Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

11 Oktober 2009

Hak Asasi di Indonesia (Setelah 10 Tahun Reformasi)

Kejatuhan rezim Soeharto sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun, tapi ternyata tak ada perubahan yang substansial bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Ketika sejumlah negara tetangga yang juga terlanda krisis Asia pada pertengahan 1997 telah bangkit, Indonesia masih berkutat dengan berbagai krisis multidimensional.

Barangkali kita memang perlu melihat sejauh mana kemajuan selama proses reformasi di Indonesia selama ini. Khususnya sejauh mana Indonesia telah membuat banyak catatan yang mengesankan di bidang hak-hak asasi manusia (HAM). Pertanyaan ini memang mendesak untuk dijawab, terutama karena ada banyak pihak berpendapat bahwa proses reformasi ternyata mengalami kemandekan.

Upaya pengusutan pelanggaran HAM berat mengalami kemacetan. Masyarakat bisa melihat upaya pengusutan Peristiwa Trisakti-Semanggi I-Semanggi II, Peristiwa Wamena-Wasior, Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, dan terakhir adalah Peristiwa Talangsari 1989 yang berkali-kali dikembalikan oleh pihak Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM. Pihak Kejaksaan Agung menyatakan tak bisa melakukan penyidikan karena belum ada penetapan pengadilan HAM ad hoc oleh parlemen. Ketidakmampuan penuntasan masalah HAM dengan adanya impunitas bagi para pelakunya telah menimbulkan pertanyaan menyangkut keseriusan pemerintah.

Menteri Pertahanan Dr. Yuwono Sudarsono secara nyata menyatakan pihaknya akan melindungi para mantan jendral dari upaya pemeriksaan oleh Komnas HAM. Ia menyatakan bahwa konstitusi Indonesia menjamin kepada siapapun untuk tak bisa dikenai asas retroaktif. Retroaktif adalah sifat Hukum dimana ia berlaku surut sejak diundangkan. Ia tak faham bahwa dalam kasus pelanggaran HAM berat para pelakunya bisa dikenai perkecualian, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma yang telah diadopsi dalam UU No 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM.

Agenda Pemajuan HAM di Indonesia
Agenda pemajuan dan penegakan HAM sebetulnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998 ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Piagam HAM bagi negeri Indonesia, melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu belum diubah.

Baru pada 1999 dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan bagi jaminan penghormatan, perlindungan, dan pemajuan HAM, serta landasan keberadaan Komnas HAM yang semula keberadaannya hanya berdasarkan Keputusan Presiden. Satu tahun setelah itu, berhasil pula ditetapkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang mengatur mekanisme hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Upaya lebih mendasar dan sangat monumental untuk menjamin perlindungan dan penegakan HAM, adalah melalui Perubahan UUD 1945. Perubahan konstitusi mengenai hak asasi manusia dibahas dan disahkan pada 2000, yaitu pada perubahan ke dua UUD 1945. Perubahan tersebut menghasilkan ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, yang semula hanya terdiri dari tujuh butir ketentuan, yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan konstitusional hak asasi manusia, sekarang telah bertambah secara sangat signifikan, yaitu menjadi 37 butir ketentuan.

Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 secara khusus diatur dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, mulai Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal lainnya dalam UUD 1945. Karena itu, perumusan tentang hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia saat ini dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu konstitusi di dunia yang paling lengkap memuat ketentuan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Sejak reformasi berbagai produk hukum dilahirkan memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, UU ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial.

Dari sisi politik, selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, kita bersama telah menyaksikan rakyat Indonesia telah menikmati kebebasan politik yang luas. Empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, yang vital bagi bekerjanya sistem politik dan pemerintahan demokratis telah dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Melalui berbagai media hampir semua lapisan rakyat Indonesia sudah dapat mengekspresikan perasaan dan pendapatnya tanpa rasa takut atau was-was seperti pada jaman Orde Baru. Rakyat Indonesia relatif bebas mengkomunikasikan gagasan dan informasi yang dimilikinya. Rakyat menikmati pula hak atas kebebasan berkumpul. Pertemuan-pertemuan rakyat, seperti, konferensi, seminar, rapat-rapat akbar tidak lagi mengharuskan meminta izin penguasa seperti di masa Orde Baru.
Perorangan atau kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, seniman, dan lain sebagainya yang ingin melakukan demonstrasi atau unjuk rasa di depan kantor atau pejabat publik tidak memerlukan izin, tapi sebelum menjalankan unjuk rasa diwajibkan untuk memberitahu polisi.

Sudah hampir sepuluh tahun terakhir ini rakyat Indonesia menikmati pula kebebasan berorganisasi. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan partai-partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikian organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti serikat petani, serikat buruh, perkumpulan masyarakat adat, dan lain sebagainya. Perwujudan hak atas kebebasan berorganisasi ini sangat vital bagi upaya rakyat untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Selain itu, tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.

Selama hampir sepuluh tahun terakhir ini rakyat Indonesia telah pula menikmati hak politiknya, yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan di mana rakyat berperan serta memilih secara langsung para anggota DPR dan DPRD pada tahun 1999 dan tahun 2004. Pada tahun 2004 untuk pertama kali rakyat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya rakyat di propinsi dan di kabupaten, serta kotamadya memilih langsung Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sebelum ini belum pernah ada preseden perwujudan hak atas kebebasan politik dalam sejarah Indonesia.

Persoalan HAM di Indonesia

Namun demikian, kebebasan politik yang membuka jalan bagi terpenuhinya empat kebebasan dasar tersebut di atas, belum dinikmati oleh kelompok minoritas agama, termasuk kelompok minoritas dalam suatu agama. Para pemeluk agama-agama minoritas, seperti, kaum Bahai, penganut agama/aliran kepercayaan tetap diperlakukan secara khusus berbeda atau didiskriminasi oleh negara. Sejumlah daerah juga memberlakukan perda bermuatan syariah yang sangat bertentangan dengan konsep penghormatan kepada hak asasi manusia.

Demikian pula kelompok minoritas dalam agama, misalnya Ahmadiyah terus mengalami diskriminasi dan pengawasan oleh negara. Selain itu, kelompok minoritas politik, seperti, mantan tahanan/narapidana politik PKI atau yang didakwa anggota atau simpatisan PKI dan partai-partai kiri terus mengalami pengingkaran hak-hak politik mereka oleh negara.

Gagasan politik revolusioner kiri atau komunisme, dan gagasan negara Islam, dan para pendukung gagasan-gagasan tersebut tetap terus diwaspadai dan dicurigai oleh sebagian masyarakat dan pemerintah. Kebijakan pemerintah melalui Kejaksaan Agung yang tetap melarang beredarnya sejumlah buku yang di nilai menyebarkan gagasan dan ajaran kiri, serta kebijakan Mendiknas yang menarik dari peredaran buku pelajaran sejarah yang di revisi, berkenaan dengan Peristiwa G30S, menunjukkan kewaspadaan dan kecurigaan penguasa terhadap gagasan atau pendapat yang berbau kiri yang dinilai radikal. Sikap dan pandangan penguasa ini jelas akan memberikan pengaruh negatif pada kondisi perwujudan hak sipil dan politik di Indonesia.

Upaya Komnas HAM untuk mengungkap pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi sebagai buntut dari Peristiwa G30S juga selalu menemui jalan buntu dan menghadapi berbagai ancaman dari kelompok militer dan sejumlah organisasi massa Islam. Sejumlah teror dan camanan, juga demonstrasi telah diarahkan kepada Komnas HAM dan para komisioner sehubungan dengan pembentukan Tim Ad Hoc Kejahatan 1965. Sejumlah mantan jendral dan pejabat pemerintah secara nyata juga menlakukan upaya untuk menghalangi penyelidikan Komnas HAM sehubungan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Kebebasan politik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia ternyata juga tak diimbangi dengan perlindungan hukum yang semestinya bagi hak-hak sipil, seperti, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas pengakuan pribadi di depan hukum, dan larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian. Dari berbagai daerah, seperti, Poso, Lombok, Papua, juga Jakarta, dan tempat-tempat lain di Indonesia, dilaporkan masih terjadi kekerasan horisontal yang melibatkan unsur-unsur polisi dan militer. Penganiayaan dilaporkan masih terus di alami oleh kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, masyarakat adat, kelompok minoritas agama, dan para mahasiswa.

Parahnya lagi, dalam hampir setiap peristiwa kekerasan horisontal, aparat keamanan, seperti polisi seolah-olah tidak berdaya melindungi kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kekerasan tersebut. Laporan-laporan HAM yang dikeluarkan oleh LSM dan PBB menyatakan, penyiksaan masih terus terjadi di pusat-pusat penahanan di kepolisian. Selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, Sistem hukum dan jajaran aparaturnya, seperti, polisi, jaksa, dan hakim tidak mampu menjawab secara semestinya kasus-kasus kekerasan horisontal dan vertikal yang melibatkan aparat polisi dan atau tentara.

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti, kasus pembunuhan, penculikan, penahanan sewenang-wenang terhadap ratusan ribu orang yang disangka mempunyai kaitan dengan PKI, kasus Talangsari, dan lain sebagainya sampai hari ini belum memperoleh penanganan yang adil. Mereka yang diduga keras terlibat melakukan pelanggaran HAM berat (Kejahatan terhadap Kemanusiaan) tetap bebas berkeliaran tanpa pernah tersentuh oleh hukum.

Kalaupun ada sejumlah pelaku pelanggaran HAM yang diajukan ke pengadilan, biasanya para terdakwa itu akan dikenakan pasal pidana ringan, misalnya, antara lain, kasus penembakan para petani oleh Polisi, di Manggarai, biasanya para terdakwa itu akan dikenakan pasal pidana ringan, dan akhirnya dikenakan hukuman ringan, antara 1, 2 tahun atau beberapa bulan saja, atau bahkan dibebaskan sama sekali, seperti, dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur pasca jajak pendapat 1999, dan kasus Tanjung Priok 1984.

Hal inilah yang kemudian menjadi budaya pembiaran (culture of impunity) yang terus menjangkiti sistem hukum dan aparaturnya, seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, terutama ketika aparat penegak hukum harus menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan polisi dan tentara. Budaya pembiaran inilah yang melumpuhkan setiap upaya penegakan hukum. Budaya impunity itu bila dibiarkan terus berkembang dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan menghancurkan kedaulatan hukum, dan pada gilirannya akan menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri.

Kejahatan terorisme yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Jemaah Islamiyah telah menimbulkan korban, berupa hilangnya nyawa manusia, dan hancurnya harta benda miliknya. Kejahatan terorisme telah menimbulkan rasa takut dan tidak aman yang relatif luas di kalangan masyarakat sipil. Pada sisi yang lain kejahatan terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU Anti-Kejahatan Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum Acara Pidana biasa.

Di bawah UU Anti Kejahatan Terorisme itu, polisi dengan mengesampingkan perlindungan hak sipil yang diatur di bawah hukum acara pidana biasa, dengan mudah dapat melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan terhadap siapa saja yang diduga menjadi bagian dari jaringan aktivitas terorisme. Pelaksanaan UU baru ini telah memberikan dampak buruk bagi hak-hak sipil meskipun belum tentu berdosa, namun karena dicurigai mempunyai hubungan dengan pelaku kejahatan terorisme, bisa mengalami penangkapan, penahanan, kekerasan, penyiksaan, dan pemeriksaan. Keadaan ini jelas memperburuk kondisi hak sipil dan politik. Karena itu, Komnas HAM bersama Komnas-HAM se Asia Pasifik, mendesak agar negara-negara Asia Pasifik tetap tegas dalam memberantas kejahatan terorisme, namun pemberantasan kejahatan itu harus dilakukan dengan mengindahkan hukum HAM.

Selain itu reformasi sektor keamanan juga masih menyisakan sejumlah persoalan. Satu-satunya institusi keamanan yang sudah mereformasi adalah institusi kepolisian. Reformasi militer belum sepenuhnya berhasil diwujudkan. Yang lebih parah adalah lembaga intelijen sama sekali belum tersentuh proses reformasi. Upaya penyusunan UU Intelijen dibaca oleh sejumlah kalangan sebagai bagian dari campur tangan asing untuk memperlemah negara kesatuan Republik Indonesia.

Pemenuhan Hak Ekosob Belum mendapat Perhatian
Pemerintah Indonesia pada 2005 telah meratifikasi dua kovenan internasional yang penting, yaitu Kovenan Internasional Mengenai Hak Sipil Politik (International Covenan on Civil and Political Rights, ICCPR) menjadi UU No 12 Tahun 2005 dan International Covenan on Culture, Social, and Economic Rights (ICCSER) menjadi UU No 11 Tahun 2005. Namun pada tataran implemantasi, pemenuhan hak ekosob tak semaju hak sipol. Padahal sesungguhnya hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial, budaya, tidak dapat dipisahkan.

Jajaran birokrasi pemerintah tak banyak memahami hak EKOSOB. Kekaburan dan ketidakpastian isi dari hak ekosob selain menyulitkan dalam implementasinya, juga berpotensi untuk dipakai sebagai rasionalisasi atas tidak diakuinya sejumlah hak sebagai hak asasi, yang berdampak pada tidak terealisirnya sejumlah hak ekosob. Kondisi pemenuhan hak EKOSOB di Indonesia bisa jadi mengindikasikan bahwa hak EKOSOB masih cenderung dipandang lebih sebagai tujuan/cita-cita yang hendak dicapai ketimbang sebagai hak asasi yang harus dijamin pemenuhannya dalam kondisi apapun.

Selain amandemen UUD’45 dan ratifikasi ICCSER, beberapa undang-undang terkait dengan hak EKOSOB.
Hal ini secara tidak langsung didorong atau dipaksa oleh Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) periode 1998-2003 yang dibuat presiden Habibie dan RANHAM periode 2004-2009 yang dibuat presiden Megawati.

Harapan besar akan adanya kemajuan kondisi hak asasi di era reformasi muncul ketika pemerintahan SBY-Kalla menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006. Dalam RPJMN disebutkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Salah satu hak dasar yang dimaksud adalah jaminan rasa aman serta partisipasi masyarakat (miskin) dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan. Selanjutnya dalam RKP 2006 dinyatakan bahwa kebijakan pemerintah akan lebih diarahkan pada upaya pemantapan dan pengembangan berbagai regulasi dan program yang memiliki dampak luas terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar masyarakat miskin. Sebagai salah satu implementasinya, kebijakan penanggulangan kemiskinan difokuskan pada perwujudan keadilan dan kesetaraan gender serta pengembangan wilayah melalui percepatan pembangunan perdesaan, pembangunan perkotaan, percepatan pembangunan kawasan pesisir, dan percepatan pembangunan kawasan tertinggal.

Dari adanya perkembangan di bidang produk hukum terkait dengan hak asasi kita bisa menilai bahwa secara normatif ada kemajuan di bidang Hak EKOSOB sepanjang 10 tahun reformasi. Namun kemajuan normatif yang dicapai pemerintah di era reformasi ini melahirkan pertanyaan besar terkait dengan implementasinya. Kemajuan normatif itu menjadi tidak bermakna ketika tidak disertai dengan perubahan signifikan dalam tataran implementasinya.

Sejak otonomi daerah diberlakukan di Indonesia, pelanggaran hak EKOSOB yang dilakukan dengan kekerasan oleh aparat pemda – khususnya Satpol PP, atas nama ketertiban, semakin meluas di berbagai kota di Indonesia. Satpol PP mendapatkan peran penting dalam penegakan peraturan daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, (Satpol PP). Dalam praktek, pemerintah daerah, khususnya pemerintah kota menggunakan Satpol PP lebih untuk memerangi dan mengusir kelompok miskin dan pekerja sektor informal (pedagang kaki lima, pengasong, pengamen, dan pekerja lainnya) dari kota. Pengusiran ini dilakukan dengan cara-cara kekerasan.

Tindak kekerasan yang dijalankan Satpol PP atas nama keindahan dan ketertiban kota kini telah menjadi teror, khususnya bagi warga miskin dan para pekerja di sektor informal. Bahkan kekerasan ini telah membawa korban nyawa. Penggusuran dan ancaman kehilangan hak atas pekerjaan dan kehidupan tidak hanya dialami kelompok miskin di perkotaan, tetapi juga para petani di pedesaan.

Selain itu juga ada catatan terhadap adanya kebijakan-kebijakan yang potensial melahirkan kekerasan terhadap petani. Adanya kebijakan tentang bahan bakar nabati membuat komoditas-komoditas seperti kelapa sawit, kedelai, singkong, jagung sekarang kini ditanam bukan untuk kepentingan pangan tetapi untuk agrofuel (biofuel). Akibatnya adalah naiknya harga minyak goreng sepanjang tahun 2007 yang mencapai 35%, kerusakan lingkungan yang makin meluas, dan potensi penggusuran yang menambah konflik agraria di pedesaan.

Perluasan kebun kelapa sawit yang sangat ekspansif saat ini mencapai 6 juta ha lebih. Kebijakan pemerintah di bidang agraria pada akhirnya kontradiktif dengan program pembaharuan agraria yang hendak dicapai pemerintahan SBY-Kalla. Yang terjadi bukanlah pembaharuan agraria tetapi sebaliknya, meluasnya konflik agraria yang potensial melanggar hak petani.

Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan dan akses atas hak EKOSOB. Antara lain hak EKOSOB masih cenderung dipandang sebagai hak yang tidak justiciable atau tidak dapat dituntut di pengadilan. Masih ada kesesatan cara pandang, di mana hanya hak sipik politik yang dilanggar, dapat diberi upaya penyelesaian dan yang dapat diselidiki menurut hukum internasional. Hak ekosob masih sering digambarkan sebagai hak “kelas dua” (hak yg tidak dapat ditegakkan, tidak dapat disidangkan dan hanya dapat dipenuhi secara bertahap). Dalam Kovenan memang tercantum ketentuan bahwa pelaksanaan pemenuhan hak EKOSOB dilakukan secara bertahap. Selain itu, mekanisme monitoring hak ekosob di tingkat internasional juga masih lemah karena belum ada mekanisme komplain/pengaduan terhadap pelanggaran hak EKOSOB. Kondisi ini membuat interpretasi legal atau judicial atas penerapan dan penanganan pelanggaran hak EKOSOB masih lemah/terbatas.

Hal lainnya adalah semakin melemahnya peran pemerintah dalam pemenuhan hak EKOSOB. Pemenuhan hak atas pangan, misalnya, pada kenyataannya melibatkan beragam fungsi kelembagaan, mulai dari sistem produksi, distribusi, harga, informasi dan penanggulangan kemiskinan secara umum. Proses untuk mendapatkan pangan bukan sekadar suatu proses transaksi sederhana antara pasar dan individu-individu, melainkan suatu sistem pangan yang kompleks, yaitu proses interaksi yang melibatkan banyak pelaku. Proses ini dimulai dari hak atas tanah dan produksi pangan, pemasaran pangan, pelabelan produk dan keamanan pangan. Dari seluruh proses mendapatkan pangan ini, aktor yang terlibat bukan hanya pemerintah sebagai badan publik melainkan juga lembaga privat atau korporasi. Hal yang sama terjadi pada hak atas pendidikan, hak atas kerja, hak atas pelayanan kesehatan, perumahan, dan lainnya.

Di era liberalisasi ekonomi, peran pemerintah dalam pengambilan keputusan terkait dengan pemenuhan hak EKOSOB kian melemah. Peran ini telah banyak diambil alih oleh sektor privat atau korporasi. Akibatnya, menjadi tidak jelas lagi siapa yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak ECOSOB. Benar bahwa dalam sistem hukum internasional negaralah yang bertanggungjawab, namun de facto pengambil keputusan dalam berbagai masalah yang terkait dengan pemenuhan hak EKOSOB tidak lagi hanya ada pada negara. Dulu pemerintah masih berperan dalam menyediakan pekerjaan, menentukan harga pangan, menyediakan pendidikan murah, dan lainnya. Kini, peran itu semakin melemah atau bahkan tidak lagi bisa dijalankan secara efektif oleh pemerintah. Kian lemahnya peran pemerintah dalam menjamin penegakan hak EKOSOB membuat ratifikasi Kovenan Hak EKOSOB menjadi tak ubahnya seperti pepesan kosong.

Pemenuhan hak EKOSOB sebetulnya terkait erat dengan komitmen pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan. Komitmen ini menuntut perubahan mendasar dalam kebijakan pembangunan, di mana kebijakan penanggulangan kemiskinan dan realisasi hak ekonomi, sosial, budaya menjadi kebijakan sentral dalam pelaksanaan pembangunan. Segenap struktur dan proses yang mempengaruhi distribusi dan redistribusi pendapatan – termasuk ketersediaan lapangan kerja, perbedaan upah dan gaji, struktur perpajakan – dan alokasi sumberdaya ekonomi, termasuk distribusi lahan, kontrol atas sumberdaya produktif, pasar dan struktur harga, kebijakan makroekonomi, ketersediaan dan akses atas pelayanan publik dan jaminan sosial, dipertimbangkan dan diatur dalam kerangka pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya.

Di Indonesia ada banyak hambatan untuk mewujudkan perubahan mendasar dalam orientasi pembangunan menjadi lebih berperspektif hak asasi. Hambatan itu di antaranya adalah kekuasaan tidak lagi hanya ada di tangan negara tetapi telah banyak berpindah ke tangan korporasi (multinasional) dan lembaga-lembaga internasional macam IMF, Bank Dunia, WTO, dan lainnya. Faktor penghambat lain adalah tingginya praktek KKN di jajaran badan publik yang dikelola pemerintah.

Kedua hal tersebut mempengaruhi orientasi kebijakan pembangunan nasional sedemikian rupa sehingga kebijakan pembangun yang dijalankan pemerintah selama ini bukan hanya tidak berdampak dalam mengatasi kemiskinan tetapi justru memperluas kemiskinan. Hal ini diperparah dengan kebijakan pembangunan yang lebih banyak memberi ruang bagi pemodal besar cenderung telah banyak mengorbankan hak-hak dasar kelompok miskin. Ini tampak dari kebijakan tentang tata ruang, pertanahan, kehutanan, air, dan lainnya yang condong berpihak pada kepentingan pemodal besar. Kebijakan pembangunan yang cenderung berdimensi tunggal (dimensi ekonomi), telah berdampak pada kerusakan alam yang menimbulkan bencana terus menerus. Bencana ini kian memperluas kemiskinan dan pemiskinan masyarakat miskin.

Selain itu kebijakan pembangunan daerah di era otonomi yang condong berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), cenderung mengabaikan pemenuhan hak dasar warga, khususnya kelompok miskin. Orientasi pada peningkatan PAD berdampak pada komersialisasi pelayanan publik dan alokasi anggaran ke sektor-sektor yang bersifat komersial. Kebijakan alokasi anggaran yang ada kurang berpihak pada yang miskin. Alokasi anggaran cenderung lebih berorientasi kepada pejabat/birokrat atau pemborosan untuk bayar hutang, ketimbang memberikan alokasi anggaran untuk memperbaiki nasib orang miskin.

Namun faktor penghambat paling dominan adalah masih ada hambatan mendasar dalam pelaksanaan hak EKOSOB dalam bentuk lemahnya pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah terhadap hak asasi, khususnya hak EKOSOB. Ada banyak pejabat pemerintah dalam pidato-pidato mereka menyatakan bahwa bukan hanya hak asasi yang melekat pada setiap orang, melainkan juga kewajiban asasi. Mereka ini tak pernah tahu bahwa pemangku kewajiban asasi itu adalah tanggungjawab negara sepenuhnya (state obligation).

Indonesia Under Soeharto dan Realitas Kini
Ketika Indonesia berada di bawah Soeharto, “orang kuat” ini mampu menggerakkan ekonomi Indonesia yang sudah terpuruk di bawah Sukarno. Ekonomi dibenahi satu per satu sehingga mampu bangkit lagi, kebetulan didukung oleh oil boom pada era tahun 1970-an. Tapi sudah sejak awal nampak bahwa Soeharto menjalankan kekuasaannya lewat personal rule, dengan mengandalkan kekuasaan yang digenggamnya melalui Kopkamtib.

Soeharto membagi-bagikan kemurahan hatinya kepada semua orang yang mau menjilatnya. Suasana “ABS” atau “asal bapak senang” lekat pada setiap instansi pemerintah dan pegawai negeri. Malah ada seorang menteri yang terkenal dengan ucapannya “atas petunjuk Bapak Presiden.” Hal ini tidak hanya berlaku untuk pegawai negeri, tetapi juga angkatan bersenjata (ABRI) yang benar-benar telah menjadi pengawal pribadinya daripada pengawal dan pembela tanah-air. Yang lebih mencengangkan lagi adalah bahwa pengusaha swasta juga berebut untuk bisa “dekat” dengan Soeharto dan menikmati kemurahan hatinya. Dalam banyak literatur ilmiah, praktik ini sering dinamakan crony capitalism.

Dalam kerangka ini, jangan ada orang atau pihak yang berani menghadang keinginannya. Sejumlah jendral yang berani berpendapat berbeda, membantah atau mengritik, pasti akan disingkirkan. Bahkan orang-orang yang pernah berjasa sekalipun, kalau dia dianggap berbahaya, akan dipecat. Apalagi “orang biasa” yang tidak pernah punya hubungan dengan Soeharto. Media massa diberangus dan dikekang, beberapa ditutup karena “terlalu berani.”
Soeharto secara perlahan berhasil memunculkan diri sebagai penjaga stabilitas, dan dalam stabilitas ini dia menggerakkan ekonomi Indonesia melalui slogan yang dikenal Trilogi Pembangunan. Terjadi “keajaiban ekonomi” yang membuat Indonesia dipuji oleh World Bank sebagai akan menjadi “macan Asia”. Hal ini membuat orang percaya bahwa ada hubungan erat antara stabilitas dan sukses ekonomi. Tapi ini sebenarnya persoalan pada cara mengukur. Kalau dibandingkan dengan jaman Sukarno, apa yang dicapai oleh Soeharto adalah sukses besar. Tetapi kalau dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura, maka Indonesia dengan sumberdaya alam yang sedemikian kaya dan sumberdaya manusia yang melimpah, Soeharto dapat dikatakan gagal. Seandainya Soeharto tidak korupsi, Indonesia pasti lebih maju daripada sekarang.

Tapi inilah kelihaian Soeharto yang oleh Olson disebut sebagai “stationary bandit.” Dia memang tidak menguras habis kekayaan Indonesia, tetapi juga tidak mengembangkannnya. Ia membiarkan Indonesia ada pada tingkat tertentu yang cukup bagi penduduk untuk berusaha dan cukup untuk dikuras. Maka Indonesia memang maju, tetapi tidak akan pernah maju sampai ke titik maksimal. Tidak mungkin seorang stationary bandit mengembangkan wilayah yang dikuasainya semata-mata karena dia terus-menerus menarik pungutan. Sebaliknya benar juga, Indonesia juga tidak akan dibiarkan habis, karena ia tetap merupakan sumber penghasilan dan pendapatan Soeharto dan keluarganya.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah setelah kita menjalankan reformasi yang ditegakkan atas dua pilar – demokrasi dan pasar bebas – semestinya reformasi berjalan mulus? Keganjilan ini dapat diterangkan secara sederhana oleh Mancur Olson. Olson juga bertanya tentang reformasi, tetapi reformasi di Rusia: mengapa setelah runtuhnya rejim represif, bukan kesejahteraan yang muncul, tetapi malah kelompok preman? “The lifting of the iron curtain revealed something else that the developed nations of the West, whether they had been winners or losers in World War II, did not expect to see: an extraordinary amount of offical corrupion and Mafia-style crime. Sama seperti kita di Indonesia, reformasi di Rusia juga dijalankan dengan memakai program demokratisasi dan pasar bebas.

Sampailah ke titik yang menentukan yaitu krisis finansial global pada tahun 1997. Krisis ini menghancurkan ekonomi Indonesia dan sekaligus juga politiknya. Soeharto masih mencoba bertahan lewat pemilu 1998, tetapi pemilu ini tidak berhasil mengangkat legitimasinya. Ketika Soeharto jatuh, orang pun bernafas lega, percaya bahwa inilah akhir dari zaman gelap dan awal dari zaman terang. Dikira bahwa lengsernya Soeharto akan sekaligus membersihkan Indonesia dari konco-konco-nya dan kroni-kroninya untuk selama-lamanya. Ternyata perkiraan ini meleset. Soeharto memang jatuh, tetapi kroni-kroninya tidak, malah menjelma menjadi roving bandits.

Masalahnya, begitu krisis finansial menimpa Indonesia, IMF masuk dan dari perundingan dengan IMF inilah Indonesia harus menjalankan free market dan free trade secara radikal. Negara harus benar-benar menyingkir dari ekonomi, suatu hal yang terus dipraktekkan Indonesia sepanjang “Orde Baru.” Aneka macam monopoli diperintahkan oleh IMF untuk dibubarkan, sehingga kompetisi menjadi lebih nyata. Berbarengan dengan itu juga diterapkan sistem multi-partai dengan pemilihan umum, dan disusul dengan sistem otonomi daerah (provinsi dan kabupaten). Sistem yang lebih dikenal dengan nama “demokrasi prosedural” ini pada dasarnya membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kekuasaan otoriter Soeharto, tetapi sekaligus juga menciptakan banyak aktor dalam perpolitikan Indonesia. Aktor-aktor ini – entah yang tergabung dengan partai politik ataupun yang tidak – belajar bagaimana memanipulasi pemilu, lalu dari kekuasaan yang mereka raih mereka dapat membayar utang pemilu lalu membawa untung dalam kantongnya. Begitu tidak menentunya sistem demokrasi, membuat para aktor ini memakai kesempatan sebaik-baiknya.

Free market dan demokrasi bertujuan luhur, membebaskan individu dari kontrol-kontrol yang tidak perlu. Tapi keduanya juga merupakan modus yang dapat dipakai dan dimanfaatkan dengan cerdik oleh “pengusaha hitam” dan “politisi busuk”. Pasar membuka peluang untuk berkompetisi dengan fair atau tidak dengan fair, tapi pengusaha hitam pasti akan memakai pasar secara tidak fair (monopoli, kartel, dan sebagainya).

Demokrasi pada prinsipnya menganut pola pasar, para politisi dan partainya menjual produk mereka pada saat pemilu, dan para pemilih membelinya. Karena demokrasi itu seperti pasar, maka para politisi merasa telah selesai tugasnya pada saat dia telah memperoleh kursi (eksekutif ataupun legislatif). Memang mereka harus mempertanggungjawabkan kepada konstituen (ini bedanya dari pasar barang), tetapi mereka tidak peduli dengan konstituen karena tahu akan sulit bagi mereka untuk terpilih kedua kalinya.

Jadi, Indonesia pada saat ini sedang dikuasai oleh roving bandits, persis sama dengan yang terjadi di Rusia sebagaimana dianalisis Olson. Ketika stationary bandits disingkirkan, muncullah roving bandits yang menguasai daerah-daerah maupun wilayah kekuasaan lain. Mereka nyaris mengabaikan kendali oleh pusat, bergerak sendiri sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Datangnya otonomi daerah sejak 1999 telah memberi sumbangan signifikan bagi meluasnya roving bandits ini. Semua politisi – di tingkat nasional, tapi lebih-lebih di tingkat daerah – sadar bahwa kesempatan mereka untuk terus duduk di kursinya hanya sekali itu saja karena sistem demokrasi yang menuntut rotasi. Daripada memanfaatkan masa baktinya secara optimal, mereka mendapatkan insentif untuk menjalankan penjarahan, bahkan bumi hangus. Parlemen Indonesia atau DPR sudah menjadi “sarang koruptor”.

Dari kombinasi ini korbannya dapat diduga, yaitu orang-orang biasa, kelompok marginal yang ada di luar “pasar”. Rakyat menemukan diri sebagai yang terpinggirkan. Pengangguran mencapai 40% dari angkatan kerja, Bank Dunia menyatakan sebanyak 49,5% penduduk Indonesia berpendapatan kurang dari Rp 18.000 per hari. Angka kriminalitas meningkat tajam, sehingga penjara-penjara di banyak kota di Indonesia kelebihan penghuni. Penyakit jiwa meningkat berlipat-lipat. Rakyat Indonesia ini benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pusaran pasar, tiba-tiba minyak goreng hilang, kedelai meningkat, elpiji membubung tinggi, dan tentu saja harga BBM yang memporak-perandakan ekonomi di seluruh dunia. ***

Penulis adalah alumni Fakultas Teknik Elektro, Universitas Kristen Satya Wacana, kini komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Tidak ada komentar: