Pro kontra dalam sebuah perhelatan adalah suatu kewajaran. Apalagi dengan event seakbar Festival Film Indonesia . "Dan sejak dulu selalu ada pro kontra di festival. Sebenarnya FFI juga merupakan kompetisi di tengah-tengah ragam penghargaan, ada MTV Movie, misalnya dan yang lain-lain. Semakin banyak festival dalam satu negara semakin bagus, karena tiap ajang akan mempunyai kriteria yang berbeda," papar Garin Nugroho dalam acara Diskusi Film "Jadikan FFI Milik Kita Bersama" di Gedung Film, (24/9).
Namun sebagai sebuah kegiatan yang diidam-idamkan oleh pelaku film tiap tahunnya untuk mendapatkan satu referensi karya, FFI diharap bukan hanya menjadi kegiatan ngobrol dan temu tahunan untuk orang-orang film tertentu. "Kerap kali yang membuat saya kecewa adalah ketentuan-ketentuan yang seringkali berubah yang akhirnya tidak memberikan konsistensi dalam pemikiran antara pelaku dan pembina, di mana pemikiran pihak pembina ingin diterapkan untuk menilai baik dan buruk tanpa memikirkan bahwa pelaku film dan juga masyarakat penonton film nasional mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan produk yang baik, bermoral tinggi, mendidik, dan juga memiliki nilai hiburan yang sehat," ujar Garin panjang.
Garin menunjuk piala ANTEMAS, di tahun-tahun sebelumnya diberikan sebagai penghargaan untuk film yang menghasilkan penonton terbanyak. Namun sistem tersebut diubah menjadi film yang layak untuk memperoleh penghargaan adalah film yang masuk dalam nominasi. Hal ini membuktikan bahwa pembina membenarkan bahwa pemikiran merekalah paling tepat.
Hal paling fatal dalam pandangan Garin, bahwa yang selalu dinilai dalam FFI adalah the Singer Not the Song – pembuat yang dinilai, bukan hasil karya. Seolah-olah golongan tertentulah yang paling berhak mendapatkan penilaian dewan juri sehingga pelaku film dari awal sudah bisa menebak film apa yang akan diperhitungkan.
"Kontroversi atau pro kontra yang terjadi di dalam setiap festival film adalah sah-sah saja. Bahkan di festival film bergengsi seperti Cannes, Oscar, Venice, dan lain sebagainya pun terjadi atas hasil keputusan dewan juri yang dianggap salah. Namun setahu saya, tidak pernah terjadi sebuah masalah yang menurut saya sangat dasyat seperti yang terjadi atas hasil keputusan dewan juri FFI 2006, sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan dan memicu amarah sebagian besar pelaku film," ungkap Garin.
Itu merupakan bagian dari masa lalu, sudah selayaknya kita memandang ke depan bukan ke belakang, sehingga kita harus menciptakan iklim kondusif untuk dapat diwariskan pada generasi mendatang yang akan meneruskan industri ini untuk dapat dihadirkan ke dunia internasional.
Menurut Garin ada beberapa masukan untuk menuju ke arah sana, yaitu film yang dihasilkan diawali dengan idealisme sehingga tidak bisa digolongkan, dewan juri dan pelaku film harus berdampingan, hilangkan penilaian berdasarkan mitos "the Singer Not the Song". (kpl/wwn)
( sumber : www.kapanlagi.com )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar