Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

11 Oktober 2009

Spiritualitas Facebook: Memahami Kristologi dalam Budaya Metropolitan

Judul dari tulisan ini adalah “SPIRITUALITAS FACEBOOK”. Memahami Kristologi Dalam Budaya Metropolitan. Di sini, saya ingin memfokuskan tulisan ini pada gejala yang mewabah di dunia, yaitu Facebook. Media komunikasi yang membentuk komunitas manusia satu dengan yang lainnya. Facebook bila tidak diperhatikan dengan bijaksana, malah akan menjadikan kita menjadi manusia individu, tertutup untuk orang lain. Relasi saya dan anda menjadi kering yang hanya dalam batasan kulitnya saja. Karena hubungan saya dan anda tidak dilandasi oleh spiritualitas cinta kasih. Yang seharusnya menjadi kesadaran penuh ketika saya mulai berhubungan dengan orang lain.

Namun, saya dengan sadar, tidak juga mengatakan “Mari kita tinggalkan Facebook demi intensnya pertemuan kita dengan sesama”. Saya ingin mengajak kita untuk mengembalikan fungsi Facebook ke tempat semula, memanfaatkannya semata-mata untuk semakin mempererat kesatuan kita dengan sesama yang berlandaskan cinta kasih Kristus.

Lalu apa hubungannya dengan Kristologi? Pada bagian kedua, saya akan mencoba mensintesiskan spiritualitas Facebook ini dengan spritualitas Kristologi, spritualitas Yesus Kristus. Kristus yang selalu ingin berjumpa dengan kita yang dicintai-Nya. Dia kini tidak lagi jauh di atas sana, namun sudi turun ke dunia, tinggal bersama kita. Sifat transenden Allah disempurnakan dengan sifat imanen-Nya, sebab seandainya Allah hanya transenden saja, seolah-olah Ia tidak berhubungan dengan lagi dengan dunia. Padahal, dalam refleksi atas pengalaman hidup kita, Allah justru dikenal sebagai Yang-Memberi-Hidup. Allah memang berbeda dengan dunia, tetapi tidak terpisah darinya. Yang pokok dalam agama Kristen tentu Yesus Kristus sendiri, yang tidak hanya diimani sebagai nabi, utusan Allah, tetapi sebagai “pengantara Allah dan manusia” (1 Tim 2:4). Dan komunikasi Kristus pada kita adalah komunikasi cinta Allah kepada manusia. Dalam ajaran Kristen, kasih adalah yang utama: kepada Allah dan sesama. Ketika ditanyai oleh seorang ahli taurat, manakah hukum yang paling utama, Yesus menjawab: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu; itulah hukum yang pertama dan utama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:37-39).

Semoga, kita (saya dan anda) mengawali segala kegiatan hidup kita dengan spiritualitas Yesus Kristus, sehingga apapun yang kita lakukan melulu dasarnya adalah cinta pada Allah dan sesama. Dan semoga semangat Facebook adalah semangat komunikasi cinta kasih Allah pada kita, kita bagikan pada sesama dengan sadar demi kemuliaan Allah.

Spiritualitas Umat Kristen
Pemahaman atau konsep Kristologi umat Kristen tentu saja tidak dapat digeneralisasikan. Aneka ragam pemahaman dan penghayatan iman mereka itu dilatarbelakangi oleh budaya asal mereka dan latar belakang keluarga yang adalah landasan awal iman mereka. Namun, ternyata lingkungan juga sangat mempengaruhi kita: mempengaruhi pola pikir kita, mempengaruhi mentalitas kita, mempengaruhi cara kita bertindak, dan lain-lain. Dan tentu saja, tanpa kecuali merasuk dalam penghayatan kehidupan rohani kita.

Dalam pertemuan saya dengan keluarga-keluarga Kristen, secara langsung atau tidak langsung, banyak pengalaman-pengalaman yang unik dan menarik ketika bagaimana mereka mencoba menghidupkan iman mereka di tengah hiruk-pikuknya kota. Dan kini saya tidak terkejut lagi ketika mencoba memahami berbagai pandangan umat yang sangat beragam tentang Yesus Kristus, tentang iman mereka. Namun yang membanggakan saya adalah ketika saya mencoba merefleksikan itu semua. Bagaimana mereka dari latar belakang budaya yang berbeda, dari strata ekonomi yang berbeda, dari lingkungan yang berbeda, mencoba terus menghidupkan iman kepercayaan mereka itu di tengah-tengah hiruk pikuknya Jakarta.

Ini tentu bukan perkara mudah. Ketika di satu sisi mereka ingin menghidupkan iman mereka, namun di sisi lain seringkali terhalang oleh tuntutan hidup. Ketika dari pagi hingga malam hari mereka terus bekerja dan tidak punya waktu lagi untuk ke Gereja atau untuk bertemu dengan warga seiman dalam doa lingkungan bersama. Bahkan untuk beberapa keluarga-keluarga, berdoa bersama adalah sesuatu yang sangat mahal, yang sangat sulit. Bukan mereka tidak peduli akan kesuburan iman mereka, namun tuntutan kehidupan memaksa mereka.

Jangan lupakan juga mereka orang-orang muda yang kini hidup dalam tawaran kehidupan yang semakin beragam. Serba instant dan tidak perlu repot-repot. Bagaimanapun ini sangat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap Tuhan dan terhadap Gereja. Ini tidak mudah.

Gereja masuk dalam persoalan yang sangat kompleks. Derasnya tawaran kehidupan yang beraneka ragam tentu bukan perkara mudah untuk di sikapi. Namun, ini tanggung jawab Gereja terhadap domba gembalaannya. Saya tidak menunjuk suatu instansi namun pada semua saja yang menjadi bagian di dalamnya, termasuk kita (saya dan anda umat seiman).

Dalam posisi serba instant dan serba cepat tentu saja membuat pemahaman iman umat tidak berkembang dengan baik. Bagaimana dengan doa-doa harian mereka? Dengan Ekaristi harian mereka? Dan dengan seribu satu pertanyaan yang terasa konyol untuk dipertanyakan kepada umat Kristen Jakarta. Tentu sekali lagi, ini adalah gambaran umum, tentunya masih ada umat yang masih menghidupkan iman mereka sehari-hari. Kota seperti Jakarta, seperti tidak menyisakan waktu lagi bagi setiap warganya untuk sejenak berhenti dari rutinitasnya untuk sekedar menyapa Tuhannya, tetangganya, mungkin juga anak, isteri atau suaminya.

Mari kita lihat serbuan media elektronik yang akhir-akhir ini sangat populer, bahkan Facebook sudah membuat resah perkantoran-perkantoran di Jakarta karena dianggap mengganggu kinerja tugas-tugas karyawannya. Apa yang terjadi dengan fenomena ini?

Dunia digital mengubah interaksi manusia yang secara evolutif membutuhkan pertemuan fisik dan psikis menjadi pertemuan virtual yang dingin. Jika jejaring sosial seperti Facebook tidak digunakan dengan bijak, hubungan kekerabatan antar-manusia bakal kehilangan keintimannya.

Mentalitas instant, serba ingin cepat, kini mau tidak mau merasuk juga dalam cara umat Kristen dalam relasinya dengan Allah dan sesama. Khotbah di gereja misalnya, Kalau perlu perayaan Misa, kalau bisa dilakukan dengan cepat. Semakin cepat semakin baik. Saya tidak tahu, apakah ini sudah menjadi tuntutan bawah sadar kita atau tidak?

Demam Facebook
Facebook yang mendunia itu adalah mahakarya Mark Zuckerberg (24) pada tahun 2004. Facebook lalu tersebar ke seluruh pelosok dunia. Ini karena Facebook adalah sebuah media elektronik yang dengan mudahnya menjadi wahana ‘kumpul-kumpul’ teman dan kerabat. Teman lama yang sudah tidak bertemu pun, dengan mudah dapat kita temukan dengan syarat yang sama: saya dan dia sama-sama terdaftar dalam wahana Facebook tersebut.

Namun, ternyata tidak itu saja yang dapat kita rasakan dari manfaat Facebook. Selain komunikasi, Facebook membuat seseorang menjadi berarti di tengah dunia metropolis yang semakin membengkak populasinya. Di dunia semacam ini, keberadaan seseorang diabaikan. Dengan Facebook, seseorang bisa tampil dan membangun kepercayaan dirinya, misalnya saja dengan memasang foto-foto diri, memasang karya tulisannya, dan lain-lain.

Pengaruh negatifnya, orang yang tidak bijak memanfaatkan Facebook akan terkurung dalam narsisme individual dan terisolasi dari dunia nyata. Mereka yang kecanduan merasa sudah punya banyak teman di dunia maya, lalu enggan menjalin relasi dengan sekitarnya. Hidup menjadi terkurung dalam dunia virtual. Sejalan dengan itu pengamat komunikasi dan gaya hidup, Idi Subandy mengingatkan, relasi sosial di Facebook hanyalah ilusi. Orang merasa dekat dan intim di dunia maya, tapi tidak saling sapa di dunia nyata, bahkan mungkin tidak tahu nama tetangga sebelah. Ini yang disebut illution of intimacy, ilusi akan keintiman yang berusaha di jembatani oleh Facebook . Facebook bisa menjadi pelarian dari kesendirian bagi masyarakat yang teralienasi secara sosial dan ingin membunuh waktu luang.

Peran Gereja yang Aktif: Sintesis antara Spiritualitas Yesus Kristus dan Spiritualitas Facebook.
Bukan perkara mudah ketika Gereja mencoba untuk menawarkan, bahkan dengan tegas mewartakan Injil di dalam kehidupan umat beriman, khususnya umat Kristen. Konsili Vatikan II memulai uraiannya mengenai tugas pengajaran hierarki dengan pernyataan bahwa “di antara tugas-tugas utama para uskup, pewartaan Injillah yang terpenting” (LG 25). Dalam kerangka itu mereka juga “pengajar otentik (yang mengemban kewibawaan Kristus), yang mewartakan kepada umat iman yang harus dipercayai dan diterapkan pada perilaku manusia”. Dalam tugas itu mereka adalah “saksi kebenaran ilahi dan Kristen”. Di sinilah letak tanggung jawab Gereja yang mau tidak mau harus dilaksanakan demi menjaga iman umat dan sebagai wujud Kristus yang hadir.

Namun, dalam pewartaan dewasa ini alat-alat komunikasi mempunyai tempat yang istimewa. Alat-alat komunikasi, seperti media cetak, film, radio, televisi, dan sebagainya, oleh Konsili Vatikan II diakui sebagai penemuan teknologi modern “yang membuka peluang-peluang baru untuk menyalurkan dengan lancar segala macam berita, gagasan dan pedoman” (Intermirifica 1). Oleh karena itu, Konsili juga menganjurkan agar alat-alat komunikasi “dimanfaatkan secara efektif dalam aneka macam karya kerasulan” (Intermirifica 13), khususnya dalam tugas pewartaan.

Gereja jangan menjadi asing terhadap dunia komunikasi ini, melainkan mengambil manfaat perkembangan teknik demi pewartaan Injil dan kesaksian iman. Sekaligus Gereja ingin membimbing orang supaya bersikap kritis dan dewasa terhadap pengaruh dan kuasa media massa. Maka Gereja mengajak semua orang ikut berjaga supaya alat-alat komunikasi jangan menyelengkan pandangan masyarakat dari kebenaran prinsip-prinsip moral. Sebaiknya, melalui alat-alat komunikasi kebenaran dari Allah semakin diketahui oleh banyak orang dan menjadi pegangan hidup dalam pembangunan masyarakat.

Spiritualitas Yesus Kristus mestinya menjadi pegangan kita umat beriman agar pada praktek hidup yang nyata, kita tidak mudah terhanyut dalam hubungan yang semu, tanpa arti. Pertemuan dengan sesama melulu adalah sarana kita untuk mengungkapkan cinta kasih Allah. Gagasan ini mengacu pada Kristus yang selalu ingin bertemu dengan setiap orang, baik individu maupun kelompok, yang tidak lain adalah untuk memberikan cinta-Nya pada manusia.

Dengan mengerti spiritualitas Yesus Kristus, semoga Facebook menjadi sarana untuk mewujudkan cinta kita pada Allah dan sesama. Sehingga Facebook kemudian menjadi spiritualitas kita umat beriman. Menjadi media penyalur cinta Allah pada sesama. Sehingga pertemuan yang terjadi adalah melulu dalam rangka mewartakan dan menawarkan cinta Allah pada sesama.

Penulis Adalah Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta

Tidak ada komentar: