22 Juli 2008
Anakku Lesbi, Bisa Normalkah?
IBU Leila yang baik, barangkali inilah kemalangan terberat dalam hidup saya. Sebuah surat datang ke anak gadis saya dari seorang cewek. Karena curiga atas seringnya inlok cewek tersebut yang sampai lebih dari satu jam, maka surat tersebut saya buka. Ternyata cewek tersebut menganggap anak saya istrinya dan rupanya mereka sudah berasyik-masyuk sekitar tiga bulan lewat internet.
Setelah itu langsung saya mendatangi seorang psikiater. Psikiater tersebut menyarankan agar hormon anak saya diperiksa. Dokter ahli kelainan seksual memeriksa prolaktin dan testosteron anak saya. Hasilnya baik, tidak ada tanda-tanda ketidaknormalan. Testosteron menunjukkan ia wanita dan mensnya juga teratur.
Oleh dokter tersebut saya dirujuk ke psikiater yang lebih andal. Kata beliau, gadis saya sebenarnya kidal, tetapi tangan kiri tidak pernah digunakan sehingga bingung pada jati dirinya. Padahal, dalam mendidik kami tidak pernah memaksakan agar anak kami menggunakan tangan kanan dan dalam keluarga besar kami turun-temurun tidak ada yang kidal.
Hingga sekarang saya belum berhasil membawa anak saya ke psikolog karena ia menolak. Ke dokter-dokter sebelumnya kami menggunakan alasan tersamar. Sekarang kami sudah tidak dapat menggunakan cara itu lagi karena ia sudah tahu dan rupanya bahagia dengan kelesbianannya.
Apa yang harus saya lakukan, Bu? Dapatkah lesbian disembuhkan tanpa yang bersangkutan ingin sembuh? Dengan suratnya kepada gadis temannya itu, anak saya mengatakan bahwa ia trauma dengan pria. Ya, ia dulu pernah pacaran dengan pria dua kali dan keduanya gagal. Tolong saya, Bu.
Ibu X yang baik, Berat sungguh ”pukulan” yang menimpa Anda sampai disebut kemalangan terberat dalam hidup Anda. Tetapi, saya juga dapat mengerti ”pukulan” berat patah hati yang diderita putri Anda. Mungkin cintanya begitu besar sampai mentalnya ”babak belur” alias trauma. Keinginan menjadi istri yang dicintai suami dan mencintai suaminya hancur luluh.
Pas dalam keadaan parah itu ada yang menawarkan persahabatan dan kasih sayang. Bahkan, lebih dari itu (dan sudah) menjadikan dia ”istri” tersayang oleh seorang perempuan yang mungkin merasa dirinya ”cowok”. ”Pucuk dicita ulam tiba”, atau lebih tepat ”tak ada umbi akar pun jadilah”, hingga berasyik-masyuklah mereka berdua.
Dalam keadaan demikian, memang sukar untuk banting setir jadi heteroseks kembali. Namun, lambat atau cepat ia akan menyadari, masyarakat kita (juga di negara yang sudah maju seperti Amerika) banyak yang masih bersikap negatif kepada kaum homoseksual. Mereka sering menjadi korban diskriminasi dan hate crimes.
Penelitian menunjukkan, mereka 92 persen mendapat verbal abuse, sering kali dari keluarga sendiri dan 24 persen diserang secara fisik. Selain itu, 50 persen dari gelandangan muda di New York adalah homoseksual, juga bunuh diri dan percobaan bunuh diri lebih banyak di antara homoseksual daripada heterokseksual (Davison, G & Neale, J. Abnormal Psychology, 2004)
Apakah ia dapat berubah jika dia sendiri tidak ingin?
Tidak, kendala utamanya karena ia tidak mau. Bahkan, yang mau jadi heteroseks pun sukar kalau sudah lama jadi homoseks.
Putri Anda baru tiga bulan berkenalan dengan gadis lesbian itu, juga semoga baru di internet saja. Jika kelak ia mengalami sikap diskriminatif dan dikucilkan sebagai lesbian, baik secara terus terang maupun tersembunyi, melihat penderitaan orangtua, dan juga takut kepada Tuhan, mungkin ia akan sadar dan kembali jadi heteroseksual.
Yang dapat Anda lakukan adalah mengingatkannya dengan lembut, tetapi tegas sambil tetap mendukung prestasinya dalam berbagai bidangnya lain (studi, pekerjaan, aktivitas sosial). Obat paling manjur bagi putri Anda adalah jika ia ”jatuh cinta” lagi kepada seorang pria dan cintanya disambut baik. Semoga benar terjadi, saya ikut mendoakan.
Sumber : KOMPAS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar