29 Agustus 2009
Sam Mampu Melepaskan Perilaku Gay
Benih perasaan menyukai sesama jenis timbul tatkala Samurai beranjak kelas 6 SD. “Perasaan ini sama seperti anak-anak yang tertarik dengan lawan jenisnya. Dan setiap gay memiliki pengalaman yang berbeda-beda,” tutur Samurai, mantan gay yang bertobat. Setelah dipelajari, ada beberapa faktor, yang menyebabkan dia terjerumus menjadi homoseks.
“Pertama, saya banyak saudara laki-laki. Kedua, setelah saya pelajari, faktor lainnya termasuk faktor genetik dan pola asuh dalam keluarga,” kata dia. Pun, secara medis dan psikologis, lanjut dia, sudah diakui bahwa ada pengaruh faktor genetik yang mempengaruhi seseorang.
“Berdasarkan sejarah (silsilah) keluarga saya, memang ada beberapa keturunan yang mem-punyai orientasi seksual yang sejenis juga. Faktor lainnya, saat saya masih dalam kandungan, orang tua ingin menggugurkan dengan alasan sudah kebanyakan anak,” ujar dia. Jadi, secara logika dan medis, seorang anak yang dalam kandungan terkena zat-zat kimia, hal itu telah mengganggu proses perkembangan janin, termasuk orientasi seksualnya. Sama kejadiannya dengan anak autis dan masalah gizi.
“Saya menyadari kondisi mama saya saat itu dalam kondisi ekonomi sangat berat dengan 10 anak. Kemudian ibu saya, saat itu, pasti punya masalah psikologis, dengan beban harus mem-besarkan banyak anak. Nah, itu bisa mempengaruhi,” ungkap dia.
Samurai mengakui ada faktor utama yang mempengaruhi yaitu dosa. “Dosa Adam dan Hawa yang membuat dunia ini bertambah rusak,” katanya.
Dia memutuskan tidak lagi masuk dalam pergaulan homo-seksual sejak 1995. Sejak tahun itulah dia mengaku berhenti. Upaya Samurai untuk kembali menjadi pria sejati dilakukan dengan menikahi lawan jenis. Dengan sang isteri, Samurai kini punya 2 anak. Istrinya tahu bahwa dirinya berlatar belakang homoseks.
Keinginan daging
Keinginan daging seorang gay, tutur Samurai, sama seperti seorang laki-laki atau suami yang pasti tergoda ketika melihat cewek cantik dan seksi, misalnya. “Saya seperti itu juga manakala menjadi seorang gay,” kata dia. “Tapi saya meyakini bahwa mukjizat Tuhan itu ada. Dia pikul salib hingga nafas terakhir. Dan pasti Tuhan kasih kekuatan dan anugerah dalam pergumulan hidup saya sehingga membuat saya berkarya dan melayani. Ya, seperti Paulus katakan ada duri dalam daging. Atau salib yang harus kita pikul di mana kita harus menyangkal diri. Kita punya keinginan tetapi menyangkal bahwa itu harus kita lakukan,” lanjutnya.
Ketika Samurai masih homoseks, dia sempat mengalami perlakuan diskriminasi dari lingkungan. Berbeda tatkala dirinya telah menikah. Perilaku homoseks ini, ujar samurai, awalnya orang tua mungkin tidak mengetahui. Namun, saudaranya mungkin ada yang tahu. Namun, saat itu, karena komunikasi di dalam keluarga tidak baik, maka kondisi seperti ini didiamkan saja. “Jangankan masalah seks, masalah lain saja sulit dikomunikasikan, ” Tetapi, kini, ungkap Samurai, keluarga mengetahui manakala dirinya terjun dalam pelayanan LK3 (Layanan Konseling Karir dan Keluarga).
Tujuan Samurai bergelut di LK3 adalah bagaimana mengubah pa-radigma orang yang bersangkutan (homoseks) atau gereja atau keluarga untuk memahami edukasi masalah homoseksual. Khusus bagi homoseks, mereka diberi pemahaman bahwa hubungan seksual yang diakui dan diberkati oleh Tuhan hanya hubungan dengan lawan jenis.
Melangkah dengan iman
Gay, menurut Samurai, semacam gaya hidup dan sebuah identitas. Tapi banyak orang homoseksual yang tidak mau menyatakan bahwa dirinya gay. Dia hanya menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Kristen yang sedang bergumul dalam masalah orientasi seksual.
Untuk betul-betul pulih dari perilaku homoseks Samurai, mempraktekkan iman, yakni melangkah dengan iman walaupun tidak tahu apa yang akan terjadi. Akhirnya, dia pun melangkah dengan iman untuk menikah. Artinya berjuang dengan bayar harga. Dia berhu-bungan dengan lawan jenis dengan tujuan menikah untuk memberikan fakta bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Karena menurut ilmu pengeta-huan, itu sesuatu yang mustahil. “Apalagi saya banyak baca buku sudah melewati masa-masa itu dan menikah,” katanya.
Dia berharap, dengan kejadian baru-baru ini, kita jangan menggeneralisasikan bahwa semua orang yang punya pergumulan homoseksual itu punya karakter yang sadis. “Masyarakatlah yang akan melihat apakah ada orang di luar gay yang lebih sadis dari ini,” katanya. Dia juga ingin gereja mulai terbuka untuk peduli atau menerima dan tidak phobia atau tidak terjebak dengan sifat homophobia.
Dikutip oleh : Mahasiswa Kesmas UMS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar