Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

21 Juli 2008

AKU KEHILANGAN SEORANG PEMIMPIN


Mungkin ini tidak pertama kalinya aku menangis. Tetapi inilah kesedihanku yang ga mungkin akan aku lupakan. Sebuah kesedihan yang membuat aku salut pada dirinya. Nenekku alm. Suwei. Adalah seorang yang mempunyai jiwa pemimpin dan jiwa seorang pahlawan. Aku masih ingat dimasa aku masih kecil mempunyai sebuah kesalahan yang amat buruk dengannya. Aku memang tidak mau melihat keluargaku bersedih. Saat itu adikku yang paling kecil mungkin masih berumur di bawah 3 tahun. Adikku sakit, lalu almarhum nenekku memberikan sebuah saran kepada orang tuaku yang membuat aku sedih melihat kalau adikku nantinya akan kesakitan. Hanya sebuah ‘kerokan’ saja yang menjadi saran nenekku. Tapi itu memang hal yang tidak disuka oleh adikku. Saat itu adikku dipaksa abis-abisan oleh almarhum nenekku. Setelah itu, adikku nangis bukan kepalang. Aku memang orangnya melankolis banget. Jadi aku merasakan apa yang dirasakan oleh adikku saat itu. Kesakitan dan sebuah rintihan yang amat bagi seorang anak kecil. Lalu disebuah sudut ruangan dimana adikku di’kerokin’, aku menangis. Sampai akhirnya aku keluar dan mengambil sebuah pisau dan lari ke kamar mandi. Aneh banget. Aku bisa menangis sampai aku ga isa bilang apa-apa. Saat itu seluruh keluargaku mencari aku kemana-mana. Sampai ke tetangga dan ampe jalan raya. Mereka mungkin kebingungan banget saat itu. Tapi apa boleh ternyata aku ketahuan bersembunyi oleh pakdheku sendiri. Saat dia mau masuk ke kemar mandi, nemuin aku sedang nangis. Aku ditanya saat itu lagi ngapa. Lalu aku cuma bilang, mau bunuh nenek. Aneh banget ya. Memang saat itu, adikku masih kecil, jadi aku sayang banget ma adikku. Kalo sekarang amit-amit dech, sayang aja kagak. Malah perang kaliex…he…
Itu sebuah kesanku melihat almarhum nenekku saat itu. Nyeremin, jahat dan pembunuh. Aneh banget ya..
Tapi semakin beranjaknya aku dewasa semakin aku menyayangi orang yang aku benci waktu kecil mungkin pepatah pernah berkata, bahwa kebencian awal dari percintaan. He… ya udahlah, itu masa lalu aku saat masih ada almarhum nenekku.
Aku masih ingat di saat sebelum almarhum nenekku meninggal, almarhum Cuma bilang ke aku, ‘jangan nakal dan nurut ma orang tua’. Mungkin saat itu aku pikir adalah hal yang biasa. Tetapi itu adalah kalimat terakhirnya buat aku. Saat meninggalnya nenekku, aku masih di sekolah. Aku ga dikasih kabar ma keluargaku saat aku di sekolah. Tetapi sepulang sekolah aku di beritahu ma tetanggaku bahwa nenenkku sudah meninggal. Sedihnya aku saat itu, aku sudah kehilangan orang yang paling aku sayang saat itu. Setelah meletakkan tas sekolahku, aku langsung lari dan jalan kaki ke rumah nenekku. Padahal buzet jaraknya 10 kiloan. Tapi saat itu dibenakku ga ada kata lelah, yang penting aku isa ketemu ma nenek itu aja.
Dihari berikutnya, di saat pemakaman nenekku. Aku merasakan kehilangan banget, tapi aku berusaha tegar dan ga mau terlihat sedih banget. Di saat detik-detik keberangkatan jenasah nenekku, aku punya satu permintaan ke papaku. Bahwa aku harus mengangkat peti nenekku sampai ke dalam ambulance. Ya, perasaab kehilangan dan kesedihanku dan juga pecahan suara tangisan dari keluarga serta kerabat nenekku mulai memuncak saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan hanya bisa berkata, ‘Tuhan tegarkan aku dan aku ingin dengan aku memikul peti jenasah nenekku, aku punya satu keinginan. Tuhan terimalah nenekku di sisi-Mu’. Mungkin itu hal yang aku pikir saat itu. Aku hanya bisa membungkam mulutku dan biarlah hatiku ini berkata.
Saat perjalanan menuju ke peristirahat terakhir nenekku, aku membawakan sebuah karangan bunga di dalam sebuah bis. Aku padahal saat itu ingin sekali di dalam ambulance itu bersama nenekku yang terakhir kalinya. Tapi mungkin saat itu aku tidak beruntung. Tetapi aku naik bus yang sudah disiapkan oleh keluarga besar. Dan di dalam bus itu, semua kenangan bersama almarhum nenekku mulai terbuk. Aku menangis dan sangat merasakan kehilangan yang begitu sangat menusuk jiwaku.
Di luncurkan buku ini, aku persembahkan untuk almarhum nenek tercinta. Nenek yang memberikan sebuah penghiburan dan nenek yang menjadi pemimpin atas keluarganya.
‘nenek ini theo, aku bersyukur banget karena kau telah tiada, karena aku juga merasakan apa yang nenek rasakan dalam kesakitan nenek semasa akhir hidupmu. Nenek, kau tlah berjuan sendiri selama hampir 15 tahun tanpa ditemani oleh kakek. Untuk membesarkan satu putra dan tiga putri yang sangat berat. Aku tahu kaulah seorang wanita yang gigih dan terhormat. Aku salut kepadamu. Salut atas kegigihanmu dan salut atas keberanianmu untuk hidup dalam penderitaan ini. Kebahagian di dunia telah kau ukir. Saatnya aku mengukir kebahagiaanmu bersama Tuhan Yesus di surga. Aku akan selalu mencontoh berjuangnya hidup, seperti berjuangnya nenek menghadapi kerasnya kehidupan ini. I Love You nek, I Miss you…Muach….”.

Tidak ada komentar: