Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

20 April 2010

Seorang Gay Muslim dan Sekretaris Umum Ourvoice




Konferensi International Gay Lesbian Association (ILGA) Asia ke-4 batal
dilaksanakan 26- 28 Maret 2010 di Surabaya Jawa Timur akibat tekanan
dari kelompok garis keras yang tergabung dalam FUI dan FPI. Padahal
Konferensi itu telah mendapat rekomendasi dari Kepolisian Daerah Jatim
Wilayah Kota Besar Resor Surabaya Selatan REKOM/67/III/ 2010/POLRES
tanggal 3 Maret 2010. Anehnya polisi memilih tunduk pada intimidasi
kelompok garis keras dibandingkan mempertahankan rekomendasi yang mereka
keluarkan sendiri.

Ini menunjukkan kegagalan kepolisian dalam melindungi setiap warga
negaranya untuk berkumpul dan berekspresi. Hak kami sebagai warga
negara yang diatur dalam UUD 45 telah dikalahkan oleh kelompok garis
keras. Tindakan mereka jelas-jelas melanggar hukum telah memaksakan
kehendak pada orang lain dengan menggunakan kekerasan. Sulit dipikirkan
mengapa polisi sebagai aparat negara telah kehilangan wibawa dan
kekuatan di hadapan kelompok pelaku kekerasan. Bahkan Menteri Agama RI
Surya Dharma Ali menyatakan pelaksana konferensi ILGA Asia dapat
dipidanakan. Karena dapat dianggap sebagai bentuk penodaan agama dan
pelecehan susila.

Tindakan pelarangan ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia.
Kita masih ingat pada tanggal 13 Februari 2010 para waria di Banda
Aceh melakukan kegiatan malam sosial mendapatkan kecaman dari para ulama
di Aceh. Menurut Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Ali
di Banda Aceh bahwa “kegiatan itu telah menodai pelaksanaan syariat
Islam di Aceh”. Demikian juga dengan kejadian di Tasikmalaya, yaitu
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tasikmalaya Achef Noor Mubarok
akan melakukan pembinaan kepada 900 gay yang bekerjasama dengan
Departemen Agama (Depag) dan Polisi Resort (Polres) Kota Tasikmalaya,
dengan alasannya karena gay dianggap sebagai penyakit mental dan
dinilai sebuah adzab.

Kekeliruan umum dalam memahami homoseksualitas di Indonesia masih
sangat kuat. Meskipun tuduhan bahwa homoseksualitas itu sama dengan
“penyakit mental” “kelainan jiwa” dan beberapa keliruan lainnya
sebenarnya telah lama dianulir. Pada tahun 1973 American Psychiatric
Association (APA) menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa.
Kemudian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 17 Mei 1990
secara resmi mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit. Sehingga 17 Mei
dijadikan momentum peringatan International Day Against Homophobia
(IDAHO), hari melawan kebencian terhadap homoseksual.

Di Indonesia sendiri dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa, Edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun
1983 (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) 1993, pada point F66 meyebutkan bahwa
orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) jangan
dianggap sebagai suatu gangguan. PPDGJ I-III oleh Depkes ditetapkan
sebagai acuan profesi kesehatan jiwa dan akademisi di seluruh Indoensia.
Sehingga tuduhan oleh orang atau kelompok bahwa homoseksual selalu
dikaitkan dengan gangguan jiwa ataupun penyakit hanya sebuah asumsi dan
tuduhan yang tidak berasalan.

Saya pribadi adalah seorang gay yang hingga saat ini terus menghayati
keislaman saya. Saya dibesarkan di keluarga dan masyarakat muslim
Muhammadiyah. Saya muslim yang meyakini ajaran yang diperintahkan oleh
Allah Swt dan Rasul-Nya: Muhammad Saw seperti sholat, puasa dan juga
berbuat baik pada orang lain. Tidak ada perbedaan ritual ibadah yang
saya lakukan dengan umat Islam pada umumnya. Keyakinan Islam saya
bukanlah seperti keyakinan yang dituduh “sesat” oleh ulama, seperti
Ahmadiyah, Lia Eden, Syiah.

Pertanyaan yang sering mengganggu saya adalah mengapa kebencian sebagian
ulama yang dalam hal ini diwakili kelompok garis keras sangat besar
kepada homoseksual? Tak hanya sebagian ulama yang memiliki kebencian
terhadap homoseksual, tetapi juga pemerintah. Hampir semua peraturan
daerah tentang pelacuran, maksiat, perbuatan asusila memasukan kelompok
homoseksual sama dengan pelacuran. Seperti yang terdapat pada Perda Kota
Palembang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Pelacuran, pasal 8
ayat 1 dan 2 meyebutkan bahwa: Pelacuran adalah perbuatan yang
dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar bertujuan
mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau
tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Yang
termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah a. homoseks; b. lesbian;

Pandangan keagamaan dan peraturan di atas mengingatkan saya ketika
belajar agama pada masa saya kecil bahwa Allah Swt menjanjikan surga
bagi seorang muslim. Rasulullah Saw bersabda melalui Abu Dzar: “Jibril
berkata kepadaku, ‘Barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak
mempersekutukan sesuatu kepada Allah maka dia pasti masuk surga atau
tidak masuk neraka” (HR. Bukhari). Di dalam Al-Quran sendiri terdapat
teks yang tertulis: “Adapun orang – orang yang kafir dan mendustakan
ayat – ayat kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”
(QS Al Baqarah: 39)

“Orang kafir” dalam pemahaman yang saya adalah orang-orang yang tidak
percaya kepada ajaran Allah Swt dan Muhammad Saw. Artinya kalau dikaji
secara sederhana walau saya seorang gay tetapi sepanjang saya beriman
saya tetap bersangka baik pada Allah bahwa saya termasuk yang dijanjikan
masuk surga. Walau doktrin surga yang dijanjikan selama ini tidak
begitu menarik bagi saya. Surga yang digambarkan dengan
bidadari-bidadari yang cantik dan awet muda. Padahal saya tidak ada
ketertarikan sama sekali dengan perempuan. Surga yang terbayangkan oleh
saya adalah surga yang berisi laki-laki dewasa yang ganteng dan
baik-baik.

Sesuatu hal yang sangat sulit dan mungkin mustahil kalau saya harus
meninggalkan rasa cinta dan ketertarikan kepada laki-laki. Sama sulitnya
ketika saya harus meninggalkan Islam sebagai agama yang saya yakini.
Dua hal ini tak mungkin dilepaskan dari saya meskipun dengan paksaan,
kekerasan hingga kehilangan jiwa. Dalam situasi ini apakah kemudian saya
akan meyalahkan Allah Swt yang telah menciptakan saya sebagai seorang
gay?

Mengapa non-muslim yang katanya “kafir” jauh dipandang lebih “baik”
oleh para ulama dan masyarakat muslim di Indonesia dibanding kami:
kalangan homoseksual yang masih beriman? Meskipun saya sadari tidak
sepenuhnya teman-teman non muslim mendapatkan hak-hak yang sama, tetapi
minimal jauh lebih baik dibandingkan dengan saya sebagai seorang gay.
Teman-teman non muslim masih memiliki perlindungan hukum yang jelas,
baik di ruang politik maupun ekonomi.

Bahkan sudah banyak kebijakan nasional maupun international yang
menghargai dan melindungi perbedaan karena keyakinan agamanya, tetapi
nasib ini belum berlaku untuk kami sebagai homoseksual. Jangankan
dipenuhi dan dilindungi hak-haknya, malah mengkriminalkan homoseksual
sebagai seorang pelacur, sakit jiwa dan tuduhan yang menyeramkan
lainnya.

Mengapa hujatan dan hinaan terus dilekatkan kepada kami sebagai kelompok
pendosa dan pembawa bencana bagi kehidupan manusia? Bukankah semua
muslim bersaudara? Bukankah penghormatan kepada setiap orang adalah
esensi dari ajaran Islam? pertanyaan-pertanya an tadi terus berkecamuk
dalam sanubari saya, tetapi saya percaya bahwa hanya Allah Swt yang
paling berhak apakah homoseksual itu berdosa atau tidak.

Salam

1 komentar:

Anonim mengatakan...

assalamualaikm. sering kali saya merasa sedih dan menangis saat sendiri! dan jg saat membaca artikel ini! mungkin saya seorang gay, karena saya memilki kecendurangan orientasi sex kpd laki! tapi saya seorang muslim taat, sehingga berusha meyakinkan diri bahwa itu salah dan terus mencoba menjln hubngan dg wanita!
sampai saat ini, saya masih tetap tertarik kpd laki2 dan saya rasa itu mulai trjadi saat saya masih kecil!
saya sedih, jika saya harua masuk dlm api neraka! krn orang tdk tahu rasanya jd gay