Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

26 Juli 2008

AKU BUKAN BANCI

Sebuah frase diatas merupakan sebuah hal yang akan aku jelaskan dengan detail dan dengan sepengetahuanku. Dan ini adalah mula dan awal kenapa aku harus menulis buku. Karena ini adalah sebuah pengalaman pribadiku dan pengalaman yang selalu akan membuatku semakin mempercayai bahwa Tuhan mempunyai rencana yang lain untuk diriku.
Umurku 14 tahun sudah duduk di kelas 2 SMP. Aku merupakan orang yang dapat dibilang sebagai seorang yang selalu sensitive terhadap segala hal yang berhubungan dengan seni. Waktu itu aku membiarkan diriku untuk ditunjuk sebagai koreografer untuk sebuah pertunjukan perayaan natal di sekolah. Dan hari ini aku berusaha untuk bekerja secara maksimal karena aku orang yang selalu berusaha perfect dalam setiap pekerjaanku. Aku memulainya dengan segala konsekuensi yang harus aku tanggung.
Saat itu aku merasakan sebuah kenyamanan dalam diriku. Dan aku melihat adanya sebuah hal yang indah dari pekerjaanku tersebut. Singkat cerita, pertunjukkan yang aku berikan merupakan pertunjukkan terbaik. Aku tak mau mempertunjukkan sebuah karya yang biasa saja, tetapi perlu sebuah ledakan yang menggila.
Sebuah tarian modern dengan busana eropa. Memberikan sebuah hiburan dalam perayaan natal yang megah dan memukau. Kemilau lampu alam memberikan cahaya yang sangat berbeda. Tiga buah tarian medley ditambah solo dancer dan fashion memberikan sentuhan eksklusif di dalamnya. Tujuh orang penari dengan di balut busana karya desaigner muda kota Solo menambah nikmatnya perayaan pada siang hari itu. Cukup 30 menit. Selesai sudah pertunjukan hiburan itu.
Semuanya berjalan lancar dan aku mengemasi sesegera mungkin semua pakaian yang dipakai pada saat pentas di kamar ganti. Perasaanku saat itu membahana menyeruak tabir siang itu dengan senyum yang lebar. Semua memberikan salam sebagai tanda ucapan terima kasih dan kekaguman pada sebuah karya agung di perayaan natal tadi. Tidak seperti biasa dan tidak pernah ada. Seorang yang mampu mengemasnya sedemikian rupa dan seindah itu dalam perayaan natal di SMP di angakatan terdahulu.
Setelah semua pakaian tertata dengan rapi, aku menuju ke gerbang sekolah untuk menunggu orang tuaku menjemput diriku. Menunggu sendiri tanpa seorang teman, dan merupakan kesendirian dan kesepian untuk kesekian kalinya. Aku benci itu, menunggu. Tapi entah kenapa pada saat itu aku di jemput terlambat.
Aku biasa dijemput oleh papaku. Tetapi tidak hari itu. Entah kemana papaku. Hampir 3 jam aku menunggu dalam kesunyian sekolah.
Akhirnya dari jarak 50 meter aku melihat mama dengan memboncengkan adik laki-lakiku serta kantong belanjaan yang tergantung berat di motor itu. Memang mama mendapatkan bagian untuk menjemput adik dan papa menjemput diriku. Awan yang mengisi ruang atas sana hanya terlihat sedikit menutupi langit yang biru. Tetap saja buatku ini masalah pada waktu itu. Karena aku tak suka dengan panas dan keringat. Mama dan adik ada di depanku. Dengan kantong belanja yang menumpuk di depan membuatku urung untuk naik di motor itu. aku lebih baik pulang naik kendaraan umum saja. Aku tak mau merepotkan mama, karena aku juga membawa barang yang tak sedikit. Tetapi mama memaksaku untuk naik. Dengan penuh berat hati aku naik saja di belakang. Motor kami sangat kecil, bahkan aku merasa tidak nyaman di atas motor itu. Lagi pula yang mengemudikan motornya adalah mama. Sebenarnya aku tak rela. Adik lelakiku duduk di depan di antara kantong belanjaan dan aku di belakang dengan membawa tas ransel besar. Mudik. Kata yang pantas untuk kejadian itu.
Tak jauh dari tempat itu, tepat di perempatan. Gerombolan Aldila nongkrong yang notabene mereka adalah musuh besarku, terutama aldila. Tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Karena mereka selalu memanggilku ‘banci’. Belum selesai aku memikirkan caranya, ternyata benar mereka semua melihatku dan menyapaku. ‘BANCI’. Tak ada motor dan becak bahkan aku tak melihat ada motor yang melintang di depan motor, ayam atau hewan kecil pun tak ada. Mama berhenti dan meminta aku untuk turun tak lupa adik lelakiku juga, tidak dengan cara yang halus melainkan dengan cara paksa. Berhenti tepat di depan gerombolan perlente itu. Aku bingung kenapa mama malah berhenti tepat di depan gerombolan perlente. Aku jadi tambah ikut emosi saat mama turun dari motor dan berjalan mendekati gerombolan itu. Mama langsung membantai sampai habis dan di babat habis.
Mama kembali lagi tanpa senyum dan langsung naik motor. Adik dan aku juga segera naik motor. Tanpa ada percakapan sedikit pun selama perjalanan. Hanya suara knalpot yang terdengar.
Sesampainya di rumah suasana sudah terasa berbeda. Emosi sudah ada di ujung rambut mama. Sangat terlihat. Mama melempar kantong milikku yang berisi pakaian yang di pakai saat perayaan.

Itu kisah yang paling menyedihkan untukku. Sebuah tangisan yang mendalam terasa di dalam dada. Isak tangis memecah, menyeruak, dan menyibak tabir kehidupan.
Sebenarnya aku disini ingin menjelaskan dan memberikan sebuah pernyataan dan menjawab segala komentar yang selalu masuk ke telinga ini. Terutama dalam sikap dan penampilan keseharianku. Judul cerita ini sangat jelas. Dan mengapa aku membuat buku ini merupakan sebuah karya agungku sebagai ucapan terima kasih dan selamat tinggalku untuk semua orang yang mengenal aku. Alasannya sangat jelas, bahwa aku memang dilahirkan sebagai laki-laki dan untuk mencintai laki-laki. Tetapi aku bukan Banci. Aku tidak berpenampilan layaknya seorang perempuan. Aku tak memakai bra, aku tak mempunyai rambut panjang, aku tak melakukan operasi kelamin, aku juga tak memakai sanggul, bahkan tak ada pra tanda fisikku seorang wanita. Dan saat di panggung, aku tak pernah memakai kosmetik yang tebal. Hanya seperlunya untuk menutup beberapa kekurangan yang ada di mukaku. Aku sangat benci jika di bilang banci. Karena kata banci mempunyai arti yang tidak ada dalam diriku. Menurut KBBI, Banci adalah seorang yang tidak laki-laki dan tidak perempuan, laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan, dan lemah zakar. Arti yang ada di situ sudah jelas. Hal yang ada di KBBI tidak tampak dari diriku. Aku masih menjadi lelaki dengan kelamin penis yang besar dan mulus. Bahkan aku tidak impotensi. Tingkah laku pada diriku sepertinya biasa saja. Memang untuk masalah hobi antara diriku sangat berbeda dengan lelaki yang lain. Karena aku lebih suka di kamar membaca buku, bermain computer, dan tidur. Tidak seperti lelaki yang lainnya bermain sepak bola, jalan-jalan, menggoda wanita, dan menjiplak tugas perempuan. Memang aku dilahirkan sebagai seorang yang lemah. Dari kecil aku sudah mengalami bronkitis bahkan aku kalau terlalu lelah sering mimisan. Aku sudah ditakdirkan sebagai lelaki yang lemah. Sampai pernah aku diikutkan taekwondo dan paskibra oleh papaku. Tapi setiap aku pulang latihan pasti aku mimisan. Pernah tanganku hampir patah terkilir dan hampir patah saat pertandingan ujian taekwondo.
Mengapa konstruksi gender itu selalu ada di negara ini? Aku sangat benci dan sangat menjemukan. Gender selalu membuatku susah bergerak. Konstruksi gender telah ada pada jaman kehidupan awal nenek moyang kita. Intinya aku hanya ingin mengatakan bahwa tidak ada banci di dunia ini. Hanya ada dua manusia secara kelamin mereka yaitu laki-laki dengan penisnya dan perempuan dengan vaginanya. Jika di bagi lebih dalam lagi secara orientasi seksual hanya ada heteroseksual, homoseksual ( Gay dan Lesbian ), dan transgender-transseksual. Dimana kata banci tinggal. Jika homoseksual dan transgender-transseksual yang memiliki kata banci. Lalu pada heteroseksual disebuat apa? Aku tak mau mendiskriminasikan hal ini, jawab dalam hati kalian yang paling dalam. Yang ada di bumi ini hanya ada laki-laki dan perempuan. Homoseksual pada gay adalah laki-laki bukan perempuan sebaliknya juga pada lesbian. Waria berdiri dan sudah berdandan layaknya perempuan, maka dia adalah perempuan. Walaupun ada juga waria yang belum berganti kelamin. Tetapi di sini aku mau katakana bahwa jangan melihat pada kelamin mereka. Tetapi hati dan perasaan yang nyaman pada mereka yang menjadi alasan kita untuk memanggil waria. Panggilan untuk gay adalah mas, lesbian adalah mbak, dan waria adalah mbak.
Aku sebagai seorang yang dilahirkan sebagai seorang laki-laki untuk mencintai laki-laki akan selalu melindungi siapapun, memperhatikan, menyayangi, menghargai, menerima, dan selalu membuka tangan untuk siapa saja. Aku tak pernah melihat cacat fisik ataupun mnetal mereka. Aku tak melihat ras. Tak melihat warna kulit. Semuanya tak pernah aku lihat. Yang aku lihat adalah hati setiap orang yang mau datang pada diriku untuk mencurahkan segala hal dan menerima aku apa adanya. Komunitasku sudah terdiskriminasi, tidak selayaknya diriku juga mendiskriminasi. Tak akan ada dendam dihatiku. Tapi hanya sebuah keikhlasan, keberanian, dan keadilan yang selalu aku rindukan. Aku rindu suatu hari semua akan menerimaku. Aku juga tak akan memaksa setiap orang agar menerima kehadiranku. Yang aku rindukan adalah bergunanya hidupku dan berartinya kehadiranku di muka bumi ini. Hidup sebagai manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah.

Akhir semuanya hanya satu yang aku mau. Untuk mama, papa, kakak, adik, saudaraku, dan semua yang pernah mengenal diriku : Aku akan berusaha membuat hidupku berarti dan berguna untuk kalian semua. TERIMA KASIH…

Tidak ada komentar: