Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

12 Desember 2009

Tiga Bulan Sudah Lesbian Solo Berjuang Lepas Marjinalisasi

Selama ini, Solo dikenal di kalangan gay, waria, dan LSL (lelaki berhubungan seks dengan lelaki) lainnya karena aktivitas organisasi yang menaungi mereka cukup sering dipublikasikan media. Padahal, masih ada satu jenis lagi kelompok orientasi seksual tak normal, yang juga terorganisasi di Kota Bengawan. Yaitu, pelaku seks sesama wanita, atau yang lebih dikenal sebagai lesbian.
Sebuah rumah kos di kawasan Gilingan, Banjarsari, Solo, adalah salah satu pusat dari kegiatan organisasi ini. Nampak deretan sepeda motor tertata rapi di halaman kos, beberapa diantaranya adalah milik wanita yang memiliki orientasi seksual tidak normal itu.

Di sana, koran ini ditemui oleh Juwita. Juwita menemui koran ini awal bulan lalu, dalam kapasitasnya sebagai penjangkau lesbian di Solo. Sebab, dia adalah Koordinator Divisi Lesbian Yayasan Gessang (Gerakan Sosial, Advokasi, dan Hak Asasi Manusia untuk Gay Surakarta).

Bersamanya, seorang wanita binaan dia hadirkan untuk wawancara. Sama seperti pada kebanyakan wanita pada umumnya, perilaku komunitas lesbian Solo biasa-biasa saja. Tak ada yang beda dari mereka, baik dari pakaian, dandanan rambut, sampai tutur kata.

Sulit membuka jatidiri sebenarnya sejumlah wanita di kos itu. Dari empat orang lesbian yang tinggal di sana, hanya satu yang berani bertemu koran ini. Juwita pun mewakili mereka berbincang dengan koran ini, agar jatidiri para wanita itu tidak terlalu terbuka terungkap.

"Lesbian itu di setiap daerah ada, tapi keberadaannya sulit untuk diterka. Antara ada dan tiada. Lesbian itu sulit dicari. Tapi, keberadaan mereka memang nyata di sekitar kita. Di Solo saja ada 50 orang," lanjutnya.

Jumlah itu adalah hasil penjaringan, mulai dari Maret-Mei 2009. Mereka berasal dari berbagai bidang profesi, mulai mahasiswa, pekerja swasta, pegawai negeri sipil (PNS), pengangguran, bahkan wartawan. Lesbian termuda di Solo usianya 16 tahun, tertua 37 tahun.

Hasil pendataan ini bagi Juwita sangat mengejutkan. Sebab, didapat hanya dalam jangka waktu tiga bulan. Karena itu, tak menutup kemungkinan jumlah ini akan bertambah dalam kurun waktu tertentu ke depannya. Sebab, komunitas lesbian telah memiliki agenda rutin bertemu setiap minggu.

Rata-rata, setiap pertemuan ada 50-an orang yang datang. Kebanyakan, mereka yang datang adalah anggota tetap. Walaupun, kedatangan mereka juga tidak kontinu, kadang minggu ini datang, kadang minggu depan tidak. Tak sedikit pula dalam setiap pertemuan muncul anggota baru. Itu terus terjadi setiap kali mereka mengelar kegiatan, tiga bulan terakhir.

Lesbian sebenarnya bukan tidak mau menunjukkan jatidirinya kepada orang lain. Tapi, di mata masyarakat, kelompok ini masih dianggap tabu. Akibatnya, lesbian menjadi kaum yang termarjinalkan. Perbedaan perlakuan itu yang membuat mereka terpaksa menyembunyikan identitas diri.

Bukan hanya dari kalangan umum, tetangga, dan teman saja mereka berahasia. Kepada keluarga sendiri pun mereka tidak terbuka. Identitas sebagai lesbian akan dibuka hanya pada orang tertentu, seperti teman dekat. "Dengan pendekatan ini, usaha untuk mengangkat derajat lesbian supaya tidak dipinggirkan lagi mulai kami bangun," beber Juwita.

Pelan tapi pasti upaya tersbeut mulai menunjukan hasil di tiga bulan terakhir ini. Mereka yang masuk sebagai anggota selalu diminta berkegiatan. Mulai dari pemutaran film, membaca buku, diskusi, sampai materi keagamaan. Semua diberikan sebagai bekal hidup mandiri.

Ketakutan untuk terpinggirkan dari kalangan lesbian, jika membuka identitas, memang sangat terasa. Terutama, bagi yang sudah bekerja. Mereka tidak hanya takut dipinggirkan masyarakat, mereka juga takut kehilangan pekerjaan. "Makanya, kalau mereka bisa mandiri, tidak akan ragu lagi untuk membuka identitas diri, sehingga tidak akan termarjinalkan," terang Juwita.

Upaya penyetaraan status itu ditarget Gessang. "Dalam lima tahun ke depan lesbian harus sudah tidak lagi dipinggirkan dengan berbagai upaya kami," tandas Juwita.

Ada dua upaya yang akan mereka lakukan, jangka pendek dan panjang. Jangka pendeknya, Juwita berharap bisa mulai mengakomodasi hak-hak lesbian dengan membentuk lembaga pemberdayaan. Untuk melegalkan keberadaan lesbian di Solo. dia juga akan menunjuk notaris, dengan membuatkan akte pendirian komunitas lesbi, lengkap dengan kantornya.

Sedangkan rencana jangka panjangnya, Juwita berharap bisa membentuk panti jompo dan ruang membaca bagi lesbi. Sebab, kebutuhan hidup bagi mereka tidak hanya untuk sesaat. "Kalau mereka sudah tua, siapa yang akan mengurusnya. Itu sudah kami pikirkan sekarang," bebernya.

Memang benar, secara logika, besar kemungkinan seorang lesbi tidak menikah secara normal sampai akhir hayatnya. Sehingga, tidak akan ada generasi penerus atau keturunan yang akan merawat di hari tua.

Untuk mewujudkan semua impian itu, dia berharap peran serta pemerintah pusat dan daerah. Sebab, di tangan mereka kelangsungan hidup lesbian bisa terus berjalan. Harapan awal yang mereka inginkan sekarang adalah minta dibuatkan peraturan daerah. Agar, kondisi terpinggirkan ini harus segera dihapus. "Apa yang mereka lakukan bukan atas keinginan sendiri. Itu alami, karena tidak ada yang tahu siapa akan menjadi lesbian," bebernya.

Perjuangan Juwita untuk menyamakan keseteraan status lesbian dengan masyarakat pada umumnya tidak hanya dilakukan di Solo. Usaha serupa pernah dilakukan di Medan, Aceh, Bandung, Jakarta, Sukabumi, Jogjakarta, Riau, dan Solo.

Selain Solo, usaha Juwita mendulang sukses di tujuh daerah yang pernah disinggahinya untuk digiatkan. Tapi, butuh waktu dan perjuangan keras untuk bisa mewujudkan. Paling berat, saat dia berupaya menjadi penjangkau di DKI Jakarta. Sebab, pemerintah daerah di sana sangat sensitif terhadap lesbian. Mereka yang ketahuan langsung alami pendiskriminasian.

Maka, sulit menemukan komunitas lesbian di sana. Para wanita itu sengaja mengubah nama asli mereka. Kode rahasia pun disepakati antara mereka, untuk mengelabui orang. Kebanyakan nama samaran itu berasal dari plesetan nama asli orang itu sendiri.

Selain untuk mempermudah menghafal, juga sebagai identitas diri. Kini, sistem penggunaan nama samaran ini wajib dilakukan anggota komunitas lesbian. Juwita juga menggunakan jejaring untuk menjangkau keberadaan mereka. Artinya, masing-masing anggota wajib mengenalkan lesbian lain yang dikenalnya.

Dengan cara ini, mereka bisa masuk sebagai anggota komunitas dengan lebih mudah. "Tapi, sebenarnya secara kodrat seorang lesbian akan tahu dengan sendirinya, apakah perempuan yang ditemui itu lesbian atau tidak. Sebab, lesbian itu memiliki naluri tersendiri," bebernya.

Tidak ada komentar: