Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

07 Oktober 2009

Solo Batik Carnival, Gebraklah Publikasi Dunia Maya



Pebisnis batik Solo, pelajari fenomena kasus Prita Mulyasari. Satu email curhat-nya atas layanan RS Rumah Sakit Internasional Omni, membuat ia ditahan selama 20 hari. Tetapi segera kasus kontroversial yang menyinggung rasa keadilan itu memicu gelombang protes yang dahsyat. Semula hanya berupa bisik-bisik di dunia maya, tetapi akhirnya menggelembung, hingga mampu menghasilkan efek publikasi yang luar biasa. Ribuan orang menulis di blog, bertukar komentar di forum, milis, dan bahkan ratusan ribu orang sengaja bergabung dalam cause di Facebook untuk menuntut pembebasan Prita. Ibaratnya mereka berdemo dan ber-gethok tular di dunia maya yang akhirnya mendorong kasus tersebut dapat dibedah dan diletakkan dalam proporsinya. Kasus Prita vs Omni di atas menunjukkan kedahsyatan media sosial, yang dapat hadir dalam beragam bentuk, misalnya milis, forum, blog, wiki, podcast, album foto dan video di Internet. Media sosial berbeda dibanding media industri seperti surat kabar, televisi dan film. Kalau media industri membutuhkan biaya besar dan sumber daya mahal untuk menerbitkan informasi, media sosial menyediakan sarana murah bagi setiap orang untuk menjadi produser informasi. Fenomena ini membalikkan konsep media massa menjadi menciptakan media untuk massa. Setiap orang kini dengan bersenjatakan sarana penerbitan berbasis web yang murah, mudah dikelola, dengan koneksi yang selalu tersambung dan semakin canggihnya sarana komunikasi bergerak, mendaulat mereka menjadi partisipan yang aktif dalam menciptakan berita atau informasi, sekaligus berperan dalam penyebarannya. Warga terlibat. Merujuk kepada kemampuan media sosial tersebut, pebisnis batik Solo, Pemkot Solo dan semua pemangku kepentingan terkait penyelenggaraan acara tahunan Solo Batik Carnival (SBC) yang tahun ini akan digelar 26-28 Juni 2009, kini saatnya membuat terobosan baru. Yaitu secara terencana sengaja melibatkan warga untuk menjadi corong suara ke persada dunia dengan memanfaatkan media-media sosial yang ada. Aktivitas SBC kemudian tidak hanya terpusat kepada persiapan bagi peserta arak-arakannya semata. Melainkan harus juga menjangkau kepada warga yang dimotivasi sampai dilatih secara cerdas untuk tampil menjadi penerbit informasi di dunia maya tentang semua aspek SBC yang terjadi. Untuk aksi satu ini kita dapat meneladani langkah yang ditempuh oleh UNS Sebelas Maret. Ketika cita-cita UNS ingin masuk dalam jajaran universitas kelas dunia, yang antara lain dinilai dari frekuensi dan akumulasi penerbitan sivitas akademikanya di dunia maya yang tercatat dalam mesin pencari Google, UNS telah memacu seluruh warganya untuk menjadi blogger, alias menjadi penerbit di dunia maya. Terus berdengung. Para pemangku kepentingan terkait SBC harus melakukan strategi serupa. Bahkan gerakan memobilisasi publikasi itu harus dilakukan secara sinambung. Sebelum, selama dan sesudah peristiwa budaya tersebut paripurna dilaksanakan. Sehingga peristiwa ini selalu menjadi buzz, berdengung senantiasa di dunia maya. Ketika karnaval SBC berjalan, saya membayangkan kejadian menakjubkan seperti dikisahkan oleh ahli strategi Internet, John Blossom, asal AS. Dalam situs yang menyertai penerbitan bukunya, Content Nation : Surviving and Thriving as Social Media Changes Our Work, Our Lives, and Our Future (2009), ia bercerita tentang suasana peristiwa olah raga terakbar di Amerika Serikat, yaitu final kejuaraan Super Bowl XLIII awal Februari 2009 yang lalu. Kiprah ribuan penonton yang sekaligus “wartawan” itu, dengan bersenjatakan media jaringan sosial Facebook dan microblogging Twitter, menjadi fenomenal adanya. John Blossom menulis : “Di tengah kerumunan itu stadion riuh berhias pendar-pendar nyala layar telepon genggam. Puluhan ribu warga biasa mengirimkan video, audio, foto dan pesan-pesan pendek kepada rekan-rekan mereka sebagai bagian integral peristiwa itu melalui sarana telepon genggam mereka. (Fenomena ini) menegaskan betapa penerbitan melalui media sosial telah menjadi bagian dari selebrasi diri kita sebagai umat manusia.” Solo Batik Carnival pasti juga merupakan bagian dari selebrasi warga Solo atas batik sebagai karya kebanggaan budaya mereka. Saya memimpikan dan membayangkan betapa dahsyat bila rasa bangga itu, baik sebagai pelaku sampai sebagai saksi dari arak-arakan megah yang mempertontonkan karya kreatif dalam karnaval SBC itu, dapat secara masif mereka ceritakan secara bersama-sama kepada dunia. Tujuan akhirnya : Solo yang lebih kuncoro bukankah mampu mendatangkan maslahat bagi seluruh warganya ?
[Catatan : Tulisan ini dengan penyuntingan oleh redaksi telah dimuat di Harian Solopos, Senin, 22 Juni 2009].
Wonogiri, 20-22 Juni 2009 ee

Tidak ada komentar: