims of the CSBR Sexuality
Institute are:

To further knowledge on the multi-dimensional and intersecting aspects
of sexuality, health and rights;
To develop a deeper theoretical understanding of sexuality through a
historical overview and analysis of current debates and research at the
global level;
To provide a comprehensive and holistic understanding of sexuality in
Muslim societies through a discussion of the history, legal frameworks,
research, and current discourses;
To enhance participants’ sexual and reproductive health and rights
advocacy skills on national and international levels;
To increase participants’ capacity as leading advocates, practitioners
and researchers on sexuality issues at national, regional and
international levels.

Dibutuhkan Karyawan Pengelola Program KPAP Jawa Timur

Dear All...

Dibutuhkan tenaga staf Pengelola Program di Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Timur. Kualifikasi dan Rincian Tugas dapat dilihat pada lampiran.
Lamaran ditujukan kepada : Sekretaris KPA Provinsi Jawa Timur melalui Email dan Surat ke alamat :

Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Timur
d/a Kantor Gubernur Jawa Timur Jl. Pahlwan No 110 Lt 1 Surabaya
no telp. 3575547

Salam,
KPAP Jatim

Dibutuhkan Karyawan Pengelola Program KPAP Jawa Timur

Dear All...

Dibutuhkan tenaga staf Pengelola Program di Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Timur. Kualifikasi dan Rincian Tugas dapat dilihat pada lampiran.
Lamaran ditujukan kepada : Sekretaris KPA Provinsi Jawa Timur melalui Email dan Surat ke alamat :

Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Timur
d/a Kantor Gubernur Jawa Timur Jl. Pahlwan No 110 Lt 1 Surabaya
no telp. 3575547

Salam,
KPAP Jatim

Amerika Dukung Program HIV/AIDS di Indonesia

Jakarta, KabariNews.com - Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasionalnya (USAID) terus mendukung program pencegahan penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia.

Salah satu bentuk nyata yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat tersebut di antaranya adalah dengan meluncurkan program baru nya yang diberi nama Scaling Up for Most-at-risk Populations untuk jangka waktu lima tahun kedepan.

Proyek senilai US$ 35 juta tersebut akan memfokuskan diri di delapan provinsi di Indonesia.

Berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika Serikat, provinsi yang akan menjadi fokus program ini di antaranya adalah Jawa, Sumatera dan Papua.

Berikut ini isi siaran pers tersebut.

Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) hari ini meluncurkan sebuah program pencegahan HIV/AIDS yang baru untuk kurun lima tahun di Indonesia. Proyek yang diberi nama Scaling Up for Most-at-risk Populations merupakan bagian dari upaya Pemerintah AS senilai 35 juta dollar AS untuk membantu Pemerintah Indonesia mencegah penyebaran HIV/AIDS. Proyek ke-dua yang fokus pada peningkatan kapasitas LSM bagi HIV/AIDS juga akan diumumkan. Kedua proyek ini akan dijalankan secara terpadu dan kemitraan dengan Pemerintah Indonesia di bawah naungan Rencana Aksi Strategis Nasional bagi HIV/AIDS untuk 2010-2014. Proyek ini akan dipusatkan di delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, Sumatra Utara, Papua dan Papua Barat, dan DKI Jakarta.

20 April 2010

LGBT Coming Out

Selamat Pagi.

- Terkait dengan kegagalan kongres Gay & Lesbian di Surabaya ini,
sebenarnya bagaimana menurut bu Soe Tjen Masyarakat seharusnya
menyikapi hal tersebut.

Yang saya herankan dari masyarakat Indonesia adalah bila mereka bilang
kalau LGBT (Lesbian gay biseksual transseksual) ini bukan bagian budaya
Indonesia. Orientasi seksual ini harus ditolak karena merupakan
kebudayaan asing. Ini hal yang salah kaprah bagi saya. Misalnya, di
Ponorogo. Di situ ada warok, yang mempunyai gemblak yaitu lelaki muda
yang biasanya cakap parasnya. Dan ini amat diterima di Ponorogo. Bahkan
warok itu amat dihormati.

Dan di Sulawesi, ada Bissu. Dia adalah lelaki yang mirip perempuan dan
berpakaian perempuan. Dan dia adalah pendeta di sana. Mereka juga
mengenal Calalai dan Calabai, yaitu gender-gender yang lain. Tidak
hanya lelaki dan perempuan saja. Bahkan pada abad 17, 18 bahkan sampai
awal abad ke-19, ada catatan-catatan dari misionaris Eropa tentang
keberagaman orientasi seksual di Nusantara ini. Dan justru mereka ini
yang mengecam bahwa orang-orang di Nusantara ini tidak bermoral.

Padahal di Asia Tenggara sendiri orientasi seksual seperti itu diterima
pada jaman dulu. Sekarang malah kebalikannya. Banyak orang Indonesia
yang bilang kalau LGBT itu dari Barat dan tidak bermoral. Gimana ini
sekarang? Jadi yang namanya moral itu sangat rancu.

- Bu Soe Tjen, tapi apakah karena kebudayaan itu sudah mengakar dan
sudah menjadi sebuah kultur dari masyarakat. Jadi, kalau ada LGBT yang
come out atau menampilkan diri, justru ini yang dirasa mengganggu bagi
mereka. Apa benar begitu, ibu Soe Tjen?

Sebenarnya banyak budaya yang bukan merupakan akar dari masyarakat itu.
Tidak ada budaya yang asli sama sekali – biasanya budaya sekarang sudah
merupakan campuran di sana-sini dan dipengaruhi oleh berbagai budaya
lain. Bahkan suatu budaya seringkali adalah comotan dari budaya lain
dan Negara lain. Jadi, kalau ada yang bilang hal ini budaya asli
Indonesia, aduh, ini pernyataan yang tidak masuk akal sama sekali dan
bahkan bodoh sekali. Ini adalah pernyataan orang yang jarang membaca.
Akhirnya inilah yang menyudutkan para LGBT ketika mereka come out,
mereka akhirnya ditolak karena anggapan tidak sesuai dengan akar budaya
Indonesia.

Bahkan beberapa orang juga sempat bertanya apa saya ini lesbian. Saya
biasanya tidak menolak dianggap lesbian. Karena menurut saya, orientasi
seksual itu tidak sepatutnya dipermasalahkan. Itu hak pribadi
seseorang. Kalau ada orang yang bilang saya lesbian, ya terserah. Tapi
saya sekarang mau menyatakan bahwa saya adalah heteroseks yang
pro-LGBT. Mengapa? Karena saat ini, saya merasa malu menjadi
heteroseks, kalau heteroseks hanyalah dibuat sebagai tanda kenormalan
dan bisa mengintimidasi LGBT. Karena itu sekali lagi saya menyatakan
bahwa saya malu menjadi heteroseks, kalau mereka merasa mempunyai hak
melecehkan para LGBT. Saya benar-benar malu.

- Ibu Soe Tjen, golongan LGBT ini juga sering menerima hambatan dari golongan agama. Menurut ibu Soe Tjen ini bagaimana?

Sekarang mari kita bicara tentang agama Islam dulu. Di Alquran, tidak
ada pengutukan terhadap lesbian. Sama sekali tidak. Baca deh, kalau
nggak percaya. Yang dipakai sebagai referensi pengutukan gay lelaki
selalu Sodom dan Gomorah, dan Nabi Lut. Tapi Alquran itu ayatnya banyak
sekali. Jadi tidak saja Sodom dan Gomorah saja yang seharusnya menjadi
referensi. Tapi kisah Sodom dan Gomorah itu sebenarnya dipengaruhi oleh
budaya saat itu dan juga interpretasi manusia yang menuliskannya juga.

Dan ada beberapa hal yang aneh pada kisah itu: Pertama, kalau memang
gay lelaki yang dikutuk, kenapa istri-istri mereka juga dikutuk oleh
Allah? Ini mengherankan sekali. Dan dalam Islam itu ada ijtihad. Yaitu,
kita berpikir sesuai dengan hati nurani dan konteks. Jadi, konteks
Sodom dan Gomorah ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.

- Baik, tapi ini bukan cuma dari satu agama saja, ya bu Soe Tjen. Bukan
hanya agama Islam tapi beberapa golongan lain juga menolak keberadaan
LGBT ini dengan mengatasnamakan agama mereka.

Memang, dari golongan Kristen juga banyak sekali. Sama juga,
referensinya itu juga Sodom dan Gomorah itu. Jawaban saya sebenarnya
hampir sama dengan di Alquran itu dan yang . . . (diputus)

- Baik, bu Soe Tjen. Apakah menurut bu Soe Tjen kebudayaan LGBT ini
diimpor dari luar Negeri atau dasarnya itu sudah ada di Indonesia
aslinya?

Seperti yang sudah saya katakan: Masalah kebudayaan itu amat rancu.
Jadi kebudayaan itu tidak ada yang asli, tidak ada yang bisa disebut
hal ini kebudayaan Indonesia saja. Kebudayaan itu tidak pernah dari
satu sisi. Tapi, LGBT itu ada, dan sempat diterima dalam kebudayaan
kita, bahkan sempat dikecam oleh pihak luar.

- Bu Soe Tjen, sekarang saatnya kita terima komentar dan pertanyaan dari pendengar.

Pertanyaan dan komentar:

1. Begini, mbak, saya melihat di Indonesia ini sudah keblinger. Anda
mengatasnamakan budaya, dan dengan ini mereka bisa menentang agama.
Justru lelaki perempuan ini sudah ditakdirkan oleh Allah untuk para
mahluknya. Kita melihat binatang saja tidak ada yang begitu kok.
Apalagi manusia yang sudah mempunyai aturan-aturan agama. Ketika anda
berbicara agama dan budaya, semua disalahkan untuk membenarkan suatu
hal.

2. Menurut saya, ini harus dipahami dulu oleh ibu. Keberadaan lesbian
dan gay ini apakah hasil kebudayaan, kebiasaan, atau apa saja, ini
harus kita tolak. Ini merupakan penyakit. Seperti yang telah dinyatakan
oleh Profesor Naya Sujana di radio ini. Penyakit ini real, penyakit ini
ada di masyarakat. Jadi, hal ini penyakit. Masyarakat harus
menyembuhkannya. Jadi ibu jangan hanya hantam kromo begitu. Ini masalah
real. Ini memang betul-betul penyakit.

3. Saya menolak homo dan lesbian. Coba buka Alquran dan Hadis. Itu ada
di ALquran dan Hadis. INi penyakit social. Ini adalah penyakit yang
berbahaya. Oleh Rasul Allah kita dianjurkan untuk menikah. Ini sudah
diatur oleh agama dan moral itu sangat penting. Sampai kapan pun saya
tolak ini.

4. Allah sudah menciptakan manusia berpasang-pasangan, jadi jangan
merakayasa Alquran dan membuatnya mengikuti aturan manusia. Karena
hanya manusia aneh yang berbuat demikian.

Jawaban saya:

OK, sekarang tentang Alquran dan Islam dulu. Tapi dalam Islam itu ada
yang namanya Khuntsa. Ini munculnya pada abad-8, saat ada reformasi
pengetahuan dalam dunia Islam. Dan ini tertulis dalam Fikh. Khuntsa itu
artinya lelaki yang keperempuanan. Jadi ada gender-gender yang lain,
ada yang berkelamin ganda juga. Jadi, Quran itu tidak bisa dibaca satu
ayat saja, lalu dicuplik dan dilepaskan dari keseluruhan Alquran. Ini
yang menyebabkan kekerasan dan kebencian. Padahal saya yakin, Islam itu
agama yang penuh cinta kasih.

Sekarang tentang kebudayaan, kalau ada pemirsa yang bilang budaya kita
tidak bisa diterima. Aduh, saya sudah berkali-kali berkata bahwa
kebudayaan itu tidak ada yang asli. Budaya selalu berubah. Seperti yang
saya sebut, dulu orientasi seksual yang berbeda itu cukup diterima di
Nusantara dan bahkan sempat dikecam oleh orang-orang Eropa.

- Baik, ibu Soe Tjen. Jadi, kesimpulannya LGBT belum diterima secara
bebas di Indonesia ya. Kalau sembunyi-sembunyi mungkin tidak apa-apa
ya. Tapi kalau come out, di Indonesia ini mungkin masih belum bisa.
Baik, ibu Soe Tjen Makasih atas waktunya yang diberikan untuk radio
Elshinta.

Solidarität mit ILGA Asien



Der Lesben- und Schwulenverband (LSVD) fordert die Bundesregierung auf,
gegenüber der Regierung Indonesiens auf die Wahrung der vollen
Menschen- und Bürgerrechte für Lesben und Schwule zu pochen.

Am 26. März 2010 verhinderte eine Gruppe islamistischer
Fundamentalisten im indonesischen Surabaya eine Konferenz der
asiatischen Region der International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and
Intersex Association (ILGA). Die mehr als 100 Konferenzteilnehmer innen
und –teilnehmer aus zwölf Staaten wurden belagert, bedroht und
eingeschüchtert. Die 4. ILGA Asien Konferenz sollte vom 26. bis 28.
März in der zweitgrößten Stadt Indonesiens stattfinden. Gastgeber der
Veranstaltung war Indonesiens älteste schwullesbische Organisation GAYa
NUSANTARA, deren Gründer und Direktor, Dede Oetomo, im internationalen
Beirat der Hirschfeld-Eddy- Stiftung vertreten ist. ILGA Asien zählt
mehr als 160 Mitgliedsorganisati onen aus 17 asiatischen Staaten.

Obwohl die örtlichen Polizeibehörden den Organisatoren zunächst ihre
Unterstützung zugesagt hatten, machten sie einen Rückzieher, als die
Fundamentalisten vor Ort massive Proteste ankündigten. Man sehe sich
nicht in der Lage, die Konferenzteilnehmer innen und -teilnehmer zu
schützen. ILGA Asien wurde zu einer öffentlichen Erklärung gezwungen,
wonach die Konferenz offiziell abgesagt werden. Bereits am 24. März
hatte das Mercure Hotel die Gäste wieder ausgeladen, obwohl Zimmer und
Konferenzräume bereits bezahlt waren. Die zahlreichen Aktivistinnen und
Aktivisten mussten in ein anderes Hotel ausweichen. Am 29. März soll
laut Presseberichten das indonesische Ministerium für religiöse
Angelegenheit angekündigt haben, gerichtlich gegen die Organisatoren
der Konferenz vorzugehen wegen „antireligiöser Aktivitäten“.

Das Vorgehen der indonesischen Behörden ist mit der Verfassung des
Landes, die auf weltlichen Prinzipien beruht und den
Gleichheitsgedanken hochhält, unvereinbar. Zudem widerspricht das
Vorgehen der Behörden den demokratischen Prinzipien der Versammlungs-
und Demonstrationsfreih eit und mehreren UN Menschenrechtsabkom men, die
auch Indonesien unterzeichnet hat. Antihomosexuelle Übergriffe
verletzen elementare Menschenrechte wie sie in der Allgemeinen
Erklärung der Menschenrechte und im Internationalen Pakt über
bürgerliche und politische Rechte festgelegt sind. Das Recht auf ein
Leben ohne Diskriminierung schließt den Schutz vor Diskriminierung
aufgrund der sexuellen Identität mit ein.

Der LSVD hat das Auswärtige Amt am 30. März bereits über die Vorfälle
informiert und auf die weiterhin bestehende Gefahr für die
Aktivistinnen und Aktivisten von GAYa NUSANTARA hingewiesen.

Wir fordern die Bundesregierung auf, gegenüber der indonesischen
Regierung gegen das Vorgehen der Behörden in Surabaya zu protestieren
und klarzustellen, dass die Menschenrechte universell und unteilbar
sind, für alle gelten, auch für Lesben und Schwule. Die Frage, wie mit
sexuellen Minderheiten in einer Gesellschaft umgegangen wird, ist immer
ein Lackmustest für den Freiheits- und Reifegrad eines Gemeinwesens. In
der Frage der Achtung der Menschenrechte darf es keine
Hierarchisierungen geben, der eine darf nicht mehr Menschenrechte oder
größeren Schutz genießen als der andere.

Seorang Gay Muslim dan Sekretaris Umum Ourvoice




Konferensi International Gay Lesbian Association (ILGA) Asia ke-4 batal
dilaksanakan 26- 28 Maret 2010 di Surabaya Jawa Timur akibat tekanan
dari kelompok garis keras yang tergabung dalam FUI dan FPI. Padahal
Konferensi itu telah mendapat rekomendasi dari Kepolisian Daerah Jatim
Wilayah Kota Besar Resor Surabaya Selatan REKOM/67/III/ 2010/POLRES
tanggal 3 Maret 2010. Anehnya polisi memilih tunduk pada intimidasi
kelompok garis keras dibandingkan mempertahankan rekomendasi yang mereka
keluarkan sendiri.

Ini menunjukkan kegagalan kepolisian dalam melindungi setiap warga
negaranya untuk berkumpul dan berekspresi. Hak kami sebagai warga
negara yang diatur dalam UUD 45 telah dikalahkan oleh kelompok garis
keras. Tindakan mereka jelas-jelas melanggar hukum telah memaksakan
kehendak pada orang lain dengan menggunakan kekerasan. Sulit dipikirkan
mengapa polisi sebagai aparat negara telah kehilangan wibawa dan
kekuatan di hadapan kelompok pelaku kekerasan. Bahkan Menteri Agama RI
Surya Dharma Ali menyatakan pelaksana konferensi ILGA Asia dapat
dipidanakan. Karena dapat dianggap sebagai bentuk penodaan agama dan
pelecehan susila.

Tindakan pelarangan ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia.
Kita masih ingat pada tanggal 13 Februari 2010 para waria di Banda
Aceh melakukan kegiatan malam sosial mendapatkan kecaman dari para ulama
di Aceh. Menurut Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Ali
di Banda Aceh bahwa “kegiatan itu telah menodai pelaksanaan syariat
Islam di Aceh”. Demikian juga dengan kejadian di Tasikmalaya, yaitu
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tasikmalaya Achef Noor Mubarok
akan melakukan pembinaan kepada 900 gay yang bekerjasama dengan
Departemen Agama (Depag) dan Polisi Resort (Polres) Kota Tasikmalaya,
dengan alasannya karena gay dianggap sebagai penyakit mental dan
dinilai sebuah adzab.

Kekeliruan umum dalam memahami homoseksualitas di Indonesia masih
sangat kuat. Meskipun tuduhan bahwa homoseksualitas itu sama dengan
“penyakit mental” “kelainan jiwa” dan beberapa keliruan lainnya
sebenarnya telah lama dianulir. Pada tahun 1973 American Psychiatric
Association (APA) menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa.
Kemudian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 17 Mei 1990
secara resmi mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit. Sehingga 17 Mei
dijadikan momentum peringatan International Day Against Homophobia
(IDAHO), hari melawan kebencian terhadap homoseksual.

Di Indonesia sendiri dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa, Edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun
1983 (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) 1993, pada point F66 meyebutkan bahwa
orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) jangan
dianggap sebagai suatu gangguan. PPDGJ I-III oleh Depkes ditetapkan
sebagai acuan profesi kesehatan jiwa dan akademisi di seluruh Indoensia.
Sehingga tuduhan oleh orang atau kelompok bahwa homoseksual selalu
dikaitkan dengan gangguan jiwa ataupun penyakit hanya sebuah asumsi dan
tuduhan yang tidak berasalan.

Saya pribadi adalah seorang gay yang hingga saat ini terus menghayati
keislaman saya. Saya dibesarkan di keluarga dan masyarakat muslim
Muhammadiyah. Saya muslim yang meyakini ajaran yang diperintahkan oleh
Allah Swt dan Rasul-Nya: Muhammad Saw seperti sholat, puasa dan juga
berbuat baik pada orang lain. Tidak ada perbedaan ritual ibadah yang
saya lakukan dengan umat Islam pada umumnya. Keyakinan Islam saya
bukanlah seperti keyakinan yang dituduh “sesat” oleh ulama, seperti
Ahmadiyah, Lia Eden, Syiah.

Pertanyaan yang sering mengganggu saya adalah mengapa kebencian sebagian
ulama yang dalam hal ini diwakili kelompok garis keras sangat besar
kepada homoseksual? Tak hanya sebagian ulama yang memiliki kebencian
terhadap homoseksual, tetapi juga pemerintah. Hampir semua peraturan
daerah tentang pelacuran, maksiat, perbuatan asusila memasukan kelompok
homoseksual sama dengan pelacuran. Seperti yang terdapat pada Perda Kota
Palembang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Pelacuran, pasal 8
ayat 1 dan 2 meyebutkan bahwa: Pelacuran adalah perbuatan yang
dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar bertujuan
mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau
tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Yang
termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah a. homoseks; b. lesbian;

Pandangan keagamaan dan peraturan di atas mengingatkan saya ketika
belajar agama pada masa saya kecil bahwa Allah Swt menjanjikan surga
bagi seorang muslim. Rasulullah Saw bersabda melalui Abu Dzar: “Jibril
berkata kepadaku, ‘Barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak
mempersekutukan sesuatu kepada Allah maka dia pasti masuk surga atau
tidak masuk neraka” (HR. Bukhari). Di dalam Al-Quran sendiri terdapat
teks yang tertulis: “Adapun orang – orang yang kafir dan mendustakan
ayat – ayat kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”
(QS Al Baqarah: 39)

“Orang kafir” dalam pemahaman yang saya adalah orang-orang yang tidak
percaya kepada ajaran Allah Swt dan Muhammad Saw. Artinya kalau dikaji
secara sederhana walau saya seorang gay tetapi sepanjang saya beriman
saya tetap bersangka baik pada Allah bahwa saya termasuk yang dijanjikan
masuk surga. Walau doktrin surga yang dijanjikan selama ini tidak
begitu menarik bagi saya. Surga yang digambarkan dengan
bidadari-bidadari yang cantik dan awet muda. Padahal saya tidak ada
ketertarikan sama sekali dengan perempuan. Surga yang terbayangkan oleh
saya adalah surga yang berisi laki-laki dewasa yang ganteng dan
baik-baik.

Sesuatu hal yang sangat sulit dan mungkin mustahil kalau saya harus
meninggalkan rasa cinta dan ketertarikan kepada laki-laki. Sama sulitnya
ketika saya harus meninggalkan Islam sebagai agama yang saya yakini.
Dua hal ini tak mungkin dilepaskan dari saya meskipun dengan paksaan,
kekerasan hingga kehilangan jiwa. Dalam situasi ini apakah kemudian saya
akan meyalahkan Allah Swt yang telah menciptakan saya sebagai seorang
gay?

Mengapa non-muslim yang katanya “kafir” jauh dipandang lebih “baik”
oleh para ulama dan masyarakat muslim di Indonesia dibanding kami:
kalangan homoseksual yang masih beriman? Meskipun saya sadari tidak
sepenuhnya teman-teman non muslim mendapatkan hak-hak yang sama, tetapi
minimal jauh lebih baik dibandingkan dengan saya sebagai seorang gay.
Teman-teman non muslim masih memiliki perlindungan hukum yang jelas,
baik di ruang politik maupun ekonomi.

Bahkan sudah banyak kebijakan nasional maupun international yang
menghargai dan melindungi perbedaan karena keyakinan agamanya, tetapi
nasib ini belum berlaku untuk kami sebagai homoseksual. Jangankan
dipenuhi dan dilindungi hak-haknya, malah mengkriminalkan homoseksual
sebagai seorang pelacur, sakit jiwa dan tuduhan yang menyeramkan
lainnya.

Mengapa hujatan dan hinaan terus dilekatkan kepada kami sebagai kelompok
pendosa dan pembawa bencana bagi kehidupan manusia? Bukankah semua
muslim bersaudara? Bukankah penghormatan kepada setiap orang adalah
esensi dari ajaran Islam? pertanyaan-pertanya an tadi terus berkecamuk
dalam sanubari saya, tetapi saya percaya bahwa hanya Allah Swt yang
paling berhak apakah homoseksual itu berdosa atau tidak.

Salam

14 April 2010

Jenazah Gay Diamuk Massa di Senegal




Bulan Mei thn lalu, tindakan anarkis pada jenazah gay - Madieye Diallo -diabadikan sebaagi video di ponsel agar bisa disebar. Jenazah Madieye baru dikubur beberapa jam ketika massa mengamuk dan membobol makamnya dng sekop. Mereka menyeret mayat Madieye dan meludahi badannya. Mayat itu diseret kedepan rumah panti jompo.

Madieye sendiri adalah penderita HIV yg tewas krn dihalangi berobat dng intimidasi. Kebetulan, dia adalah seorang Muslim.

“Beberapa jam setelah Madieye meninggal, keluarganya membawanya ke mesjid untuk dimandikan dan dikafani. Namun sebelum jenazah sampai, berita bahwa dia gay sudah telanjur tersebar. Pihak mesjid menolak menerima jenazah dan malah mengusirnya! Famili Madieyeterpaksa membungkus jenazah Madieye seadanya dan membawanya ke pemakaman."

Seorang homophobia bernama Sene mendukung sikap anarkis mereka. “Seorang gay gak boleh dikubur di pemakaman. Jenazahnya ahrus dibuang bagaikan sampah..

Orangtuanya tau anaknya gay tapi tidak berbuat apa2. Kami hanya ingin memastikan mereka tahu bahwa kini mereka dihukum!"

Pengalaman Perempuan Pekerja Sexz..

Suamiku mantan aparat TNI yg ditahan slma 1 thun karena Narkoba,aku menyuap aparat hukum 30 jt dri hasil menjual tbuhku untk keringan tahanan. Tpi saya selalu dipukul suamiku. Mau cerai tp suamiku mengancam akan bunuhku. Skrg tiap hari aku menjenguknya dipenjara dgan memberikan makanan n uang 50 ribu/hari.(Pengakua n Pekerja Sex Perempuan di Sumatera).

Umurku 30 tahun, aku menikahumur 16 tahun. Pada saat umur anakku 17 bulan, selama menunggu hampir 4 tahun dalam ketidakpastian akhirnya aku mendapatkan kabar bahwa dia telah menikah dengan perempuan lain. Jangan nafkah bertemu anaknya juga tidak dia lakukan. Segala bentuk pekerjaan "halal" telah aku lakukan. Sekarang kedua orang tua saya sakit-sakitan permanen dan anak saya sedang sekolah di bangku SMP kelas 3. Akhirnya aku memutuskan untuk menjual tubuhku untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga. Perobatan orang tua dan biaya sekolah anak. Aku jujur semua kepada anakku apa yang aku lakukan. Pekerjaan ini tidak pernah aku bayangi sebelumnya. (Pengakuan Pekerja Sex Perempuan di Jawa Timur).

Aku tidak tahan lagi kalau harus berhubungan sex untuk melayani dua orang, suamiku dan seorang Waria. Selama 2 tahun aku harus melakukan cara-cara hubungan sex yang diinginkan suamiku. Perbuatan yang menjijikan bagi diriku. Tidak ada pilihan bagi diriku saat ini atas perlakuan suamiku kepada tubuhku. Suamiku tidak bisa ereksi dan nafsu kalau tidak melakukan hubungan sex bersamaku dan waria. Sampai sekarang aku harus melayani nafsu biadab suamiku secara berulang-ulang. Selain itu aku harus tidur dengan banyak laki-laki lagi untuk mencari nafkah. Saya menjadi benci dan marah kepada semua waria yang aku kenal.(Pengakuan seorang ibu 4 orang anak, Perempuan Pekerja sex di Jawa)

Tiga penggalan cerita diatas adalah gambaran pengalaman perempuan pekerja sex yang saya ketemui.

Kalau sudah begini siapa yang harus bertanggungjawab? Layakkah kita terus mengkriminalkan pekerja sex dan menstigmanya sebagai orang yang tidak bermoral? Hanya kejujuran hati yang dapat menjawabnya. ...


Salam Duka

13 April 2010

Kapan ya selebritis dan politikus Indonesia berani coming out kepublik?

VIVAnews - Selama ini, Ricky Martin selalu dikabarkan bila dirinya
adalah pecinta sesama jenis. Tetapi, Ricky Martin selalu menampik kabar
tersebut. Setelah sekian lama, akhirnya penyanyi berdarah Latin tersebut
mengakui bila dirinya adalah gay.

Ricky mengakui hal tersebut di
dalam blog pribadinya. Pelantun 'Livin' La Vida Loca' ini menganggap
saat ini adalah momen yang tepat untuk membuat pengakuan tentang sebuah
rahasia yang selama ini selalu dia simpan rapi tersebut.

"Hari
ini adalah hari buat saya. Ini adalah waktu saya dan ini adalah momen
untuk saya. Selama bertahun-tahun saya diam dan dibayangi justru membuat
saya kuat dan mengingatkan saya atas dukungan yang datang. Dan itu
membuat saya kuat untuk menaklukkan emosi," kata Ricky Martin seperti
dikutip dari Hollyscoop, Selasa 30 Maret 2010.

Dalam kesempatan
itu, Ricky juga mengakui bila dirinya bangga menjadi seorang gay. Dia
merasa bahagia dengan pilihannya tersebut.

"Saya bangga
mengatakan bila saya adalah homoseksual. Saya sangat diberkahi dengan
menjadi diri saya," ucapnya.

Gosip seputar Ricky Martin adalah
gay sudah lama beredar. Tetapi, Ricky selalu menutupinya. Pada tahun
2000 lalu, penyanyi yang terkenal dengan goyangannya yang seksi itu
diundang menghadiri acara yang dipandu Barbara Walters.
Barbara memberikan pertanyaan yang sangat mengejutkan terlebih lagi
untuk Ricky Martin. Barbara bertanya kepada pria yang terkenal dengan
tariannya yang seksi itu soal kehidupan pribadi penyanyi tersebut.

"Saya
bertanya dan mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab oleh Ricky. Saya
bertanya apakah dia gay atau tidak. Tetapi, dia membantahnya. Dan
bantahannya itu membuat orang menganggap sebaliknya," ujar Barbara.

Wanita
ini yakin bila pertanyaannya itu membuat karir Ricky di dunia
entertainment meredup. Konon, pertanyaan itu kabarnya sangat berpengaruh
pada perjalanan karir musik ayah dua anak tersebut. Sejak tampil di
acara tersebut, nama Ricky Martin semakin hilang dari gemerlapnya
panggung musik dunia.

Dia juga jarang tampil di muka publik. Hal
itu meninggalkan perasaan menyesal dalam diri Barbara. Dia merasa sudah
melakukan kesalahan terhadap Ricky.

Pelibatan Orang Terinfeksi HIV dalam penanggulanan HIV & AIDS di Indonesia

Apa sih orang terinfeksi HIV? Tentu saja, ini harus dipahami terlebih dahulu oleh semua orang baik yang sudah berkecimpung dalam pendampingan dan yang tidak pernah sama sekali bersentuhan dengan dampingan kelompok ini. Orang terinfeksi HIV artinya orang yang secara medis sudah dinyatakan terinfeski di dalam darahnya oleh virus HIV ( Human Immunodeficiency Virus). Orang seperti ini belum bisa dikategorikan sudah terkena AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), karena ia masih menunjukkan gejala dan fisik yang masih normal seperti umumnya orang sehat. Selama orang yang terinfeksi HIV bisa menjaga aktivitasnya dengan baik seperti : pola makan yang sehat, pola tidur, olah raga, dan aktivitas yang lain, tentu ia akan tetap bisa bertahan hidup lebih lama meskipun virus ini terus menggerogoti kekebalan tubuhnya(CD4 =sel-T CD4+ sekitar 600-1,500/mm3 darah, ini standar orang sehat). Berbeda lagi dengan orang yang sudah masuk tahap AIDS, artinya kekebalan tubuhnya sudah mulai melemah sekitar sel-T CD4+ jatuh di bawah 200 sel/millimeter persegi (mm3) darah. Tentu, saja akan ditandai dengan banyak gejala penyakit yang mulai menyerang dalam tubuhnya seperti TB, demam, flue yang tidak kunjung sembuh dan berbagai macam penyakit yang sudah ada di tubuhnya. Orang dengan HIV/ AIDS ini sudah menunjukkan gejala penurunan yang sangat draktis maka ia sangat sensitive dengan orang yang sedang sakit, karena mudah tertular.

Bagaimana pelibatan orang terinfeksi HIV itu sebagai obyek atau subyekkah? Nah, kiranya kita harus memahami posisi orang yang terinfeksi HIV tersebut. Bila dia dalam koridor sebagai seorang pasien yang setiap saat harus berkunjung ke klinik untuk test darah setiap 3 bulan sekali, melakukan proses penyembuhan ataupun sekedar untuk konsultasi kepada para medis yang ada klinik layanan untuk program pencegahan terhadap penularan HIV/AIDS maka ia dapat dikatakan sebagai Obyek.Obyek artinya orang yang dipandang perlu untuk dibantu dalam edukasi, maupun penanganan medis baik berupa test darah (CD4) , tindakan kelanjutan bila dikatakan positip HIV dan atau AIDS. Lain hal, bila orang yang terinfeksi HIV selalu intens berhubungan dengan klinik medis dan kelompok jaringan yang menangani/ mendampingi kelompok dampingan (KD) dalam program HIV/ AIDS. Orang tersebut secara suka rela atau diminta atau dipekerjakan untuk membantu klinik atau kelompok jaringan /LSM yang terlibat dalam dampingan program pencegahan HIV/AIDS. Ia dapat dikai Subyek. Subyek disini artinya orang yang sehat ataupun positip HIV/AIDS terlibat dalam penanggulangan/pencegahan HIV/AIDS. Saya setuju untuk melibatkan orang yang terinfeksi HIV untuk dilibatkan dalam penanggulangan/ gahan HIV/AIDS di Indonesia. Alasannya bahwa : pertama, mereka akan semakin memahami pengetahuan HIV/ AIDS itu sendiri. Kedua, mereka semakin dikuatkan dengan para volunteer yang lain atau sesama HIV+. Ketiga, mereka mempunyai semangat hidup baru setelah dinyatakan HIV+, karena mereka berkumpul dengan lingkungan yang mendukungnya. Keempat, untuk yang orang yang HIV+ yang kehidupannya kurang secara financial mereka akan direkrut dan beri honor setidak dan ini akan memberi peluang untuk mencari nafkah. Sebagai subyek, orang yang HIV+ dapat diharapkan sebagai Peer Edukator untuk melakukan program edukasi ke masyarakat tentang apa itu HIV/AIDS, bagaimana penyebarannya, bagaimana pencegahan; memberikan penguatan/dukungan kepada kelompok yang terinfeksi HIV/AIDS untuk bisa sharing menguatkan antar sesame penderita , bisa membangun kelompok basis. Dengan sebagai PE ini, dia sudah masuk dalam kelompok tertentu yan g dianggap rawan dengan penularan HIV/AIDS. Selain itu orang yang HIV+ dapat diharapkan sebagai konselor artinya dia dapat memberikan konseling kepada temen-temen atau orang lain. Karena tidak semua orang bisa terbuka dengan siapa saja, dia bisa terbuka dengan orang tertentu saja. Untuk membantu , membuka dan memecahkan persoalannya, seseorang ini butuh konselor. Tugas ini memang tidak mudah. Karena , tugas ini dibutuhkan orang yang mau belajar mendengar persoalan orang lain, tidak mencampur adukkan dengan persoalan dalam dirinya kecuali sebatas sharing untuk membantu memecahkan masalah, tidak membuat orang bergantung terus. Sebagai konselor, bagi seorang HIV+ ini akan sangat membantu kepada pihak lain berada dilingkungan yang mudah terinfeksi HIV/AIDS. Ada lagi, seorang yang HIV+ dapat menjadi Buddies adalah petugas pendamping Odha (orang dengan HIV/ AIDS) dan Ohidha (orang hidup disekitar orang yang HIV/AIDS). Adapun Tugas Buddies: Memberikan informasi Rujukan Perawatan dan pengobatan, memberikan dukungan psikologis dan sosial, dan melakukan pemberdayaan ODHA dan keluarganya, Mencatat profil kelompok dampingan , Membuat laporan home visit , Membuat laporan kegiatan KIE (jika melakukan) , Membuat laporan konseling haruan , Membuat laporan pendampingan ODHA , Memberikan rujukan dan membuat laporan rujukan, Membuat rekap standart performance mingguan yang diberikan kepada Koordinator Lapangan, Merekap laporan mingguan untuk dilaporkan kepada Koordinator Lapangan . Orang yang HIV + dapat pula menjadi seorang MK . MK adalah Manager Kasus. Manager kasus ini mempunyai tugas yang cukup rumit antara lain : mengajak odha untuk hidup mandiri dengan mengajak membuat jaduwal untuk minum ARV, menunjukkan cara mengakses obat ARV, menunjukkan dan memberitahu dimana dapat memperoleh ARV, menjelasakan kepada keluarga bila odha sudah siap, menjelaskan kepada lingkungan yang mengetahui kondisi odha, dan sebagainya. Dari semua ini yang perlu diantisipasi dan diajarkan ke masyarakat adalah harus membuka wacana masyarakat untuk tidak stigma dan diskriminasi. Dan itu, tidak selalu ke masyarakat awam, tetapi kepada kalangan yang sudah berkecimpung dalam pendampingan untuk program HIV/AIDSpun juga perlu dibuka kerangka berpikirnya. Karena merekapun masih ada yang melakukan stigma dan diskrimasi. Ini dapat ditunjukan saat mereka bertemu dengan orang yang HIV+ ataupun AIDS. Tentu saja, rekan-rekan di LSM harus bisa membagi-bagi dalam beberapa kelompok kategorial orang-orang yang terinfeksi HIV untuk dilibatkan. Kita bisa membaginya dalam kelompok status social : seperti dari keluarga kaya,sedang, miskin/tak mampu; seperti dari kelompok pekerja, sekolah, atau pengganggur dan sebagainya. Atau kita juga bisa emlihat dari kelompok bagaimana terinfeksinya: seperti ibu rumah tangga biasa, PSK, pengguna Narkoba. Nah, dengan demikian ini akan sangat membantu kemana mereka harus mengedukasi ke masyarakat.

Kita semua tentu berharap bahwa persoalan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia dapat di tekan dengan membangun basis kelompok yang terkecil dengan melibatkan orang-orang yang terinfeksi HIV . Menunjukkan pula bahwa orang-orang dengan HIV+ masih mampu untuk berkarya dan bersosialisasi dengan orang lain. Ini juga menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa kita semua harus merangkul orang-orang seperti ini dan menghilangkan stigma dan diskriminasi baik dalam prilaku, perkataan dan perbuatan kepada orang-orang denga HIV+ ataupun odha.

Salam perjuangan.



F Eko Purwanto

Jakarta, 22 Februari 2010

What will be the next violation of human rights in Indonesia?

First there was the Aceh Legislative Council that passed the Qanun Jinayat punishing adultery and homosexual conduct with stoning to death and caning. Then there was the Constitutional Court decision upholding the Anti-Pornograhy law that criminalizes homosexuality, and leaves room to criminalize sensuality violating especially cultural minorities’ freedom of expression. Finally there came the mobs attacking the ILGA Asia Conference participants in broad daylight of Surabaya.



On March 23rd the Indonesian police cancelled the regional Asia Conference of the International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Intersex Association (ILGA) that was to be held in Surabaya through 26 – 28 March and was to be attended by more than 150 activists representing 100 organizations from 16 Asian countries. It is claimed that the police cancelled the conference due to pressures and threat of attacks from conservative Muslim groups, though in fact the duty of the police was to deter such attacks. As the inability of a state and its law enforcement units to protect the freedom of expression and association can only reflect institutional discrimination and systematic intimidation against human rights advocates.



On March 26th these groups did indeed attack the Conference participants in the Oval Hotel where they were trapped, having arrived in Surabaya unaware of the last minute cancelation, and unable to leave the city.



We know that the freedom of association is protected by the law in Indonesia, and we also know that though not required by law, the Organizing Committee had received the permit for the conference and that this permit was withdrawn by the police in Surabaya, which allegedly feared violent attacks by radical Islamic groups.



Yet the same police had no fear dining with the attackers in the lobby of the Oval Hotel, while the mob harassed the Conference participants subjecting them to verbal and physical abuse. The mob also sealed the office of GAYa NUSANTARA, the local organization that hosted the conference. This office is still closed and human rights activists in Surabaya are still under the threat of further attacks.



In a country such as Indonesia that prides itself on its diversity, and is supposed to uphold the universal principles of human rights, these acts of violence and intimidation against human rights activists are simply and completely unacceptable. In a democratizing country such as Indonesia, the duty of the state, its legal instruments and its police is to guarantee the constitutional right of association of the people, and not to deprive them of this right by sheltering pressure groups that wrongfully use the name of Islam to further their political agendas.



As 38 leading non-governmental organizations and academic institutions from 16 countries in the Middle East, North Africa, South and South East Asia, we call upon the members of the press to spread the news on these outrageous violations of human rights, so that the authorities take immediate and solid action to guarantee the safety of the Conference organizers and participants who are still in Surabaya, and reopen the doors of GAYa NUSANTARA and safeguard the security of all its members

Peran penting ODHA dalam penanggulangan AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah Suatu virus yang menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah terinfeksi penyakit dan tubuh penderita akan menjadi sarang berbagai penyakit yang tak kunjung sembuh. Kondisi inilah yang disebut AIDS alias Acquired Immunodeficiency Syndrome. HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina, atau air susu ibu. Ini artinya, perilaku seks bebas, penggunaan jarum suntik yang tidak steril di kalangan pecandu narkoba , transfusi darah, atau wanita hamil yang terjangkit HIV berisiko memberikan tongkat estafet mewabahnya HIV. Di antara perilaku yang memancing kehadiran HIV ini, Injection Drug Use (IDU) memimpin klasemen.

Semua Odha setelah pertama kali mendengar bahwa mereka positif HIV, maka segalanya jadi terasa seperti kiamat. Mereka jadi tidak bersemangat untuk bekerja, bergaul, tidak enak makan, depresi dan tidak bersemangat untuk melanjutkan hidup.Namun ketika ODHA telah menyadari keadaannya kemudian mereka bangkit maka ia akan jauh lebih semangat menjalani hidup karena ia mempunyai tanggung jawab moral sebagai orang sakit agar orang lain tidak ikut sakit seperti dirinya. Inilah semestinya yang harus dipahami oleh setiap ODHA bahwa sebaik-baik Manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

Permasalahan justru datang dari masyarakat yang masih memiliki stigma buruk kepada ODHA. Tak dipungkiri stigma buruk ini memang sengaja dibuat oleh zaman orde baru hingga ODHA mengalami diskriminasi. Anggapan, opini dan stigma masyarakat pada pengidap HIV/AIDS atau Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) masih sangat negatif. Untuk meretas stigma itu, diperlukan upaya nyata dan komitmen berbagai pihak baik Pemerintah, LSM, terlebih dari ODHA sendiri dalam menekan laju pertumbuhan HIV/AIDS. Jika stigma sudah berhasil diretaskan maka penanggulangan HIV/AIDS akan mendapatkan dukungan penuh masyarakat termasuk berbagai kalangan.

ODHA selayaknya menjadi mentor utama dalam penanggulangan AIDS, bukan malah justru dijadikan objek oleh Pemerintah,LSM maupun lembaga yang menangani penanggulangan AIDS lainnya.karena selama ini pelibatan ODHA dalam penanggulangan AIDS hanya bersifat Formalitas saja,ODHA diundang rapat tapi hanya untuk menyetujui program yang dilakukan Pemerintah, hanya diajak untuk tanda tangan untuk setuju tapi tidak dilibatkan ketika penyusunan Perda tentang HIV AIDS.

Demikian pula dalam penanggulangan AIDS oleh LSM. bahwa ODHA hanya semata menjadi angka dalam program penanggulangan AIDS. Makanya tiap kali pertemuan koordinasi antara LSM, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), dan lembaga donor, mereka hanya menanyakan soal pertambahan angka. Parahnya lagi LSM-LSM itu terlihat sangat bangga dengan penambahan jumlah klien.Ini adalah eksploitasi ODHA.

Pemberdayaan ODHA adalah agenda utama yang harus menjadi program Pemerintah dan LSM saat ini. Karena kalau ODHA sudah memahami keadaanya maka mereka akan menentukan sendiri apa yang terbaik untuknya.Pemberdayaan dapat dilakukan secara berjenjang terhadap ODHA. Dimulai dengan memberikan pemahanan Agama yang baik yang akan dapat menumbuhkan kepercayaan diri mereka akan Hak dan kewajibannya.Karena dalam Agama ada nilai-nilai tasawuf yang diajarkan sehingga manusia tidak akan mudah putus dari kasih sayang Allah.Doktrin Agama juga akan menjadi motivasi yang menjadikan manusia untuk terus berusaha bermanfaat bagi manusia lainnya. Selanjutnya terapi kesehatan .Setelah persoalan kesehatan teratasi, maka selanjutnya ODHA diberikan pemberdayaan di bidang ekonomi. Jika ODHA sudah mempunyai rasa percaya diri yang kuat kemudian Masyarakat tak lagi memandang negatif kepada ODHA maka penanggulangan AIDS di Indonesia bisa diharapkan mampu mencegah infeksi HIV kepada masyarakat luas.

Mahasiswa, 20 tahun

Muhammad Said

ORANG TERINFEKSI HIV SEBAGAI SUBJEK OTONOM YANG TERABAIKAN

Telah banyak isu-isu sensitif mengenai perlakuan diskriminatif terhadap orang terinfeksi HIV terkait situasi penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, beragam upaya untuk dapat menempatakan Orang Terinfeksi HIV untuk berada dalam posisi yang ‘seharusnya’. Walaupun dalam implementasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Terjadinya pergeseran kepentingan didalam upaya penanggulangan HIV/AIDS ternyata telah mampu memberikan kontribusi negatif terhadap perkembangan situasi epidemi HIV/AIDS di Indonesia khususnya individu-individu yang terlibat didalamnya. Perlakuan-perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan moralitas telah pula menghambat perjuangan Orang Terinfeksi HIV untuk mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat kelas sosial, bukan tidak mungkin sentimen negatif tersebut akan berujung pada proses dehumanisasi terhadap orang terinfeksi HIV itu sendiri. Secara semantik, dehumanisasi terjadi tatkala nilai-nilai luhur yang ada dalam teks ideologi, budaya dan agama tidak lagi berfungsi efektif sebagai pegangan hidup manusia sehari-hari, sehingga kebudayaan kehilangan dukungan kolektif dan manusia cenderung hidup tanpa basis keluhuran kebudayaan, inilah yang terjadi ketika perkembangan kawan-kawan yang konsisten memperjuangkan persamaan hak sebagai Warga Negara untuk mendapat perlakuan yang adil mendapatkan hadangan berupa dekadensi budaya yang tergerus arus besar estetika moral.

Suatu kenyataan bahwa selama ini Orang Terinfeksi HIV telah mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak manusia, sementara sebagian kecil lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil. Persoalan inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “situasi penindasan” yang apapun nama dan alasannya adalah tidak manusiawi. Dalam pemahaman Freire, dehumanisasi adalah bersifat ganda, dimana ia terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Kedua-duanya menyalahi kodrat manusia sejati (the man’s ontological vocation). Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan. Bahkan, mereka sendiri pun dibuat tak berdaya dan dibenamkan ke dalam apa yang disebut Freire sebagai “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Sedangkan miroritas kaum penindas, menjadi tidak manusiawi, karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati nurani dengan memaksakan “penindasan” terhadap sesama.

Telah banyak pula yang mencoba menjadi pahlawan dalam situasi yang sedemikian ‘krusial’ dengan kepentingan yang beragam pula, menambah pelik permasalahan penanggulangan HIV di Indonesia, masing-masing orang mengejar tujuannya sendiri yang setara dengan yang diinginkan, dan justru resultan dari banyak kemauan ini yang beroperasi dalam jurusan yang berbeda serta pengaruhnya yang bermacam-macam terhadap efektivitas penanggulangan HIV. Beberapa pengaruh yang ditampilkan dalam drama penanggulangan HIV di Indonesia dengan segera menetukan pula suatu alur kepentingan yang beragam. Sebagian dari pengaruh-pengaruh tersebut mendramatisasi kegairahan akan kebenaran dan keadilan melalui simpul objek material. Saat toleransi menjadi berlebih, kuantitas berlanjut menjadi kualitas, dengan kata lain, kepedulian tadi menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga. Dengan melibatkan Orang Terinfeksi HIV sebagai objek, maka Pemegang kekuasaan ‘telah berhasil’ pula menghambat laju penanggulangan HIV secara nyata, dan perlakuan diskriminatif pun layak untuk ditempatkan pada posisi teratas dalam permasalahan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Mengapa Orang Terinfeksi HIV harus terlibat sebagai subjek didalam Penanggulangan HIV/AIDS secara konsisten? Secara umum Manusia adalah sebagai pribadi (subjek otonom), berarti memiliki kepribadian yang mengatasi atau mentransendir dunia luar, alam sekitar, dan lingkungan sekitarnya. Manusia sebagai pribadi tidak mungkin dijadikan sebagai objek. Manusia adalah otonom. Sebagaimana dikemukakan oleh Boethius dalam abad pertengahan, pribadi didefinisikan sebagai substansi, individual yang bersifat rasional, yang mampu menyadari bahwa dunia luarnya merupakan objek, yang dijadikan alat untuk memperkembangkan diri sehingga makin sempurna. Atas dasar demikian sudah seharusnya Orang Terinfeksi HIV mendapatkan porsi yang lebih besar dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS mengingat apa yang sejauh ini telah dicapai dengan mengisolasi dan mengabstraksi Orang Terinfeksi HIV dari segala kebijakan-kebijakan klinis yang dibuat membuat peran Orang Terinfeksi HIV tidaklah lebih bebas sebatas objek karena kenyataan yang terjadi, Orang Terinfeksi HIV mengabstraksi dirinya daripada Origenes dari organ genital yang telah dipotong dari dirinya sendiri yang pada akhirnya menenggelamkan semangat untuk terus memperjuangkan hak-haknya.

Memang sudah seharusnya kita memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi pemikiran dialektis untuk memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibilitas pergerakan penanggulangan HIV/AIDS melalui konsep-konsep yang akan terimplementasikan lewat pengambilan keputusan, sehingga kita akan sangat berterima kasih kepada impuls kuat yang diberikan Tuhan kepada pemikiran. Sehingga pada akhirnya cita-cita bersama kita akan dapat tercapai.

Salam perjuangan,

Satu Suara, Satu jaringan, Satu Tujuan Untuk Pemenuhan Hak..!!

Shandy Rahadiansyah SH

Orang terinfeksi HIV Subjek atau Objek?

Ketika yang lemah tak pernah mau melawan dia akan selalu ditindas. Di dalam kehidupan sosial bermasyarakat banyak sekali hal yang dapat kita temukan bila kita mau mencari tahu dan mempelajarinya. Mulai dari politik antar preman pasar sampai dengan politik kekuasaan yang sering kita lihat dimedia layar kaca. Politik Organisasi Pemerintah dan masyarakat sipil hingga mafia peradilan serta banyak lagi macamnya. Itu semua hanya bagian bagian dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Dalam kehidupan sosial inilah orang terinfeksi HIV juga memiliki latar belakang yang berbeda – beda, semuanya akan sangat bergantung kepada keluarga, lingkungan tempat tinggalnya, pengalaman bertumbuh kembang, kelas miskin serta kelas kaya material kehidupannya. Hanya satu yang sama dan harus bersifat menyeluruh yaitu Hak Asasi Manusia (HAM). Akan menarik untuk dipahami bagaimana HIV dan AIDS yang ditakuti masyarakat telah menimbulkan berbagai perbuatan kriminal, seperti rumah tinggal dibakar, pengucilan dalam bertetangga, diberhentikan kerja, gagal mendapatkan asuransi, penafikan dari jaminan kesehatan dan sosial, bahkan sebutan penyakit kutukan akibat moral bejat, penyalahgunaan narkoba serta bahasa ‘akibat penyimpangan seksual’ juga masih seringkali digunakan. Berbagai macam perlakuan dismkriminatif dilakukan dalam rangka ‘kepentingan’ orang yang belum pernah melakukan tes HIV atau bahkan memiliki pengetahuan dasar tentangnya untuk menghukum infeksi HIV, mulai dari transmisi sampai hidup dengan HIV didalam tubuhnya.

Upaya perlawan terhadap stigma dan diskriminasipun dilakukan untuk menekan kejadian - kejadian diatas. Bagi orang terinfeksi HIV upaya melawan stigma dan diskriminasi dilakukan dengan konsep pemberdayaan. Konsep dikembangkan mulai dari mau tahu tentang informasi HIV dan AIDS hingga pelibatan dalam pengambilan keputusan yang bersifat struktural. Apakah konsep pemberdayaan ini benar – benar dilaksanakan? Ini adalah pertanyaan dengan jawaban beragam.

Pemerintah dan privat melibatkan orang terinfeksi HIV dalam penanggulangan AIDS adalah melalui komitmen Dunia bernama Greater Involvement of People Living with HIV and affected by AIDS (GIPA). Pertemuan deklarasi GIPA yang dihadiri oleh 42 Kepala Negara dan Wakil Negara berkumpul di paris pada tahun 1994 dimana Indonesia adalah salah satunya. Tujuan tulus dari perjanjian itu adalah untuk memfasilitasi pelibatan bermakna orang terinfeksi HIV dalam merespon permasalahan epidemi AIDS secara global. Akan tetapi banyak ketidaksesuaian dalam pengartian, banyak pihak mengatakan bahwa GIPA itu adalah Pelibatan ODHA dan OHIDHA dalam penanggulangan HIV AIDS. Kurang jelas maksud untuk penyampaian tambahan OHIDHA dalam terjemahan GIPA, menurut beberapa buku yang dikeluarkan, pengartian tersebut telah diluaskan berdasarkan kesepakatan menjadi orang yang hidup dengan HIV atau terpengaruh oleh AIDS (ODHA/OHIDHA). Jadi OHIDHA adalah orang yang terpengaruh AIDS, lalu bagaimana orang terpengaruh HIV namun tidak terinfeksi HIV apakah disebut ODHA juga? Jika artinya adalah orang yang hidup dengan ODHA, bagaimana mereka yang satu kantor dengan ODHA, seperti dokter, perawat, staf administrasi RS, staf Komisi Penanggulangan AIDS atau staf lapas, atau bahkan yang berpapasan dengan ODHA dijalanan? Apakah dapat dikatakan OHIDHA?

Buat saya sendiri OHIDHA merupakan sebuah bahasa politik agar orang yang mempunyai ‘kepentingan’ dapat memainkan perannya lebih jauh dengan tujuan utama membuat orang terinfeksi HIV menjadi lebih berdaya. GIPA inilah yang membuat penanggulangan HIV dan AIDS mau tidak mau harus melibatkan Orang terinfeksi HIV dalam program – programnya (apabila mau dapat pendanaan program). Berbagai macam konsep model program intervensi mulai dijalankan dan dikembangkan di Indonesia, dari pencegahan, pengobatan perawatan dan dukungan serta kampanye informasi HIV dan AIDS hingga Advokasi. Pelibatan itu memang terjadi dan bahkan dibeberapa program diharuskan untuk melibatkan orang terinfeksi HIV dalam advokasi pencegahan.

Mari kita telaah sekilas gambaran sebenarnya pemberdayaan ODHA dan OHIDHA tersebut. Banyak orang yang mendefinisikan pemberdayaan dengan kegiatan memberikan informasi, menjangkau orang yang dianggap memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi HIV, mendapatkan pekerjaan sosial didalam penangulangan AIDS bertarif mulai 1 juta sampai dengan 5 juta setiap bulannya, bagi ODHA yang menjadi pasien, ‘dapat mengakses obat ARV di RS dikatakan pemberdayaan’. Kenapa begitu banyak orang terinfeksi yang ‘tertinggal’ baik akibat tidak meratanya akses layanan kesehatan hingga disingkirkannya hak mereka untuk hidup baik layak seperti yang tidak terinfeksi HIV? Benarkah hal – hal ini aplikasi dari konsep berdaya?

Keputusan dibuat untuk penanggulangan AIDS, dan tidak di konsultasikan kepada orang terinfeksi HIV dalam jumlah yang pantas serta bertanggung jawab. Walaupun begitu beberapa orang terinfeksi HIV memang sudah bisa dilibatkan dalam mengambil keputusan strategis, namun sayang orangnya hanya itu itu saja dan bila katanya dikonsultasikan maka konsultasi hanya terbuka kepada beberapa orang dan ‘dia lagi – dia lagi’. Akhirnya lambannya kaderisasi kepemimpinan orang terinfeksi HIV membuat ‘para wakil’ terlena dengan kemampuan akses sumberdaya yang tinggi dan posisi kapasitas kesejahteraan yang aman. Mereka semakin lupa dan tidak mau tahu dengan apa yang terjadi terhadap puluhan ribu teman – teman terinfeksi HIV lainnya.

Dalam kondisi ini peran orang terinfeksi HIV sebagai OBJEK atau SUBJEK? Tentu jadi pertanyaan yang pantas. Inikah yang disebut pemberdayaan dimaksud? Ada juga pandangan bahwa orang terinfeksi HIV adalah “objek saat mereka menjadi pasien RS”, maaf saja bila saya tidak sependapat dengan pernyataan ini. Kenapa mengalami kemunduran pemikiran, bukankah seharusnya pasien juga memiliki hak untuk ikut menentukan pilihannya dalam tindakan medis? (seperti memilih obat yang sesuai dengan kebutuhannya, membeli obat generik, menolak tindakan operasi, mendapatkan penanganan segera dalam situasi yang mengancam nyawa, dll) yang memampukan mereka sebagai subjek (janganlah karena tidak tahu lalu serta merta hilang hak-nya untuk menentukan pilihan dan menjadi objek). Namun pada banyak lembaga swadaya masyarakat sendiri ODHA juga umum hanya dikumpulkan saat bagi – bagi uang transport dan atau per-diem serta santunan sosial. Upaya ini membuat penanggulangan AIDS dengan pelibatan orang terinfeksi HIV adalah sebuah pendekatan karikatif (belas kasihan) yang membiaskan esensi tanggung jawab negara untuk menjaga dan melindungi warganya.

Budaya seperti inilah yang harus diperbaiki dalam komunitas atau jaringan orang terinfeksi di Indonesia. Budaya tokenisme harus dirubah, dah bagaimana cara merubah hal yang sudah terjadi cukup lama? Saya yakin kita orang terinfeksi HIV tidak boleh diam, karena diam akan membuat kita semakin ditindas, ingat ditindas! Bukan tertindas! Dan apabila hal ini terus terjadi, pemenuhan hak akan semakin sulit diraih dan menjadi cerita mitos atau legenda tak sampai. Perjuangan inilah yang membuat kita berkumpul, berkelompok dan/atau berorganisasi. Tapi selain itu ada satu hal penting juga yang tidak boleh kita lupakan “Persatuan dan Persaudaraan”, dua hal ini harus kita lakukan, bila kita benar – benar berhasil melakukannya cita – cita bersama jelas akan lebih mudah untuk diraih. Satu Suara, Satu Jaringan, Satu Tujuan untuk Pemenuhan Hak.

Sudah seharusnya posisi orang terinfeksi HIV benar – benar ditempatkan sebagai subjeknya dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Memang tidak mungkin seluruh orang terinfeksi HIV dilibatkan dalam posisi pengambil keputusan, itu yang harus kita sadari dan pahami. Tetapi amat sangat prinsipil agar orang – orang yang berada di posisi tersebut adalah mereka yang memang ditunjuk oleh teman teman terinfeksi HIV di Indonesia dan dapat menyuarakan dan mengaspirasikan kebutuhan teman temannya (maaf saja banyak juga orang terinfeksi HIV yang duduk mengambil keputusan untuk memenuhi kebutuhan dapur; bisa dapur organisasi atau dapur pihak privat lainnya; ini bukan berarti langkah yang salah atau tidak salah, hanya dimensi diskusinya tidak sesuai dalam tulisan ini). Seluruh orang terinfeksi HIV di Indonesia harus dapat merasakan pemenuhan hak – haknya tanpa Stigma dan Diskriminasi.

Disadari juga bahwa tidak mungkin orang terinfeksi HIV berjuang sendirian dalam mewujudkan pemenuhan hak-nya. Kebutuhan akan kemitraan, baik taktis dan strategis dengan selektif menentukan apakah mitra – mitra ini benar dapat membantu merubah budaya tokenisme dan meraih Visi penegakan HAM? Tanpa pemerhati atau orang yang peduli dengan permasalahan HIV dan AIDS kita akan semakin sulit berjuang. Sehingga gerakan penanggulangan AIDS yang ada di Indonesia ini kedepan dapat secara nyata menorehkan pemenuhan hak - hak orang terinfeksi HIV. Pemerintah, pemerhati dan para pekerja sosial harus lebih memahami dan memberikan dukungan sesuai kebutuhan orang terinfeksi HIV. Sedih melihat tudingan sakit yang mengatakan bahwa perjuangan hak orang terinfeksi HIV adalah keegoisan semata atau upaya advokasi terbuka yang mereka lakukan dianggap sebuah arogansi atau perilaku petantang - petenteng. Orang – orang berpaham sempit seperti ini telah melukai semangat perbaikan dan lupa akan tujuan awalnya menolong sesama manusia.

Singkat cerita, secara umum posisi pelibatan orang terinfeksi HIV dalam penanggulangan AIDS di Indonesia mulai berubah dari posisi objek menjadi subjek, dengan catatan ribuan tantangan baru.

Harapannya tulisan ini dapat memperjelas serta bisa mendatangkan banyak manfaat sebagai referensi penempatan posisi orang terinfeksi HIV penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Sebuah pesan inti bagi yang belum terinfeksi HIV sudah semestinya menjaga untuk tidak terinfeksi dan bagi yang sudah terinfeksi HIV bisa mendapatkan haknya dan ikut serta dalam penyehatan masyarakat secara positif.



Jakarta, 19 Februari 2010

Andika Prayudi W

12 April 2010

Indonesia on Friday promised a full investigation into the public humiliation, mob beating and possible caning under Islamic law of two people suspect

The offences allegedly took place Wednesday after a 36-year-old teacher and a 28-year-old housewife were accused of having extramarital sex in Aceh province, where religious police enforce Shariah or Islamic regulations.

They were dragged from the woman’s home by an angry mob, paraded naked through their village, tied to a post and beaten almost to death, and now face nine lashes each in public, police said.

It is the latest incident to expose the conflict between local Shariah provisions and rights enshrined in the secular constitution of the world’s most populous Muslim-majority country.

“This is a barbarous crime and obviously against our rule of law,” an official at the justice and human rights ministry said.

“We will order police to launch an immediate probe and to take firm and concrete action against the perpetrators.”

Nearly 90 percent of Indonesia’s 234 million people are Muslims, but the vast majority practise a moderate form of the religion.

National human rights commission chairman Ifdhal Kasim urged President Susilo Bambang Yudhoyono to clarify that rights guaranteed under the constitution take supremacy over local regulations, including religious ones.

“This can be a bad precedent for other regions which have similar tendencies and which try to put religious values above the country’s constitution,” he told AFP.

“The directive should mention that Indonesia is a secular country and everything should be based on the constitution.”

Deeply Islamic Aceh adopted partial Shariah law in 2001 as part of an autonomy package aimed at quelling separatist sentiment.’

Last year the outgoing provincial government passed the Qanun Jinayat, a bill allowing adulterers and other religious offenders to be put to death by stoning.

It has not been signed into law by Governor Irwandi Yusuf and officials in Jakarta have asked for it to be withdrawn.

08 April 2010

Filter Rokok di Kudus Bebas Hemoglobin Babi

Kudus, 8/4 (ANTARA) - Produk filter rokok kretek PT Djarum bebas kandungan hemoglobin (darah merah) dari babi, mengingat bahan dasar yang digunakan berasal dari serat tumbuhan (cellulose acetate tow) tanpa tambahan bahan lain.

"Kami pastikan, filter rokok yang kami produksi tidak ada campuran apa pun karena seluruhnya berbahan alami dari tumbuhan," kata Staf Engineering PT Djarum, Iswanto S., didampingi Staf Bagian Operasional, Paul P. dan Publics Affairs Manager, Hardi Cahyana, Kamis.

Bahan dasar pembuatan filter rokok yang digunakan selama ini, kata dia, cukup untuk menyaring zat tar dan nikotin yang terkandung dalam rokok saat dihisap oleh para perokok.

"Kami juga kebingungan munculnya isu filter rokok mengandung hemoglobin dari babi. Demikian halnya fungsi untuk menangkal tar dan nikotin yang ada dalam rokok, juga disangsikan kebenarannya," ujarnya.

Pasalnya, kata dia, filter dari "cellulose" juga mampu mengikat zat tar dan nikotin rokok. "Lantas untuk apa harus memakai bahan hewani seperti itu, apalagi bahan yang berfungsi sebagai pengikat zat berbahaya dalam rokok sudah terpenuhi," katanya.

Bahan filter rokok, kata dia, hanya ada dua jenis, yakni "cellulose" dan kertas. Produsen pembuat bahan baku filter rokok dari "cellulose acetate tow" yang berasal dari luar negeri pun dipastikan tidak akan gegabah menggunakan unsur hewani.

"Pasalnya, sudah ada kesepakatan supaya spesifikasinya sesuai permintaan," katanya menegaskan.

Menurut dia, pemasok bahan baku pembuat filter rokok tidak akan ambil risiko mencampuri bahan-bahan di luar ketentuan.

Selain itu, proses penambahan bahan tertentu justru akan menghilangkan rasa khas kretek yang sudah menjadi ciri khasnya. "Hal ini, tentu tidak akan dilakukan perusahaan rokok kretek sebab nilai jual kretek ada pada rasa tersebut," ujarnya.

"Hampir seluruh perusahaan rokok kretek kami menggunakan bahan 'cellulose acetat tow'. Demikian halnya pemasok filter rokok dari Jawa Timur atau daerah lainnya juga mendapat pasokan bahan baku yang hampir sama," ujarnya.

Hardi mengatakan bahwa kretek merupakan "heritage" atau warisan yang dimiliki Indonesia. "Industri ini merupakan penyangga perekonomian nasional dan perekonomian rakyat," ujarnya.

"Semua pihak tentu perlu mewaspadai jika upaya tersebut merupakan bagian dari upaya menghancurkan rokok kretek. Sekaligus mematikan usaha perekonomian masyarakat Indonesia," tukasnya.

LGBT Activism Under Attack in Surabaya, Indonesia

Part 1

By Grace Poore

Grace Poore and Ging Cristobal, staff members of the International Gay
and Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC) were in Surabaya,
Indonesia for the International Lesbian and Gay Association (ILGA) Asia
conference scheduled to begin in the East Java capital on March 26 and
run through March 29, 2010.

One hundred and fifty activists representing one hundred organizations
from sixteen Asian countries were scheduled to attend. As participants
began to arrive for the weekend’s activities, Indonesian police ordered
the cancellation of the conference in response to pressure from
Islamist fundamentalist groups. The conference hotel refused to permit
the conference to proceed. ILGA Asia found alternate venue, but
fundamentalists tracked them there. One of the groups occupied the
hotel lobby for several days. After threats of violence and hours of
negotiation, Indonesian activists were forced to leave the hotel and
foreign attendees forced to disperse until they could leave Indonesia.

Grace Poore, Coordinator of IGLHRC’s Asia and Pacific Island Program,
documented her experience. This is the first part of her story.

3/23/10 – Tuesday

9:10 PM - I arrive at the Mercure Hotel to check-in and the front desk
tells me that I only have a room for one night because the conference
is not taking place at the hotel. They offer me complimentary lemon ice
tea. I call Ging Cristobal, IGLHRC’s Project Coordinator for Asia and
the Pacific Islands. She tells me that there has been a security threat
to the hotel so the conference venue is being moved. We have to wait
for more details.

10:30 PM – A member of the ILGA Asia Board tells me that press coverage
of the conference tipped off local fundamentalists who are now
threatening to attack the Mercure Hotel. Earlier today, the hotel
management told Gaya Nusantara, one of the oldest lesbian, gay,
bisexual and transgender (LGBT) organizations in Indonesia, based in
Surabaya, about the threat and said the conference could not remain in
the venue—basically kicking us out.

Gaya Nusantara is negotiating with a different hotel.

3/24/10 – Wednesday

Morning – At breakfast, I learn from members of Gaya Nusantara that
there’s a problem with the conference permit. It turns out that the
Surabaya police issued a permit for the wrong dates. This is turning
into a comedy of errors. One hundred and fifty people are expected, now
for a conference without a permit, while fundamentalists are
threatening a showdown.

Members of Arus Pelangi, a Jakarta-based organization that assists
LGBT-survivors of torture and conducts national advocacy, are
negotiating with federal and local police. I am comforted by this –
they are seasoned in dealing with police. However, we hear that the
police have links to the fundamentalists.

Noon – I check out of the Mercure Hotel and relocate to the Oval Hotel,
the new conference venue. The lone figure of ILGA’s Co-Secretary
General Gloria Carreaga in an empty hotel lobby is surprisingly
comforting. What a welcome to Asia for her.

There’s no Internet in the rooms. I’m not sure how I’m supposed to have
Skype conferences in the lobby. What if the fundamentalists show up and
we can’t access Internet at all? Should I go back to the other hotel?
But they kicked out our conference. I don’t want to give them my
business. It’s important to be in solidarity with the local partners.

3/25/10 – Thursday

Noon – Familiar faces from India, Bangladesh, Singapore, Philippines
and China pass through the lobby of the Oval Hotel. They’ve flown into
a void–nobody knows for sure whether the conference is happening.
Registration is delayed and then moved to a room in the hotel basement
next to the underground car park. Two people from Arus Pelangi walk in
from negotiating with police about the permit. Their eyes are puffy,
faces drawn, and shoulders slumped. I expect to be told we need to
leave, conference cancelled. The ILGA Asia Board huddles in a corner.
The rest of us wait.

2:00-7:00 PM – Ging and I attend a meeting unconnected to the
conference at a third hotel. Namita Chad of the Astraea Foundation says
that she’s glad that the hotel took the initiative to change the video
monitor in the lobby. The day before, it said, “Meeting: Astraea
Lesbian Action Foundation and International Gay and Lesbian Human
Rights Commission.” It now simply reads “Meeting: Astraea Foundation.”

After the meeting, a member of that hotel’s staff tells us that she saw
the news about the fundamentalist threats against the conference and
about the Mercure Hotel turning us away. “Our hotel supports you,” she
assures us. “Our manager called all of the staff and said that no one
should talk to the media or anyone who asks about your meeting.” She
sounds grave. I don’t realize the significance of her statements until
that night — when I find out that 20 to 30 fundamentalist protesters
had demonstrated against the conference in front of Hotel Mercure that
morning.

9:00 PM – There is a security briefing in the basement of the Oval
Hotel led by ILGA Asia, Gaya Nusantara, Arus Pelangi, and Institut
Pelangi Perempuan, a Jakarta-based lesbian organization. They take
turns outlining the situation to all conference participants. The
following is my summary of the meeting:

Permit Issue

Before they sought the permit for the conference, the organizers sought
letters of approval from the Indonesian Department of Foreign Affairs,
the National Police and the National Human Rights Commission. The
National Human Rights Commission was the only one to give their full
support. From the start, the Department of Foreign Affairs and the
National Police were uncooperative. Police ambivalence appeared to have
been reinforced when fundamentalists warned they would attempt to shut
down the gathering.

We hear that Surabaya police intended to grant Gaya Nusantara the
permit when the national police instructed them to deny it.

Threat of Police Shut Down

The situation is that now the organizers don’t have a permit to hold
the conference. This means that the police have the right to disband
the conference. How can we deal with this threat? The ILGA Board has
officially announced that the conference has been canceled, which the
media has publicized. Now, the international guests are here merely as
tourists, so we have all the freedom to meet and travel like other
tourists. However, we are advised to avoid wearing ILGA t-shirts,
carrying ILGA bags, or displaying the conference program. Basically,
avoid showing anything related to the conference.

Threats by Fundamentalists

We also face threats from radical Muslim groups led by Islamic
Defenders Front (FPI). I hear from an independent source that a total
of seven fundamentalist groups in Surabaya have joined forces against
us. Some of these groups have been gathering force and encouraging
others to take action against us. In addition to the demonstration in
front of the Mercure Hotel earlier today, there was also another
demonstration at a hotel where we were supposed to have dinner
tomorrow. We are not sure if the fundamentalists know that we are still
meeting, but there’s a good possibility of them finding out that we are
here. There are strong indications that in the coming days, especially
tomorrow, that the groups may show up at our hotel to protest – or
worse. Tomorrow is prayer day, and there’s a possibility of people
getting revved up, their actions getting heated.

The Position of the Hotel

So far, the management at the Oval Hotel has been fairly cooperative,
although they are worried. It’s not in their interest to tell anyone we
are here. However, they instruct that we are not to gather around the
lobby, especially not near the main entrance. Instead, we should stay
in the restaurant area, which is more discreet and will be perceived as
a normal place to gather.

Reassurances

The irony is that Surabaya is an open city. Surabaya’s residents are
used to seeing gays, lesbians, bisexuals and transgender people. It is
even common to have LGBT guests at hotels. (We are told that the
fundamentalists would not take such action against LGBT individuals but
are moved to protest because we are trying to organize for our rights.)

Of course, the local organizers and ILGA Asia are not sitting idly by.
Organizers are coordinating with local human rights and civil society
groups which are actively taking measures to prevent anything bad from
happening to us. Significantly, a moderate Muslim group in Surabaya
says that it will give us moral and political support as needed. In an
incredible expression of solidarity, individual human rights activists
and non-LGBT friends communicate that they are prepared to personally
form the first barrier of defense if there’s an attack. They are
willing to endanger themselves to protect their international friends.
It’s amazing – an understatement – to have support like this from
non-LGBT Indonesian organizations.

Security Measures and Instructions

All participants must pay attention to and cooperate with the security
measures. There will be different security teams – a team on the main
roads near the hotel to look out for police or fundamentalist presence,
a team that will provide information if evacuation is necessary, and a
team to ensure evacuation is done properly.

If demonstrators come toward us while we are in the hotel, we should go
to our own rooms. There have been no cases where demonstrators have
gone into the hotel rooms (yet). In the event that fundamentalists
break into our rooms, we should attempt to escape through the emergency
exits located on each floor. If we are trapped during a meeting and
cannot get to our own rooms, we should rely on the evacuation team to
direct us to the safest exits to get to the public areas and roads.

The decision is to attempt to work things out through negotiation and
avoid violence.

Revised Program Schedule

The conference is no longer a conference but a meeting. The first day’s
plenary has been canceled so that people are not all gathered in one
room because this may not be safe. There will be one set of discussion
groups in the morning and another in the afternoon. We will not use
meeting rooms but our hotel rooms. At midnight, we will receive a phone
call in our rooms telling us where to meet in the morning.

Impressions

Some of the gay men and waria people use humor to lift the tension. The
lesbians and FtMs from Indonesia sit stone-faced. Across from me a
young South Asian lesbian who I met for the first time earlier in the
day catches my eye. Fear is written all over her face. This is her
first time out of the country and her first time at an international
conference. She is not out to her family. Her parents don’t even know
she’s in Indonesia.

This is not Aceh, where hardliners reign, it’s Surabaya! How could this
be happening? Surabaya has had events for the International Day Against
Homophobia (IDAHO). Gaya Nusantara has worked here for years. But the
police have refused to grant the permit and cannot be depended on for
protection. If something happens, will anyone protect us?

Part 2: Anti-LGBT protesters surround the hotel

Staff members Grace Poore and Ging Cristobal of IGLHRC’s Asia & Pacific
Program were in Surabaya, Indonesia for the ILGA Asia conference
scheduled to begin in the East Java capital on Friday March 26 and run
through the weekend to March 29 2010.

However, on March 24th as participants began arriving in preparation
for the weekend’s activities, Indonesian police ordered the
cancellation of the conference after anti-LGBT pressure from Islamist
fundamentalist groups. Although conference participants moved to a new
venue in Surabaya, they were tracked there and fundamentalist groups
continued to threaten their safety with one of the groups occupying the
hotel lobby for several days, starting on Muslim prayer day, Friday
March 26th After many tense hours of negotiation and threats of
violence, local activists were forced to leave the hotel and foreign
attendees forced to disperse throughout Surabaya until they could leave
Indonesia.

The 100 activists who made it to Surabaya, representing 100
organizations in 16 Asian countries are all currently safe.

Grace Poore documented her experience.

Go to Part 1: Police force activists to cancel the conference »

3/26/10 – Friday

Morning: The breakfast buffet is bustling. Ninety-nine percent of us
are Asian, and you see our diverse faces, skin tones, hair textures.
The atmosphere is light and even cheery. There is no hint of the doom
and terror from last night’s security briefing. It’s surreal.

Two members of the waria community that I met at the Indonesia launch
of the Yogyakarta Principles in 2008 smile when they seem me and kiss
me on both cheeks. “The situation is blown out of proportion. Don’t
worry,” says the waria from Yogyakarta. The other adds, “We face this
in Aceh every day!”

8:30 AM – We cluster in a circle in the fourth floor corridor for
abbreviated speeches in lowered voices, stifled clapping, and lots of
shushing. Someone says, “This is real activism. Not theory.”

9:00 AM – Discussion groups are held on “Regional LGBT Advocacy,”
“Homophobia, Transphobia and Domestic Violence,” and “Reaching Out to
Queer Asia.”

Before we end, a member of the ILGA Asia Board tells us that the
afternoon meetings are cancelled to avoid trouble with the hotel and
police.

12:30 PM – Lunch. Half way through chicken and rice, a member of the
evacuation team comes around.

“Every one must go to their room now. The fundamentalists are coming.”
The urgency in her voice is not matched by our response. Curiosity
keeps me from going to my room on the third floor. I hang back to watch
what happens from over the first floor balcony.

A black SUV with darkened windows pulls up in front of the hotel tailed
by a police car. Three uniformed officers get out of the police car. I
later learn they are police intelligence. Two more SUVs quickly follow,
out of which tumble young men dressed in pants, t-shirts, and jackets;
some with beards, others with clean-shaven faces; most seemingly
working class or maybe poor. The leaders are older and well dressed,
some in clerics robes.

To my amazement, the fundamentalists walk directly into the hotel lobby.

Motorcycles and more vans arrive. About twenty more young men approach
the hotel entrance, but the police stop them from entering. They form a
mob just beyond the glass panels of the hotel lobby.

Some of the Indonesian conference organizers are negotiating with the
fundamentalists. From the balcony above, I can see a fundamentalist
leader talking and gesturing non-stop. I recognize a member of the
negotiating team and feel an overwhelming need to stand with my
Indonesian colleagues, but I hold myself back. I don’t look Indonesian,
and so my presence would be a liability — newspaper reports have made
clear that the mob believes the conference is driven by foreign
influence. Suddenly there is a shout, followed by more shouts; there is
some kind of altercation: one fundamentalist physically strikes one of
our organizers, who is negotiating.

The evacuation team orders those of us standing on the balcony to go to
our rooms immediately. The eyes of some of the mob members below are
hard, narrowed with the look of hate. I know it’s a tactic to instill
fear, and it works. I’ve seen the face of rabid condemnation and rage
at anti-choice and Pride marches, but I’ve never been so close. Still,
the thought of being locked in my room, unable to witness anything is
suffocating. One of the participants has a room facing the front of the
hotel, and it becomes an observation point for some of us for the next
several hours.

4:20 PM – More fundamentalists are showing up, many with cell phones.
Some of them stare up at the windows and draw fingers across their
throats signaling death. Seven to ten police vehicles are parked in
front of the hotel, one of which is a large olive green truck. Most of
the police that I can see mingle among themselves, relaxed, as if
waiting for a dignitary to emerge from a concert. I also see some
police casually chatting with the protesters.

4:30 PM – About twenty mobile patrol police officers arrive on
motorcycles. They immediately don vests and riot gear.

5:30 PM – Someone from the ILGA Asia Board says, “Go to your room and
pack your bags.” The South Surabaya Chief of Police has still not
agreed to give us police protection and is demanding that we leave the
hotel and go to the airport immediately. Most of the participants
cannot change their flights on such short notice. Most have nowhere
else to stay. We pack, hoping the outcome will change through
negotiations.

6:30 PM – The ILGA Asia Board informs us that the South Surabaya Chief
of Police has guaranteed protection for one night. He has also agreed
to permit international participants to stay until March 29, which is
when most of us are scheduled to fly home. However, fundamentalists are
permitted to continue to occupy the hotel lobby. Police officers
stationed in the hotel will monitor them, whatever that means. The
Chief of Police gives us his mobile phone number as a precaution.

I later discover that our side’s negotiations with the Chief of Police
were at least in part lead by Nursyahbani Katjasungkana, who is a
member of the Indonesian Parliament representing East Java, where
Surabaya is, and a prominent human rights lawyer, and by Monica
Tanuhandaru who works on police reform and assists the central
government with the development of a national plan of action on human
rights. These women have leverage with police, so their engagement is
invaluable. They also our allies, having worked on LGBT rights before.
They intervened in Aceh when two gay men were assaulted and later
physically and sexually re-victimized by several police officers while
they were in police custody.

7:30 PM – The hotel sends up boxes of food so we can eat dinner in our
rooms. The restaurant and lobby are crowded with fundamentalists, who
have also been served dinner by the hotel – probably a necessary
strategy to appease the mob.

8:00 PM – We are warned, “Fundamentalists are going floor to floor to
do a sweep. Make sure your doors are locked and all lights turned off.”
The fundamentalists apparently want to check that we are not holding
meetings. I sit in my room, door locked, lights out. After what seems
like forever, the room phone rips the silence. Police have intercepted
the fundamentalists. The sweep is over.

9:00 PM – As participants and conference organizers strategize about
safety and evacuation, one participant receives intelligence from her
networks that an armed group of fundamentalists called the Defenders of
Islam plans to come to the hotel tomorrow morning with weapons.

We panic. Do we leave? Do we stay? Leaving does not guarantee our
safety since the minimal protection offered by police only covers this
hotel. And, leaving requires going into the lobby and past the mob.
Leaving means even greater uncertainty.

We are advised to leave in two and threes to avoid giving the
impression that we are transferring to another hotel. Some participants
are afraid their taxis will be followed. The Indonesian organizers try
to reassure us. One says, “The fundamentalists are not interested in
individuals. They are campaigning against the fact that we congregated
together to organize for our rights. The leader of the group that
showed up today said as much — ‘As long as you are mere individuals
committing this sin, we don’t really care. But as soon as you organize
we will fight you.’ They want to prevent us from using anything from
the Universal Declaration of Human Rights to claim our rights. They see
our organizing as a provocation.”

10:00 PM – The participants are making different evacuation plans. Some
contact embassies and consulates for sanctuary. Some check out of this
hotel and into others. Some leave for the airport. Some choose to stay
because they feel safer in the hotel than in the unknown.

I learn that press reports indicate that fundamentalists went from
hotel to hotel to see where we had gone after the first hotel reneged.
This sweep helped them locate us at our current location. As bad as it
is here, going to another hotel is a real risk.

I decide to check-out and leave for another hotel with another
participant. I try to be nonchalant as the fundamentalists watch me
walk through the lobby. They will consider each of our departures a
victory.

At midnight, the fundamentalists threaten to bring a larger mob if the
hotel doesn’t kick people out. Organizers are intimidated into turning
over a list of conference participants. All the Surabaya residents and
organizers are forced to evacuate the hotel by 4 AM.

While this is all going on, fundamentalists sealed off the office of
Gaya Nusantara, the Surabaya LGBT organization that handled the local
organizing for the conference. No staff was in the office at the time,
thankfully. I can’t believe this is happening. Why do these radicals
have so much power in a country of moderate Muslims? Why are police not
enforcing rule of law?

3/27/10 – Saturday

In the morning, I watch on Indonesian TV – either Channel 1 or 3 – a
demonstration by the Unity Front of the Islam Community (FPU) not far
from the Oval Hotel. Among the demonstrators are members of the
Indonesian Muslim Students Action Front (KAMMI) carrying posters that
pronounce, “Say No to Homosexual Conference in Surabaya,” “Say No to
Lesbians” and “Surabaya is Not a Gay City.”

I return to the Oval Hotel with Ibu Hesti Armiwulan, a national human
rights commissioner and an outspoken supporter of LGBT rights. I see
that a handful of fundamentalists remain inside the lobby restaurant.
Things are quiet. Nine participants including three ILGA Asia board
members are still at the hotel until they can leave on Monday morning.

3/28/10 – Sunday

Fundamentalists conducted a room-to-room sweep of the Oval Hotel. The
remaining nine participants are told that another mob plans to enter
the hotel on Monday morning if everyone from the conference has not
left. All non-Surabaya participants will leave this city on Monday.

3/29/10 – Monday

Bribery

I find out that at one point the Surabaya police offered to issue a new
permit in exchange for 5 million rupiah (552 U.S. dollars). They
subsequently asked ILGA for 25 million rupiah (2,758 U.S. dollars),
presumably for “protection” money. The mob also wanted 1 million rupiah
(100 U.S. dollars) from ILGA – presumably as a pay off not to inflict
harm. It is likely the hotel paid the mob at least something.

National Human Rights Commission

Ibu Hesti Armiwulan, the Indonesian Human Rights Commissioner, says the
Indonesian Human Rights Commission has begun gathering information
about the events around the conference, will continue their
investigations, and will release a report on their findings. The chair
of the Commission, Ifdal Kassim, was a consistent and outspoken critic
of efforts to cancel the conference. He said we had broken no laws. The
Commission has strongly advocated respect for LGBT people and
implementation of the Yogyakarta Principles not only in Indonesia but
also throughout the region.

International Solidarity

Indonesian activists have recommended various courses of action. This
includes requesting that the international community write letters
protesting the failure of the Surabaya police to carry out their duty
and arguing that Indonesian activists should not be charged with
wrongdoing.

Personal Reflections

It is incredible to me that the police allowed the fundamentalists to
enter the hotel at all. Even if a permit for the conference was denied,
the police have an obligation to enforce the rule of law—prevent
harassment and threats to safety, arrest protesters if necessary for
inciting or planning violence, evacuate the mob for trespassing on
private property, demand a permit from the fundamentalists if they
insist on holding a demonstration, and cordon them off so they can
exercise their freedom of expression without preventing ours. Most
importantly, the police must protect vulnerable people from violence.

I have spoken with many Indonesian activists, and they have different
theories for the police behavior. I heard that: the police do nothing
because they have links to the fundamentalists, they extort money in
exchange for “protection,” both sides benefit from the security racket,
they let confrontational situations get out of hand and then arrest
everyone in sight. I have also heard that the police can control mobs
effectively, but as one person theorized that it can be different with
religious groups. The person said to me, “It’s different with Muslim
groups because they use the name of Islam, which makes it difficult for
police to question the legality of the group. To question their
legality is to question Islam.” I also heard that fundamentalists
accuse Muslim police officers with damnation for being “bad” Muslims if
they defend the rights of LGBT people.

We have to hold the Indonesian government and the provincial government
accountable for caving in to the bullying of a handful of
fundamentalist thugs to carry out the ideologies of hard-line
ultra-conservative Islamists. This tactic is used in many countries
where fundamentalisms thrive, including the United States.

There must be a national and international outcry over what happened in
Surabaya. The State and religious moderates in particular must loudly
condemn the misuse of Sharia law to justify lawlessness and human
rights violations. Raiding hotels, imposing dress codes on women,
legalizing death by stoning law for adultery, and/or deploying
violence, intimidation and extortion to suppress freedom of expression
and association are all contrary to the human rights to which we are
all entitled.

This is a wake up call. The fundamentalists posed a much greater threat
than was expected–even in a city like Surabaya, often known for being
moderate and tolerant. For the Indonesian LGBT movement, questions of
organizing capacity and security at grassroots and community-based
levels will most likely be addressed with greater attention. Future
LGBT activities like the International Day Against Homophobia (IDAHO)
and Pride in Surabaya will likely demand alternative and inventive
strategies. The emotional and psychological impact of the last few days
will be felt for a long time.

Questions remain about the safety of Indonesian activists who conducted
most of the face-to-face negotiations with the fundamentalists,
including activists from Jakarta. Staff at Gaya Nusantara in Surabaya
are still at risk of being attacked, stalked, disrupted. Their office
remains sealed and locked up by fundamentalists. The fact that police
allowed vigilantes to shut down an NGO that is legally recognized by
the State is a clear indication, in my opinion, that non-state actors
have gained power over the State. As one activist points out, “It is a
turning point for Indonesia.”

Meanwhile, those of us who were there will not forget the heartening
rallying of Indonesian human rights activists and non-LGBT allies to
support LGBT conference attendees. Their solidarity speaks volumes
about the need for inter-movement alliances and the need to ensure that
our struggles for human rights are interconnected all of the time, not
only in a crisis.

Pimpinan Gereja Uganda Kecam Hukuman Mati bagi Kaum 'Gay'




Para pimpinan gereja dan aktivis HAM Uganda mengajukan sebuah petisi yang ditandatangani oleh sekitar setengah juta orang ke parlemen Uganda. Tindakan ini mereka lakukan sebagai bagian dari aksi protes mereka terhadap rancangan undang-undang yang mengusulkan hukuman yang lebih berat hingga hukuman mati kepada orang-orang yang mempraktekkan perilaku homoseksual.


Rancangan undang-undang tersebut dibuat oleh anggota parlemen Uganda David Bahati pada akhir Oktober lalu yang mengusulkan untuk menjatuhkan hukuman mati bagi kaum homoseksual jika mereka terinfeksi HIV (Aids) atau melakukan kegiatan seksual yang menyebabkan orang menjadi terinfeksi.

Seorang aktivis bernama Denis Wamala mengatakan kepada wartawan setelah mereka mengajukan petisi ke parlemen Uganda hari Senin kemarin (1/3): "Beberapa orang memang memiliki orientasi seksual yang berbeda, dan kita harus menerima dan menghormati hal itu," ujarnya.

Uganda mendapat kritikan dan kecaman secara luas karena rancangan undang-undang tersebut, yang oleh presiden AS Barack Obama disebut sebagai "menjijikkan". David Bahati sendiri menyatakan bahwa homoseksual bukan hak azazi manusia dan menekankan bahwa rancangan undang-undang anti homoseksual tersebut bertujuan baik, untuk menyelamatkan negara Uganda.

Presiden Uganda Yoweri Museveni mencoba menjauhkan diri dari kecaman itu, dengan mengatakan kepada parlemen bahwa keterlibatan internasional dalam proyek ini telah membuat dia mendapat masalah dalam kebijakan luar negeri.

Konstitusi Uganda secara resmi melarang perilaku homoseks dan bisa tekena hukuman penjara dengan hukuman kurungan 7 tahun hingga ke penjara seumur hidup. Pada bulan April 2009 pemerintah meluncurkan kampanye negatif terhadap para pembela kaum gay, dan menyebutkan mereka sebagai penyebar tindakan homoseksualitas cabul di sekolah-sekolah. (fq/iol)

A Statement from the ILGA-ASIA BOARD on the Cancellation of 4th

The 4th ILGA ASIA conference was to take place in Surabaya, Indonesia
from the 26th to the 28th of March 2010, however, due to unforeseen and
unfortunate circumstances, the conference had to be cut short.

ILGA is the only worldwide federation campaigning for lesbian, gay,
bisexual, trans and intersex (LGBTI) rights and was established in
1978. The aim of ILGA is to work for the equality of LGBTI people and
their liberation from all forms of discrimination. It seeks to achieve
this aim through the worldwide cooperation and mutual support of its
members.

ILGA ASIA is the Asian branch of ILGA and it has successfully organised
conferences in India, the Philippines and Thailand in the past. ILGA
ASIA has over 160 member organisations in more than 17 countries across
Asia.

ILGA Asia accepted the proposal of GAYa NUSANTARA, the oldest LGBT
organisation in Indonesia, to host the fourth Regional Conference of
ILGA Asia in Surabaya, Indonesia.

The conference organisers received endorsements from the local city
police to hold the conference. However, as news of the conference
became known to local media and groups of fundamentalists, who opposed
the conference, they began to threaten to disrupt the conference and
upset the participants with violent protests. The police withdrew their
endorsement of the conference fearing to not be able to control the
fundamentalists and the safety of the conference participants. ILGA
ASIA was then forced to announce that the conference was “officially”
cancelled.

The conference was to be held at the Mercure Hotel (Accor Hotels
Group), with many of the participants coming from all over Asia and who
were staying at the hotel. The management of the hotel then decided
that they were very uncomfortable to host the conference and
accommodate the participants. Two days prior to the start of the
conference, the management of the hotel demanded all the participants
to vacate their rooms, which had been paid for, and find alternative
accommodation. The Oval Hotel, kindly accepted to host the event and
provide the rooms needed for those who had to leave Mercure. The
conference organisers tried their best to mobilise as much support from
high-level public figures, to persuade the police to return to their
initial endorsement, but to no avail.

On Thursday the 25th of March the ILGA ASIA board called for a meeting
with all the participants and explained the situation to them and the
possible risks in continuing with the conference. In spite of all the
threats and potential risks, the participants and the board decided to
go ahead with a “meeting of activists”, as this is why they had come to
Surabaya. The ILGA ASIA board commends the commitment and determination
of the activists in Asia and their tenacity in wishing to persevere
with the agenda under extremely difficult circumstances and to help
build a world where all people are free and equal.

In the morning of Friday the 26th of March at 8.30am, the activists
gathered in the corridor of the 4th floor of the Oval Hotel where Dédé
Oetomo, director of GAYa NUSANTARA, Poedjiati Tan and Sahran
Abeysundara, representatives of ILGA ASIA to ILGA, welcomed all the
delegates and declared the “Meeting of Activists” open. Four energy
packed workshops were carried out throughout the morning taking place
in rooms of the board members for security reasons. Over 100
representatives from more than 12 countries participated and the
atmosphere was electric.

By midday the board had received information that a group of
fundamentalists had mobilised themselves after Friday prayers and were
heading towards the hotel. For the safety of the participants and in
the best interest of all those involved, the board decided to cancel
the programme of events for the afternoon session. The heads of the
fundamentalist groups entered the hotel and sat around a table in the
lobby, adjacent to the elevators, talking to one another, while other
demonstrators grew into a larger threatening crowd outside of the hotel
lobby. The heads of the opposing groups (the Unity Front of the
Community of Islam (FPUI), an ad-hoc coalition of 7 conservative and
hard-line Islamic groups including the Indonesian Council of Ulemas
(MUI), Indonesia's top Muslim clerical body, the Islamic Defender Front
(FPI), a local extremist group that is known for violent tactics, and
the Hizb ut-Tahrir Indonesia (HTI), a local chapter of a worldwide
network by the same name that is believed to be very active in a number
of countries including the United Kingdom despite being banned by many
governments) demanded to speak to the ILGA ASIA organisers and Mr King
Oey, a member of the ILGA ASIA board and part of the organising
committee tried to reason with them, only to be assaulted in return.

Moments later, the regional board and the Secretaries Generals of ILGA
and the communications team met to analyse the situation and to take
necessary measures and further precautions. This involved hours of
negotiation with the police and the management of the hotel. At around
4 pm, dozens more protesters arrived at the Oval Hotel and the
atmosphere became more heated. The police wanted to terminate their
responsibility by pressuring the conference delegates and organisers to
leave the hotel immediately. Only after the mediation of some prominent
public figures who were among the participants, the police finally
offered protection to the participants and the hotel management
accepted that they could remain in the hotel until the end of their
reservations. The police also negotiated with the demonstrators and
told them that it had decided to give protection to the delegates. The
demonstrators however refused to leave and began to put more and more
pressure on to the organising committee promising to return armed the
next day. By early evening, it became necessary to evacuate the
participants in groups of four. Some were aided by their embassies,
others who managed to change their flights were taken directly to the
airport, whilst others were moved to different hotels and some left
Surabaya by land to neighbouring cities. A few remained at the hotel as
“tourists”. The ILGA ASIA board wishes to thank all Indonesian
activists who coordinated and put their necks on the line to ensure the
safety of all the participants.

On Sunday 29 March, news spread quickly regarding an article that
appeared in the Jakarta Post that morning, that the fundamentalists had
threatened to come to the Oval hotel and physically remove all
remaining foreigners and to take them directly to the airport. The
Secretaries General of ILGA left the hotel with the last participants
to a hotel near the airport, where the last departures were arranged.
On the same day, news spread in relation to the Ministry of Religious
Affairs, announcing a court action against the organising committee for
“activities against religion”.

All iInternational participants left Indonesia and have arrived safely
back to their home countries leaving the Indonesian activists to face
harder challenges ahead of them.

ILGA, as part of an international coalition of LGBTI rights defenders,
has initiated a coordinated operation to denounce and protest against
the attack that occurred, with the concerned international bodies and
to demand action from these as a result. Many voices have risen, in
Indonesia and in different countries around the world, demanding the
respect of human rights of LGBT people and the right to assembly.

The demand of action is based on the fact that in Indonesia:
(a) The constitution has a strong equality clause
(b) The constitution is based on secular principles
(c) Indonesia has ratified the major UN human rights treaties

The ILGA ASIA board wishes to thank all the activists that had
assembled from all parts of Asia and for showing great courage in the
face adversity. We wish to thank our funders [Global Fund for Women,
Astraea, LGBTI Initiative of Open Society Institute, Hivos, Fridae and
Oxfam-Novib] who have stood by us through this difficult time and have
been a great source of strength. We are blessed by the many men and
women in the Indonesian government who have stood up for our rights and
have spoken out against the fundamentalists. But most of all, we are
forever grateful to our Indonesian partners and the organizing team for
showing great resolve and for standing up for what they believe in and
showing the world what activism is all about. They are an inspiration
to us all, their courage is to be admired and their commitment to a
world free of prejudice and hate is a testimony to who they are.

The ILGA ASIA board stands firm in our belief that all people are
created equal and free and that we all have the right to live as we
are, and to love who we love. This incident has not weakened our
movement but has only made us stronger. For we know our work is
important and what we do changes the lives of so many people around
Asia and the world. Our determination is that much stronger and our
belief is that much more. Our work is not over until all people can
live in a world that accepts us for who we are.

In Solidarity,

ILGA-ASIA BOARD