19 September 2009
Tanda & Gejala HIV Pada Anak
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubinstein dan Amman pada tahun 1983 di Amerika Serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember 1989 di Amerika telah dilaporkan 1995 anak yang berumur kurang dari 13 tahun yang menderita AIDS dan pada bulan Maret 1993 terdapat 4.480 kasus. Jumlah ini merupakan l,5 % dari seluruh jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa sampai tahun 1988 terdapat 356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa maupun anak-anak tertinggi di dunia adalah di Afrika terutama negara-negara Afrika Sub-Sahara.
Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah mematikan lebih dari 25 juta orang; lebih dari 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya akibat AIDS. Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS; 500,000 diantaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun. Setiap tahun pula terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di negara terbelakang dan berkembang; 700,000 diantaranya terjadi pada anak-anak. Dengan angka transmisi sebesar ini maka dari 37.8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat 2.1 juta anak-anak di bawah 15 tahun.
Infeksi HIV
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.
Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya (mother-to-child transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di negara berkembang atau terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya.
Upaya pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV) untuk anak dan bayi yang terinfeksi karenanya menjadi satu jalan untuk menanggulangi pandemi HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang tergolong ke dalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus, seperti virus Visna pada biri-biri, sapi, dan feline serta Simian Immunodeficiency Virus (SIV). Lentivirus mampu menyebabkan efek sitopatik yang singkat dan infeksi laten dalam jangka panjang, juga menyebabkan penyakit progresif dan fatal termasuk wasting syndrom dan degenerasi susunan saraf pusat.
Perjalanan penyakit HIV
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV.
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period).
Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).
“MANIFESTASI KLINIS”
TANDA DAN GEJALA INFEKSI HIV DAN AIDS.
Fase penyakit
Manifestasi klinis
Penyakit HIV akut
Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis, limfadenopati generalisata, eritema
Masa laten klinis
Berkurangnya jumlah sel T CD4+
AIDS
Infeksi oportunistik
Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium)
Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella)
Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum)
Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)
Tumor
Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV)
Sarkoma Kaposi
Karsinoma servikal
Ensefalopati
Wasting syndrome
MASA INKUBASI DAN PENULARAN
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-tahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunistik sudah dapat dilihat ketika usia 2 bulan.
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak :
Dari ibu kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan.
Transfusi produk darah yang tercemar HIV,
Kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh penderita HIV
Prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang buktinya sangat sedikit.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung HIVselama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat terjadi pada 20-50% kasus.
Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar Limfosit T CD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasif pada bayi.
Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan antigen. WHO menganjurkan untuk negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan.
Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah yang mengandung HIV atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah dilakukannya skrining darah donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara ini menjadi jauh berkurang.
Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat intravena yang menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya melalui hubungan seksual. Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di banyak negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba dengan membagikan jarum suntik steril pada pemakai.
MASNIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal.
Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV a, b
Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap terapi standara
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan)
Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3)
Stadium klinis 4b
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standara
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun)
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Oksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy
SUMBER :
FIGHT AGAINTS AIDS, SAVE INDONESIAN CHILDRENS
Yudhasmara Foundation
Working together against HIV and AIDS in Indonesia, Save our Children From HIV-AIDS
Di kutip ; Mahasiswa Magang UMS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar