Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

31 Januari 2010

Suara Agama Pada HIV dan AIDS

Seorang istri yang “sholehah”
berhubungan seks dengan suaminya HIV positif tanpa menggunakan kondom memiliki
resiko lebih tinggi tertular HIV daripada seorang “pelacur” yang berhubungan
seks menggunakan kondom dengan pelanggannya.



Itulah
salah satu pernyataan yang disampaikan oleh Ahmad Zainul Hamdi sebagai salah
satu narasumber dalam seminar sehari
Peran Tokoh Agama Dalam Penanggulangan HIV/AIDS, “AIDS dan Agama, Penularan HIV
Melalui Transmisi Seksual: Realita, Stigma, dan Apa yang Bisa Dilakukan oleh
Agama?”.
Acara dilaksanakan 27 Januari 2010 di Departemen Agama, ruang Operation
Room,jl Lapangan
Banteng Barat Jakarta Pusat.
Seminar ini dilaksanakan atas kerjsama UNAIDS dengan Depag RI.



Acara
ini memiliki dua sesi, yang pertama menghadirkan narasumber Dede Utomo (Gaya
Nusantara) dan Kemal (Komisi Nasional Penanggulangan AIDS Nasional) dengan
moderator Slamet dari Yogyakarta. Sesi pertama membahas soal HIV
dan AIDS: Antara Fakta dan Stigma.
Mendiskusikan tentang fakta medis HIV dan AIDS, data-data statistik tentang
jumlah ODHIV dengan berbagai klasifikasinya, cara-cara penularannya, dan
berbagai upaya penanggulangan (kesuksesan dan kendalanya).



Sesi
selanjutnya yang dimulai setelah makan siang, dengan tema HIV
dan AIDS, Seksualitas, dan Agama. Pada
sesi ini akan mendiskusikan tentang peran agama dalam
menanggulangi epidemi HIV dan AIDS di satu sisi dengan batas-batas konvensional
ajaran agama tentang seksualitas yang cenderung menolak orientasi dan perilaku
seksual di luar heteroseksual. Selain
Ahmad Zainul Hamdi juga
menghadirkan narasumber K.H. Husein Muhammad
(Fahmina Instute/Komisioner Komnas Perempuan), Prof. DR.
Syafiq Mughni
(cendekiawan dari Muhammadiyah) dan Ester Mariani Ga (Pendeta perempuan/PGI) .



Dalam
sesi kedua bagaimana tokoh agama dapat bertanggungjawab atas penanggulangan HIV
dan AIDS kepada umatnya. Pendekatan moralitas tidak serta merta dapat
meyelesaikan persoalanya HIV dan AIDS. Misalnya bagaimana cara pandang
tokoh agama terhadap pekerja sex dan kelompok homoseksual. Stigma bahwa
homoseksual sebagai kelompok pendosa masih saja terus terjadi dilakukan oleh
tokoh agama.



Seperti
apa yang diutarakan oleh beberapa peserta yang hadir yang masih seputar
menghentikan segala bentuk perzinahan termasuk homoseksual. Kemudian ada
beberapa pertanyaan dari peserta yang menekankan bahwa masih ada persoalan
informasi yang tidak benar tentang HIV dan AIDS. Bahwa yang menjadi penyebab
penularan adalah persoalan prilaku yang tidak aman, bukan pada orientasi
seksual ataupun persoalan pekerja sex ataupun identitas lainnya.



Pengalaman
dari Syafiq Mughni yang mengembangkan program pendidikan seksualitas
kepada para tokoh agama baik dari NU maupun Muhammadiyah di Jawa Timur. sangat
menarik. Program ini telah melatih 115 orang dari 15 daerah yang memiliki
prevelensi yang tinggi di Jatim. Kemudian masing-masing peserta membangun
jaringan multisekholder, yang dinamakan dengan jaringan penanggulangan HIV dan
AIDS. Yang anggotanya misalnya dari MUI, KPA, NU dan Muhammadiyah.



Kemudian
juga mengembangkan kurikulum bagi SMP / MTs Muhammadiyah diseluruh wilayah Jawa
Timur, yang dinamakan dengan Life Skill Education. Program ini
diitegrasikan dengan study Al Islam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Penjas. Guru-guru akan mendapatkan buku panduan dan kapasitas soal
informasi HIV dan AIDS. Diharapkan guru-guru :tersebut akan mengembangkan
informasi kepada para murid-muridnya. Program pendekatannya melalui
lembaga pendidikan dengan kelompok remaja (SMP) yang menjadi subjek program.



Kyai
Husein Muhammad meyorotin jika ingin menghentikan virusnya dengan cara
meyayangi orangnya. Dalam hal ini agama harus dipahami sebagai agama yang
sengaja diturunan oleh Tuhan untuk manusia dengan visi kemanusiaan (rahmatan
lil al alamin). Kasih sayang berlaku kepada semua orang terlepas dari latar
belakang sosial, budaya, agama, jenis kelamin, kaya, miskin, etnis maupun
orientasi seksual dan identitas gender. Al Quran memberikan garis-garis besar
dan prinsip-prinsip perlindungan dalam 5 dimensi,yaitu :

Keyakinan untuk
meyakini sesuatu

Jiwa

Akal pikiran

Keturunan/kehormata n
pribadi

Hak milik



Lima
pokok itu merupakan dasar-dasar dari hak asasi manusia. Bahwa persoalan HIV dan
AIDS sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
moral menurut banyak orang. Tetapi persoalanya lebih komplek, karena
virus ini dapat meyerang pada siapa saja tanpa melihat latar belakangnya.
Masyarakat seharusnya digugah untuk tetap menghargai dan empati terhadap ODHA.
Karena ODHA juga memiliki hak atas jaminan kesehatan, hak hidup, hak diberi
perhatian, hak bekerja dan hak dinyatakan sebagai manusia.



Pendeta
Ester meyampaikan soal hubungan AIDS, seksualitas dan Agama. Bagaimana selama
ini agama sangat hitam putih melihat persoalan HIV dan AIDS. Antara moral dan
tidak bermoral. Padahal persoalan AIDS ada persoalan ketidakadilan gender baik
hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Maupun hubungan antara kelompok
heteroseksual dengan homoseksual. Kelompok marginal dalam hal pekerja sex dan
homoseksual akan dicap sebagai kelompok tidak bermoral. Hal ini yang semakin
memberikan akses yang lemah kepada kelompok ini terhadap kesehatan.
Pendeta Ester juga meyampaikan bahwa agama khususnya Kristen selama ini
berwajah partriaki, yaitu menggunakan kepentingan laki-laki dalam persoalan
seksualitas. Misalnya soal hubungan seksual suami istri yang semuanya
ditujukan pada kebutuhan laki-laki. Ada anggapan bahwa istri harus siap dan
dilarang menolak hubungan seksualitas atas permintaan suami. Karena nantinya
akan dilaknat oleh Tuhan dan suaminya. Cara pandang seperti inilah yang semakin
membuat perempuan sangat rawan terhadap penularan HIV dan AIDS. Padahal
partriaki bukan hanya terjadi di agama kristen saja, tetapi juga agama yang lainnya.



Ahmad
Zainul kemudian menekankan kembali bahwa persoalan HIV dan AIDS kalau dilihat
dari sisi teologi bencana, selalu dikategorikan menjadi dua; cobaan dan
siksaan/kutukan. Jika yang terkena HIV dan AIDS adalah seorang Kyai, ulama,
atau orang yang dianggap baik-baik maka akan dikatakan sebagai cobaan.
Tetapi apabila itu terkena oleh pekerja sex ataupun kelompok homoseksual
maka akan langsung dikategorikan sebagai siksaan ataupun kutukan dari
Tuhan. Cara-cara berpikir seperti ini sangat meyesatkan sekali. Sehingga
semakin menimbulkan stigma dan diskriminasi bagi kelompok marginal. Sudah
saatnya unutk berani mendobrak cara berpikir yang salah kaprah dalam melihat
persoalan HIV dan AIDS. Sehingga peran agama nantinya dapat menjadi lebih
efektif dalam upaya pencegahan HIV dan AIDS di Indonesia khususnya. Tidak
berkutat pada dosa dan pahala saja. (Toyo/OV)



http://www.ourvoice .or.id/index. php?option= com_content& view=article& id=93:suara- agama-pada- hiv-dan-aids& catid=37: liputan&Itemid= 81

Salam

Hartoyo
Sekum Ourvoice
Jl. Mampang Prapatan XV Gg.HR RT 12/RW 05 Jakarta Selatan
Telp : 021-92138925
http://ourvoice. or.id
http://forum. ourvoice. or.id

Tidak ada komentar: