Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

02 Maret 2010

Bahan Penelitian KPAN



Pengertian Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anakMenurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.
Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.
Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun (Deswita, 2006: 192)
Definisi yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.

Karakteristik Remaja

Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup perubahan transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial akan dipaparkan di bawah ini:
1. Transisi Biologis
Menurut Santrock (2003: 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52).
Selanjutnya, Menurut Muss (dalam Sunarto & Agung Hartono, 2002: 79) menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu; perertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang, tumbuh payudara.Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulu-bulu ketiak.
Sedangkan pada anak laki-laki peubahan yang terjadi antara lain; pertumbuhan tulang-tulang, testis (buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya air mani), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus diwajaah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada.
Pada dasarnya perubahan fisik remaja disebabkan oleh kelenjar pituitary dan kelenjar hypothalamus. Kedua kelenjar itu masing-masing menyebabkan terjadinya pertumbuhan ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta pertumbuhan alat kelamin utama dan kedua pada remaja (Sunarto & Agung Hartono, 2002: 94

2. Transisi Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002: 15) pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam.
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan.
Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja.

3. Transisi Sosial
Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan remaja. John Flavell (dalam Santrock, 2003: 125) juga menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka.
Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertama-tama masing sangat terbatas dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga, khususnya dengan ibu dan berkembang semakin meluas dengan anggota keluarga lain, teman bermain dan teman sejenis maupun lain jenis (dalam Rita Eka Izzaty dkk, (2008: 139). Berikut ini akan dijelaskan mengenai hubungan remaja dengan teman sebaya dan orang tua:
• Hubungan dengan Teman Sebaya
Menurut Santrock (2003: 219) teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan (dalam Santrock, 2003: 220) mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja mulai belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara dengan melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung. Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Mengenai kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih saying (ikatan yang aman), teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan seksual.
Ada beberapa beberapa strategi yang tepat untuk mencari teman menurut Santrock (2003: 206) yaitu :
o Menciptakan interaksi sosial yang baik dari mulai menanyakan nama, usia, dan aktivitas favorit.
o Bersikap menyenangkan, baik dan penuh perhatian.
o Tingkah laku yang prososial seperti jujur, murah hati dan mau bekerja sama.
o Menghargai diri sendiri dan orang lain.
o Menyediakan dukungan sosial seperti memberikan pertolongan, nasihat, duduk berdekatan, berada dalam kelompok yang sama dan menguatkan satu sama lain dengan memberikan pujian.
Ada beberapa dampak apabila terjadi penolakan pada teman sebaya. Menurut Hurlock (2000: 307) dampak negatif dari penolakan tersebut adalah :
o Akan merasa kesepian karena kebutuhan social mereka tidak terpenuhi.
o Anak merasa tidak bahagia dan tidak aman.
o Anak mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan penyimpangan kepribadian.
o Kurang mmemiliki pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk menjalani proses sosialisasi.
o Akan merasa sangat sedih karena tidak memperoleh kegembiraan yang dimiliki teman sebaya mereka.
o Sering mencoba memaksakan diri untuk memasuki kelompok dan ini akan meningkatkan penolakan kelompok terhadap mereka semakin memperkecil peluang mereka untuk mempelajari berbagai keterampilan sosial.
o Akan hidup dalam ketidakpastian tentang reaksi social terhadap mereka, dan ini akan menyebabkan mereka cemas, takut, dan sangat peka.
o Sering melakukan penyesuaian diri secara berlebihan, dengan harapan akan meningkatkan penerimaan sosial mereka.
Sementara itu, Hurlock (2000: 298) menyebutkan bahwa ada beberapa manfaat yang diperoleh jika seorang anak dapat diterima dengan baik. Manfaat tersebut yaitu:
o Merasa senang dan aman.
o Mengembangkan konsep diri menyenangkan karena orang lain mengakui mereka.
o Memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai pola prilaku yang diterima secara social dan keterampilan sosial yang membantu kesinambungan mereka dalam situasi sosial.
o Secara mental bebas untuk mengalihkan perhatian meraka ke luar dan untuk menaruh minat pada orang atau sesuatu di luar diri mereka.
o Menyesuaikan diri terhadap harapan kelompok dan tidak mencemooh tradisi sosial.
• Hubungan dengan Orang Tua
Menurut Steinberg (dalam Santrock, 2002: 42) mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealism dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak rang tua dan remaja.
Collins (dalam Santrock, 2002: 42) menyimpulkan bahwa banyak orang tua melihat remaja mereka berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan, dan menantang standar-standar orang tua. Bila ini terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orang tua.
Dari uraian tersebut, ada baiknya jika kita dapat mengurangi konflik yang terjadi dengan orang tua dan remaja. Berikut ada beberapa strategi yang diberikan oleh Santrock, (2002: 24) yaitu : 1) menetapkan aturan-aturan dasar bagi pemecahan konflik. 2) Mencoba mencapai suatu pemahaman timbale balik. 3) Mencoba melakukan corah pendapat (brainstorming). 4) Mencoba bersepakat tentang satu atau lebih pemecahan masalah. 5) Menulis kesepakatan. 6) Menetapkan waktu bagi suatu tindak lanjut untuk melihat kemajuan yang telah dicapai.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa proses perkembangan remaja meliputi masa transisi biologis yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik. Transisi kognitif yaitu perkembangan kognitif remaja pada lingkungan sosial dan juga proses sosioemosional dan yang terakhir adalah masa transisi sosial yang meliputi hubungan dengan orang tua, teman sebaya, serta masyarakat sekitar.

Dimensi Remaja Menurut Perkembangannya

Bagaimana sebuah karakter itu berkembang? Dapatkah karakter ini diolah? Jika bisa, cara efektif apa yang dapat meningkatkan sebuah karakter? Bagaimana peran keluarga, sekolah, teman, dan komunitas? Untuk menjawab semua pertanyaa di atas, saya memulai dengan beberapa pandangan tentang nilai kebaikan yang dikemukakan oleh ahli filsafat. Berdasarkan Aristotle, nilai-nilai moral menggambarkan – sungguh-sungguh- menegaskan karakter individu dan dapat diajarkan dan diperoleh dengan memberi pelatihan kepada mereka. Aquinas berpendapat bahwa nilai kebaikan adalah sebuah kebiasaan dimana setiap orang dapat berkembang dengan memilih mana yang baik dan bertindak sesuai dengan hal tersebut. Maudsley (1898) juga menegaskan bahwa karakter mengembangkan secara berangsur-angsur secara keseluruhan kehidupan dan tidak hanya berpikir dan berbicara belaka. Jadi, tidak seperti keputusan moral- yang sadar- karakter ditambahkan dengan kemampuan emosional dan tingkah laku.
Baumrind (1994, 4) memberikan definisi karakter sebagai berikut : “ Karakter menunjuk pada kebiasaan positif dan sudah diolah sebagai tanggung jawab social, komitmen moral, disiplin diri, dan kemantapan dengan kumpulan seluruh orang yang dinilai menjadi tidak sempurna, cukup memadai, atau patut dicontoh.” Variasi gagasan-gagasan tentang nasehat nilai secara terus menerus dimana karakter dapat diolah dengan pengasuhan yang baik, lembaga sekolah, dan sosialisasi, dan hal ini dapat dengan segera menjadi kebiasaan sehari-hari.
Perbedaan individu dalam beberapa komponen dari karakter yang baik ada di kalangan anak muda. Hal ini mungkin didasari oleh perbedaan watak seperti kemampuan bersosialisasi dan mereka mempelajari makna moral sejak dini dalam hidup. Contohnya, hubungan ibu dan bayi, perlindungan kasih sayang mungkin akan mengatur tingkat komponen karakter sebagaimana kita identifikasikan sebagai kapasitas mencintai dan dicintai. (Ainsworth et al. 1978), dan hubungan saudara kandung mungkin sebagai percobaan kekuatan karakter dari kebaikan ( Dunn dan Munn 1986). Komponen lain dari karakter yang baik- seperti keterbukaan dan keadilan- memerlukan tingkatan kedewasaan, sebagai dokumen ahli perkembangan jiwa. (cf. Kohlberg 1981, 1984; Piaget 1932). Ini adalah sebuah pertanyaan empiris bagaimana remaja terlalu muda untuk menunjukkan variasi komponan dari karakter yang baik. Ada beberapa hal yang mendasari kerangka pemikiran untuk perkembangan karakter-salah satunya diinformasikan dengan perkembangan teori dan penelitian- untuk memandu mendesain program. Studi empiris untuk memancarkan cahaya pada perkembangan karakter komponen individu, walaupun tidak ada pemeriksaan terhadap perkembangan karakter sebagai nilai-nilai positif keluarga- sebagai sebuah gagasan multidimensional. Bagaimanapun juga, kami yakin bahwa variasi dari pengaruh memberi masukan pada perkembangan karakter yang baik.



Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual pada anak dan remaja diliputi oleh kerahasiaan, rasa bersalah dan ketakutan. Pelaku menggunakan ancaman dan rasa takut untuk mencegah anak bercerita, tetapi alasan utama anak dan remaja tidak menceritakan adalah karena mereka takut tidak dipercaya. Walaupun disebarluaskan tentang penganiayaan anak baik pada korban anak laki – laki dan perempuan, anak laki biasanya lebih sedikit diungkap.

Definisi kekerasan seksual pada remaja

Definisi kekerasan seksual pada anak adalah bila anak yang lebih dewasa, seorang remaja atau orang dewasa menggunakan seorang anak atau remaja untuk kepuasan seksualnya. Incest termasuk dalam definisi ini. Incest pada anak adalah bila seorang anak diperkosa secara seksual oleh orang tua, figure orang tua, saudara yang lebih tua, famili yang lain, atau orang penting dalam kehidupan keluarga si anak. Definisi kekerasan seksual dibagi menjadi dua: non-contact dan contact.
Non-contact
• Dipaksa melihat perbuatan seksual
• Dipaksa mendengar permbicaraan tentang seks, termasuk komentar, rekaman
• Material berbau seks seperti video, DVD, majalah, foto
• Dipaksa melihat bagian tubuh – termasuk buah dada, anus, area genital (vulva, vagina, penis, scrotum), pantat, dan mulut.
• Komentar atau pertanyaan menjurus seks

Contact
• Disentuh di wilayah seksual, termasuk mencium
• memaksa seorang anak atau remaja menyentuh wilayah seksual seseorang
• Dipaksa seks oral (seks oral adalah bila mulut bersentuhan dengan penis, vagina atau anus)
• Dipaksa intercourse -- dapat secara vagina, anal atau oral; harus terjadi penetrasi; penetrasi dapat dengan bagian tubuh dan atau benda (bagian tubuh yang paling umum digunakan adalah jari-jari, lidah dan penis)


PERUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Bagaimana hubungan antara kekerasan seksual terhadap perilaku seksual dan penyebaran hiv/aids pada MSM remaja di 10 kabupaten/kota di Jawa Tengah.”

A. METODOLOGI PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian penjelasan atau explanatory research, adalah penelitian yang menyoroti hubungan antara variabel-variabel penelitian dan mengkaji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Oleh karena itu dinamakan juga dengan penelitian pengujian hipotesis atau testing research. Walaupun dalam uraiannya mengandung deskripsi, tetapi sebagai penelitian relasional fokusnya terletak pada penjelasan hubungan antara variabel (Singarimbun, 1987: 3).
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian penjelasan (explanatory research) dengan pendekatan belah lintang, melibatkan 2000 sampel remaja perkotaan usia 18-24 tahun yang berasal dari dua latar belakang sosial demografi yang berbeda di Propinsi Jawa Tengah. Masing-masing 1000 sampel diambil secara acak bertingkat dari populasi kaum remaja yang bekerja dengan pendapatan rendah di pabrik, dan populasi kaum remaja kelas menengah dari para mahasiswa di perguruan tinggi. Pengumpulan data dari masing-masing kelompok sampel tersebut diambil dari 10 kabupaten / kota di Jawa Tengah besar yaitu: Solo, Salatiga, Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Tegal, Batang, Pekalongan, Purwokerto, Cilacap, Banyumas. yang Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode survey (wawancara dan angket/self administered) dengan menggunakan kuesioner terstruktur sebagai instrumen pengumpul data.
Penelitian ini menggunakan variabel-variabel yang dikategorikan dan disusun berdasarkan kerangka teori Social-Learning dari Bandura 12,13. Teori tersebut berdasarkan pada pendapat bahwa perilaku manusia dibedakan oleh tiga hal yang saling berhubungan antara faktor personal/individu, faktor lingkungan, dan faktor perilaku. Dalam penelitian ini faktor personal dan lingkungan adalah merupakan variabel bebas, sedangkan faktor perilaku merupakan variabel terikat. Adapun variabel-variabel tersebut dikategori kedalam faktor-faktor berikut ini:
Faktor personal: Variabel-variabel yang termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan mengenai HIV/AIDS, Penyakit Menular Seksual (PMS), aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual & reproduksi, kerentanan yang dirasakan terhadap resiko kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri dan variabel-variabel demografi seperti: usia, agama dan status perkawinan.
Faktor lingkungan: variabel-variabel yang termasuk didalam faktor ini adalah akses dan kontak dengan sumber-sumber informasi, sosial-budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu.
Faktor perilaku: variabel-variabel yang termasuk didalam faktor ini adalah gaya hidup seksual (orientasi seksual, pengalaman seksual, jumlah pasangan), peristiwa-peristiwa kesehatan (PMS, kehamilan, aborsi) dan penggunaan kondom serta alat kontrasepsi.
Adapun cara pengukuran variabel-variabel penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Gaya hidup : merupakan pilihan responden terhadap jenis pakaian, makanan, musik, majalah/novel, dan acara TV. Diukur menggunakan rentang nilai lima sampai lima belas yang dikategorikan kedalam empat kategori mulai dari gaya hidup yang sangat tradisional sampai gaya hidup yang sangat modern. Angka/nilai yang lebih tinggi menunjukkan gaya hidup yang lebih modern.

Harga diri : diukur dengan menggunakan skala Barksdale (1996) berisi 25 pernyataan yang bernilai positif (misalnya, saya tidak merasa orang lain lebih baik dari saya) dan negatif (misalnya saya tidak bebas dari rasa malu, rasa bersalah dan menyalahkan) tentang diri sendiri. Variabel tersebut diukur menggunakan teknik skoring dengan rentang nilai 0-4, dan mengkategorikannya menjadi empat kategori dari rasa harga diri yang buruk/rendah sampai rasa harga diri yang tinggi. (Cronbach Alpha 0,73).

Letak Pengendalian diri : diukur dengan skala Rotter (1990) berisi 20 hal untuk menilai letak pengendalian diri external (negatif) dan internal (positif) dari individu. Nilai total dibagi menjadi tiga kategori yaitu letak pengendalian diri internal, gabungan internal-external, dan eksternal (Cronbach Alpha: 0,85) Relijiusitas (tingkat keagamaan): merupakan jenis dan tingkat aktifitas yang berhubungan dengan agama (frekwensi berdoa, mengunjungi tempat ibadah, keanggotaan dan keaktifan dalam kegiatan keagaman remaja). Skala pengukuran menggunakan skala Likert (3 tingkatan) yang terdiri dari “selalu”, “kadang2” dan “tidak pernah”. Rentang nilainya adalah 0-9, dimana nilai yang lebih tinggi menunjukkan tingkat relijiusitas/keagamaan yang lebih tinggi.

Aktifitas sosial : adalah aktifitas-aktifitas yang dilakukan individu dalam waktu luangnya (pergi kepesta, disko, pub, café, menginap diluar, merokok, minum-minuman beralkohol, memakai obat-obatan, membaca/melihat pornografi, dan berkencan dengan penjaja seks komersial/ P.S.K/ perek/ ciblek, dan sebagainya). Pertanyaan diambil dari perangkat instrumen yang digunakan dalam penelitian sejenis di Thailand, diukur menggunakan skala Likert (4 tingkatan) mulai dari “selalu” sampai “tidak pernah”. Rentang nilai adalah 4 sampai 16, dimana nilai yang lebih tinggi mengindikasikan aktifitas sosial yang lebih tinggi. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual(PMS) dan HIV/AIDS: Pertanyaan diambil dari perangkat kuesioner WHO tentang praktek/perilaku, sikap dan pengetahuan yang digunakan di Ghana pada tahun 1991, untuk menilai pengetahuan menyeluruh mengenai kesehatan reproduksi, PMS dan HIV/AIDS. Nilai pengetahuan total dihitung dari jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan mengenai pengetahuan. Rentang nilai berkisar dari 0 sampai 15, dimana nilai yang lebih tinggi mengindikasikan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. (Cronbach Alpha: 0,87).

Sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi : merupakan sikap individu terhadap layanan yang berhubungan dengan aspek-aspek seksualitas remaja yang berkaitan dengan keluarga berencana (metode kontrasepsi), HIV/AIDS dan PMS, termasuk juga sumber-sumber informasi yang relevan. Diukur dengan menggunakan skala Likert (5 tingkatan) mulai dari “sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju. Rentang nilai berkisar dari 5 sampai 25, dimana nilai yang lebih tinggi mengindikasikan sikap yang lebih setuju pada layanan kesehatan tersebut (Cronbach Alpha 0,83)

Sikap terhadap seksualitas : merupakan sikap normative individu terhadap hubungan seksual pra-nikah, penggunaan metode kontrasepsi, penggunaan kondom, pornografi dan homoseksual. Setiap unsur diukur dengan menggunakan skala Reiss, sedangkan jawabannya diukur menggunakan skala Likert (5 tingkatan) mulai dari “yang sangat setuju” sampai yang “sangat tidak setuju”. Nilai akhir dikategorikan ke dalam lima kategori yang terentang dari tingkah laku “yang sangat normative” sampai tingkah laku “yang liberal (Cronbach Alpha 0.82).

Dukungan Sosial : variabel ini diukur menggunakan sepuluh pernyataan, diantaranya adalah pernyataan yang mengatakan bahwa “menurut teman-teman saya, kondom seharusnya digunakan dalam berhubungan seksual”, “menurut “pasangan aya, kondom seharusnya digunakan selama berhubungan seksual”, dan “menurut teman-teman saya, hubungan seksual pra nikah itu biasa dan dapat diterima”. Variabel ini diukur menggunakan skala Likert (3 tingkatan) mulai dari “yang sangat setuju” sampai “yang sangat tidak setuju”. Rentang nilainya adalah 10 - 30, dimana nilai 30 mengindikasikan adanya dukungan sosial yang paling tinggi (Cronbach Alpha 0.81).

Kepercayaan Diri : pengukuran variabel ini menggunakan instrumen yang telah disesuaikan dari skala yang dikembangkan oleh Basen-Engquist dan Parcel (1992), yang mencakup kepercayaan untuk membuat keputusan mengenai kesehatan reproduktif, kepercayaan untuk menggunakan kondom setiap waktu dan kepercayaan menggunakan kondom sebelum melakukan hubungan seksual. Ukuran ditetapkan dengan menggunakan skala Likert (3 tingkatan) mulai dari ”yang sangat yakin” sampai “yang sangat tidak yakin”. Rentang nilainya adalah 15 – 60, dimana semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin tingginya rasa percaya dirinya. (Cronbach Alpha 0.85).

Perilaku Seksual : variabel ini mencakup pengalaman hubungan seksual responden (usia pacar pertama, kedekatan pasangan, dan komitmen emosional) dan pengalaman seksual (pola aktifitas seksual, tekanan yang dialami individu pada saat hubungan seksual pertama kali, penggunaan alat kontrasepsi, jumlah pasangan, jenis hubungan), diukur dengan menggunakan skala rasio dan ordinal.

2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1987: 3).
Tetapi karena subjeknya kurang dari 100 maka lebih baik diambil semuanya, sehingga penelitian ini disebut penelitian populasi (Arikunto, 1987: 107).

3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Organisasi GESSANG (Gerakan Sosial Advokasi dan Hak Asasi Manusia untuk Gay) yang berkantor di Jl. Cokrobaskoro 201 B Surakarta. Adapun pertimbangannya antara lain sebagai berikut :
a. Organisasi GESSANG menaungi komunitas-komunitas kecil tidak resmi kaum MSM yang berada di 10 kabupaten / kota di Jawa Tengah.
b. Organisasi GESSANG menjadi yang terdepan dalam pembelaan hukum ketika kaum MSM mengalami masalah hukum dan hak asasi manusia, sehingga banyak dari kaum MSM di 10 kabupaten / kota di Jawa Tengah yang menjadi anggota organisasi.
c. Berdasarkan pra-survei, sebagian besar komunitas MSM di 10 kabupaten / kota di Jawa Tengah mengakses internet dengan pola akses yang bervariasi karena tidak ingin jati dirinya sebagai seorang MSM diketahui banyak orang.

4. Teknik Pengumpulan Data
a. Kuesioner
Yaitu teknik pengumpulan data dengan menyerahkan daftar pertanyaan untuk diisi oleh responden. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
i. Pertanyaan Terbuka
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang jawabannya tidak disediakan, sehingga responden bebas menulis dan mengutarakan jawabannya sendiri.

ii. Pertanyaan Tertutup
Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang jawabannya sudah disediakan, sehingga responden tinggal memilih salah satu jawaban yang telah disediakan.
b. Wawancara
Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan teknik komunikasi verbal atau langsung kepada narasumber yang terkait, dalam hal ini adalah komunitas MSM, dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan atau penjelasan untuk melengkapi data-data yang lainnya. Data yang di dapat dari teknik adalah jawaban-jawaban dari responden yang dicatat atau direkam dengan alat perekam.
Dalam teknik wawancara ini, pertanyaan yang diajukan meliputi pertanyaan yang telah diberikan dalam kuesioner. Responden yang akan diwawancarai dipilih berdasarkan kesediaan dan intensitas penggunaan internet tertinggi. Responden inilah yang dianggap paling mewakili responden yang lain.
c. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang mendukung penelitian. Dalam penelitian ini sumber data diperoleh dengan mempelajari buku-buku dan surat kabar, tulisan-tulisan, arsip responden atau media internet yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

5. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Primer dan Data Sekunder. Sumber data primer yaitu data yang dperoleh dari responden yang berupa hasil wawancara dan kuesioner. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber media cetak, buku, koran, brosur, dan media yang mendukung dalam menambah data penelitian, dalam hal ini adalah internet.

6. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisa data berupa uji hubungan variabel penelitian, yaitu hubungan antara kekerasan seksual dengan variabel dependen yaitu perilaku seksual dan penyebaran HIV/AIDS. dengan hubungan antara variabel yang demikian, maka untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian ini digunakan korelasi tata jenjang Spearman yang dirumuskan sebagai berikut :



dimana:




Sedangkan :





Keterangan :
rs : koefisien Rank Spearman
d2 : Kuadrat beda antar jenjang
Tx : Jenjang kembar pada variabel x
Ty : Jenjang kembar pada variabel y
t : Jumlah jenjang kembar
n : Sampel
12 : Angka konstan

Dalam tata jenjang Spearman, untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel penelitian dengan presesi yang dikehendaki dapat diketahui dengan rumus :



Setelah harga t diketahui, maka segera dapat dikonsultasikan dengan tabel t dengan tingkat signifikansi 0.0005, interval kepercayaan 100% dan df = n – 2. Jika harga t yang diperoleh lebih besar dari harga t tabel maka hipotesis dapat diterima, demikian juga sebaliknya. Jika harga t yang diperoleh lebih kecil dari harga t tabel maka hipotesis ditolak.

Selanjutnya sesuai dengan aturan dalam pengetahuan signifikansi, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Suatu hipotesis nol (H0) ditolak apabila hubungan tersebut signifikan, berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel dengan variabel lain.
b. Suatu hipotesis satu (H1) diterima apabila hubungan tersebut tidak signifikan, berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel dengan variabel lain.


DAFTAR PUSTAKA
Moleong, Lexy, 1989. Metode Penelitian Kualitatif. PT Erlangga : Jakarta.
Oetomo, Dede, 2001. Memberikan Suara pada yang Bisu. Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Ford Foundation : Surabaya.
Rakhmat, Jallaludin, 2001. Metode Penelitian Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya : Bandung.
Singarimbun, Masri, 1995. Metode Penelitian Survai, edisi revisi. PT Pustaka LP3ES : Jakarta.
Arikunto, Suharsini, 1989. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Bina Aksara : Jakarta.
Gerungan, W.A, 1996. Psikologi Sosial. Eresco : Bandung.
Gulo, Dali, 1982. Kamus Psikologi. Tonis : Bandung.
Kűng, Hans dan Karl-Josepf Kuschel, 1999. Etik Global, Pengantar : DR. Th. Sumartana. Sisiphus : Yogyakarta.

01 Maret 2010

HOMOSEKSUAL




Tentang Homoseksualitas

Ada sekelompok minoritas orang yang menyadari ada yang salah dengan orientasi seksual mereka. Mereka heran dengan kecenderungan seksual mereka yang mengarah pada sesame jenis. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi pada diri mereka. Tentu hal ini menjadikan mereka merasa malu dengan keberadaan diri mereka. Mereka takut akan pengucilan masyarakat terhadap diri mereka. Bahkan mungkin orang tua mereka akan merasa kecewa dan merasa malu dengan kenyataan yang terjadi pada anak mereka. Agar dapat dipahami bahwa penyimpangan seksual yang terjadi pada seseorang bukanlah kehendak orang tersebut. Tetapi hal tersebut dapat terbentuk oleh berbagai latarbelakang yang menjadikan seseorang menjadi gay atau lesbian. Ketidaktahuan pada apa yang sedang terjadi pada diri mereka dapat membuat mereka depresi berat, bahkan mungkin dapat mengarah pada pikiran bunuh diri dikarenakan konflik yang terjadi di dalam diri mereka. Tulisan di bawah ini adalah teori – teori tentang homoseksualitas yang diharapkan dapat membuka pemahaman anda tentang homoseksualitas.

Apakah penyebab homoseksualitas?Apa yang membuat seseorang menjadi gay? Sarjana, saintis, dan pemuka agama telah memperdebatkan hal ini dalam beberapa dekade. Secara umum teori - teori tentang "penyebab" homoseksualitas (lihat referensi 1) meliputi "disfungsi hubungan antara orang tua dan anak," peran gender tradisional yang membingungkan," akibat kekerasan seksual," atau karena "genetis."

Berikut teori -teori masa lalu dan keyakinan tentang penyebab homoseksualitas, apa yang membuat seseorang menjadi gay atau lesbian.

Hubungan antara orang tua dan anak

Sebuah teori umum yang dipakai bertahun - tahun dalam menjelaskan penyebab homoseksualitas, sebagai pondasi pada praktek psikologi atau pemuka agama untuk perubahan homoseksual pria menjadi heteroseksual, adalah disfungsi hubungan antara orang tua, keluarga, dan anak, sering disebut sebagai teori "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah." Jika seorang wanita homoseksual, lalu peran orang tua biasanya dibalik. Tapi riset para profesional membuktikan praktek teori ini tidak memperhatikan saudara laki dan saudara perempuan lainnya yang tumbuh di rumah yang sama dengan "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah," dan tumbuh menjadi heteroseksual. Teori ini juga tidak mempertimbangkan kembar identik yang dipisahkan saat lahir, yang dibesarkan oleh orang tua yang berbeda, berbeda kultur dan sosial, dan keduanya menjadi homoseksual waktu dewasa. Dalam kenyataannya, penelitian menunjukan jika model keluarga dengan "ibu yang dominan dan ketiadaan figur ayah," ini sesungguhnya mungkin sebagai "hasil" seorang anak menjadi gay atau lesbian, dan bukan sebagai penyebab (lihat referensi 2). Di dalam rumah yang demikian, seorang ayah mungkin secara tidak sadar merasakan perbedaan di anak gay , dan dirinya yang menjauh, tidak tahu bagaimana mengenali atau berinteraksi dengan anak. Kemudian, seorang ibu mungkin merasa perlu untuk memelihata dan melindungi anak yang malang ini, menggantikan ayah yang menarik diri.

Kebingungan seksual

Bila anda melihat banyak kasus sejarah orang yang mengklaim dirinya "diobati, " yang telah "berganti," atau "berubah" dari homoseksual menjadi heteroseksual, sebagai produk "reparative therapy," sejarah kehidupan mereka sering menunjukan kebingungan gender masa kecil dan atau masa remaja, dan atau disfungsi identitas seksual. Sering bila anda melihat pada orang yang mengklaim perubahan, mereka dalam kenyataannya selalu heteroseksual, yang akhirnya disembuhkan dari identitas seksual dan atau gender, atau kebingungan orientasi.Kemudian, beberapa dari mereka yang mendapat kekerasan secara seksual di masa kecil dan memproses trauma ini ke dalam diri, atau orang yang entah bagaimana tumbuh dalam disfungsi identitas, gender, atau seksual yang menyebabkan mereka terikat pada perilaku seksual negatif. Lalu ada sekelompok kecil orang yang "gay" bukan karena orientasi seksual mereka, tetapi karena beberapa disfungsi dalam prosess dan perkembangan di kehidupan mereka. Hal ini sangat mengejutkan banyak orang, tetapi seharusnya tidak, sama halnya adanya disfungsi seksual heteroseksual, begitu juga ada disfungsi seksual homoseksual. Seseorang dapat berubah atau membungkus orientasi seksual mereka ke arah yang tidak sesuai dengan kodrat mereka.

Contoh, beberapa wanita yang terlibat dalam aktifitas homoseksual tidak benar - benar lesbian, tetapi sebenarnya heteroseksual yang tidak mampu mengembangkan hubungan yang baik dan positif dengan pria, baik karena tidak adanya model peran yang baik, atau pengalaman kekerasan secara seksual, verbal, atau fisik dari seorang pria; mereka beralih, dalam luka batin mereka, pada sebuah pencarian untuk pengasuhan dan penyembuhan di luar norma mereka; daripada mencari bantuan terapi untuk menyembuhkan trauma mereka, mereka mulai terlibat dalam disfungsi seksual dan hubungan emosional (lihat referensi 3). Lebih lanjut, beberapa pria adalah heteroseksual yang terlibat aktifitas homoseksual, perilaku, dan identitas palsu yang disebabkan beberapa bentuk identitas diri atau seksual, penerimaan diri, dan atau disfungsi harga diri; hal ini ditunjukan terutama oleh kebingungan peranan gender pria tradisional yang "diterima"nya, sebuah pencarian untuk pengasuhan pria, atau penyembuhan terhadap putusnya hubungan pria. Disfungsi pada orientasi seksual mungkin menjadi bukti luka batin yang dalam, yang menjelma menjadi kebingungan, atau identitas seksual sebenarnya yang dibelokan. Pada umumnya, pada kebanyakan orang yang orientasi seksualnya diketahui, menjelma baik positif atau negatif. Tetapi, pada beberapa orang dengan disfungsi peranan gender atau identitas seksual mungkin menyebabkan timbulnya aktifitas seksual yang membingungkan (lihat referensi 4).

Faktor Genetik

Apakah orientasi seksual yang ditentukan oleh faktor genetik, atau ditentukan oleh faktor sosial, atau proses kultiral? Inti dari pertanyaan bukanlah penyebab asal dari homoseksual, tetapi merupakan pertanyaan moralitas orientasi seksual homoseksual. Jika homoseksualitas disebabkan karena faktor generik ada dua hal yang pada umumnya akan terjadi. Mereka yang percaya homoseksualitas adalah salah akan menggunakan bukti ini untuk membuktikan bahwa hal ini adalah penyakit genetik, dan menggunakan isu ini sebagai justifikasi untuk mencari "pengobatan," untuk mengisolasi dan atau menentang hak sipil orang gay. Mereka yang percaya bahwa homoseksualitas adalah sehat dan normal akan menggunakan isu ini untuk membuktikan bahwa hal ini merupakan perkembangan normal pada manusia, dan menggunakannya sebagai justifikasi bahwa homoseksualitas adalah normal, dan atau menjamin hak - hak sipil bagi orang gay. Jadi apakah hal ini karena faktor genetik atau bukan, atau sebagai hasil dari kehidupan tidak ada bedanya, cara lain orang menggunakan hasil ini sebagai justifikasi keyakinan mereka pada teori ini (lihat referensi 5).
Moralitas
Namun sisa isu apakah menjadi gay atau tidak adalah baik atau buruk. Hal ini ditentukan apakah anda memandang kehidupan sebagai hitam dan putih, absolut, atau apakah anda memandangnya sebagai hitam, putih, abu - abu, dengan pilihan. Secara logika, banyak kehidupan bukanlah tentang baik atau buruk, tetapi netral. Tetapi ada banyak orang yang mencapai kehidupan dan benda - benda yang pada hakekatnya adalah sebuah hitam atau putih, baik atau jelek, perspektif baik atau buruk. Di komunitas agama ditemukan debat panas atau persepsi apakah homoseksualitas itu benar atau salah (lihat referensi 6). Tidak ada yang secara alamiah salah pada segala sesuatu dalam kehidupan; bagaimana anda memilih atau tidak mereka memperbaiki diri sendiri, orang lain, sosial, dan budaya, atau apakah mereka menggunakan dan melakukan kekerasan pada sesama. Sebagai contoh, apakah menghadiri kotbah menjadikan perbaikan diri? ya, tentunya. Dapatkah menghadiri kotbah mengarah pada penggunaan dan perlakuan kekerasan diri? Bahkan hal - hal yang baik dapat digunakan untuk tujuan yang buruk. Terapkanlah hal yang sama pada orientasi seksual, apakah hitam atau putih, baik atau buruk, salah atau benar, atau netral sampai ada tindakan? Beberapa orang percaya bahwa seseorang mungkin berjalan pada orientasi seksual atau heteroseksual mereka apakah untuk perbaikan diri, orang lain, sosial dan budaya, atau untuk pengunaan dan perlakuan kekerasan pada sesama. Pada mereka yang percaya pada absolutisme, lalu homoseksualitas selalu salah dalam hal apapun; bagi mereka yang percaya orientasi seksual menjadi netral, bagaimana anda menghargai dan mewujudkannya akan menentukan kebenaranya, lalu homoseksualitas diterima.

Kekerasan seksual (sexual abuse)

Anak yang mengalami kekerasan secara seksual, apakah dilakukan oleh orang yang sama jenis kelaminnya atau lain jenis, tidak akan tumbuh menjadi gay atau lesbian, tetapi trauma yang demikian dapat membelokan dan mencegah perkembangan orientasi seksual yang alamiah dan sehat, identitas seksual, dan hubungan seksual yang sehat. Penelitian menunjukan bahwa mayoritas orang yang mendapat kekerasan seksual pada waktu kecil adalah heteroseksual, bukan homoseksual, pada orientasi seksual mereka. Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan yang kejam, bukan sebuah kejahatan seks; Ini adalah sebuah kejahatan kekuatan satu orang terhadap orang lain, yang diarahkan di sekitar seksualitas. Anak yang mendapat kekerasan secara seksual sering berpikir mereka telah “ melakukan sesuatu yang pantas mendapatkannya,” mereka memberikan semacam sinyal yang menyebabkan hal tersebut. Bukan ini masalahnya; anak menjadi korban kejahatan, bukan pelaku kejahatan. Anak selalu tidak berdosa, selalu. Tetapi, rasa malu dan rasa bersalah yang palsu dapat menyebabkan seorang anak berkeyakinan ada sesuatu yang salah pada diri mereka. Kekerasan pada anak mungkin menyebabkan seorang anak tumbuh dengan disfungsi seksual, dan atau kebingungan orientasi seksual, termasuk hubungan seksual yang tidak sehat (lihat referensi 7).

Kebingungan Peran Gender

Tidak seorangpun anak yang tidak sesuai dengan peran gender “tradisional” akan tumbuh menjadi gay atau lesbian. Jika anda laki – laki, dan senang memasak, bersih – bersih, menjahit, mengecat, merangkai bunga, menari balet, lalu anda seharusnya stereotip gay; tetapi kebanyakan artis, koki, penari balet, bukan gay, dan sisanya campuran. Jika anda perempuan, dan suka menjerat sapi, bekerja di pengeboran minyak, anda seharusnya stereotip seorang lesbian. Salah lagi. Pekerjaan seseorang, hobi, atau melawan “peran gender tradisional,” tidak menjadikan seseorang gay atau lesbian. Tapi mungkin saja merupakan sebuah refleksi tingkat penolakan homoseksualitas oleh masyarakat tersebut (lihat referensi 8). Di budaya atau masyarakat yang menindas atau menolak homoseksualitas, homoseksual cenderung mengendap pada stereotip seperti pekerjaan, hobi, bakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi diri mereka. Di negara yang terbuka pada kaum gay dan lesbian, homoseksual dan heteroseksual ditemukan sebanding di pekerjaan – pekerjaan dan peran – peran yang secara tradisional diyakini sebagai “maskulin” atau “feminism.” Pekerjaan yang diyakini sebagai “feminim” tetapi ditempati oleh seorang laki – laki, tidak berarti orang tersebut adalah atau akan menjadi gay; demikian juga dengan pekerjaan yang diyakini sebagai “maskulin” tetapi ditempati oleh seorang wanita. Isu utama di budaya yang demikian adalah apa yang diterima dan diyakini menjadi maskulin atau feminim, daripada tentang homoseksualitas.

Referensi:

1) Richardson, James L.
Modern Theories on the Causes of Homosexuality. NY: Harkin Rollins Publishing Press, c1989, pp. 137-192.
2) Parker, Dr. Karen
Reparative Therapy. Chicago, IL: Book International Press of Chicago, c1992, pp. 16-102.
3) Dickeson, Rebecca, ed.
Lesbianism in American Society and its Cultural Ramifications. Seattle, WA: Beverly Press, c1967, pp. 301-310.
4) Male Pattern Homosexuality. San Francisco, CA: Nobel Hill Books, c1971, pp. 202-263.
5) Beckmund, Brent K., ed.
Genetic Theories of Homosexuality. Denver, CO: Sterling College Press, c1999.
6) Hardin, Harry S.
Theology and Homosexuality. Des Moines, IA: Augustine Theological Press, c1984, pp. 402-491.
7) Keith, Dr. Samantha
Child Abuse and Adult Trauma. Phoenix, AZ: Sexuality Press International, c1991.
8) Smithsworth, Robert J.
Culture and Homosexuality. Doctoral Thesis, 1992. UK: College of London on the Thames, Bayswater.