Salatiga Carnival Center

Salatiga Carnival Center
Sebuah event akbar tahunan WORLD CULTURE FASHION CARNIVAL..

Profil Saya

Foto saya
Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
I was born in Solo, December 25, 1987 from the father of Drs. Luke Suroso and Mrs. Sri Puji Lestari Hantokyudhaningsih. I grew up in a city full of culture that is the city of Solo. as the descendants of the solos even have blood from a stranger. I was born like a tiny man, weighing> 4 kg. the second child of three brothers that I tried to be a pioneer and a child who was always proud of my extended family. trained hard in terms of education and given the religious sciences until thick. I am standing upright in my life the 19th to voice the aspirations of the marginalized of LGBT in the city of Salatiga. as a new city that will be a starting point toward change and transformation that this country is a country truly democratic. soul, body and all of my life will always fight for rights of the marginalized is to get our citizen rights. Ladyboys no rights, no gay rights, no rights of lesbian, but there's only citizen rights regardless of sexual orientation and gender.

20 April 2010

LGBT Coming Out

Selamat Pagi.

- Terkait dengan kegagalan kongres Gay & Lesbian di Surabaya ini,
sebenarnya bagaimana menurut bu Soe Tjen Masyarakat seharusnya
menyikapi hal tersebut.

Yang saya herankan dari masyarakat Indonesia adalah bila mereka bilang
kalau LGBT (Lesbian gay biseksual transseksual) ini bukan bagian budaya
Indonesia. Orientasi seksual ini harus ditolak karena merupakan
kebudayaan asing. Ini hal yang salah kaprah bagi saya. Misalnya, di
Ponorogo. Di situ ada warok, yang mempunyai gemblak yaitu lelaki muda
yang biasanya cakap parasnya. Dan ini amat diterima di Ponorogo. Bahkan
warok itu amat dihormati.

Dan di Sulawesi, ada Bissu. Dia adalah lelaki yang mirip perempuan dan
berpakaian perempuan. Dan dia adalah pendeta di sana. Mereka juga
mengenal Calalai dan Calabai, yaitu gender-gender yang lain. Tidak
hanya lelaki dan perempuan saja. Bahkan pada abad 17, 18 bahkan sampai
awal abad ke-19, ada catatan-catatan dari misionaris Eropa tentang
keberagaman orientasi seksual di Nusantara ini. Dan justru mereka ini
yang mengecam bahwa orang-orang di Nusantara ini tidak bermoral.

Padahal di Asia Tenggara sendiri orientasi seksual seperti itu diterima
pada jaman dulu. Sekarang malah kebalikannya. Banyak orang Indonesia
yang bilang kalau LGBT itu dari Barat dan tidak bermoral. Gimana ini
sekarang? Jadi yang namanya moral itu sangat rancu.

- Bu Soe Tjen, tapi apakah karena kebudayaan itu sudah mengakar dan
sudah menjadi sebuah kultur dari masyarakat. Jadi, kalau ada LGBT yang
come out atau menampilkan diri, justru ini yang dirasa mengganggu bagi
mereka. Apa benar begitu, ibu Soe Tjen?

Sebenarnya banyak budaya yang bukan merupakan akar dari masyarakat itu.
Tidak ada budaya yang asli sama sekali – biasanya budaya sekarang sudah
merupakan campuran di sana-sini dan dipengaruhi oleh berbagai budaya
lain. Bahkan suatu budaya seringkali adalah comotan dari budaya lain
dan Negara lain. Jadi, kalau ada yang bilang hal ini budaya asli
Indonesia, aduh, ini pernyataan yang tidak masuk akal sama sekali dan
bahkan bodoh sekali. Ini adalah pernyataan orang yang jarang membaca.
Akhirnya inilah yang menyudutkan para LGBT ketika mereka come out,
mereka akhirnya ditolak karena anggapan tidak sesuai dengan akar budaya
Indonesia.

Bahkan beberapa orang juga sempat bertanya apa saya ini lesbian. Saya
biasanya tidak menolak dianggap lesbian. Karena menurut saya, orientasi
seksual itu tidak sepatutnya dipermasalahkan. Itu hak pribadi
seseorang. Kalau ada orang yang bilang saya lesbian, ya terserah. Tapi
saya sekarang mau menyatakan bahwa saya adalah heteroseks yang
pro-LGBT. Mengapa? Karena saat ini, saya merasa malu menjadi
heteroseks, kalau heteroseks hanyalah dibuat sebagai tanda kenormalan
dan bisa mengintimidasi LGBT. Karena itu sekali lagi saya menyatakan
bahwa saya malu menjadi heteroseks, kalau mereka merasa mempunyai hak
melecehkan para LGBT. Saya benar-benar malu.

- Ibu Soe Tjen, golongan LGBT ini juga sering menerima hambatan dari golongan agama. Menurut ibu Soe Tjen ini bagaimana?

Sekarang mari kita bicara tentang agama Islam dulu. Di Alquran, tidak
ada pengutukan terhadap lesbian. Sama sekali tidak. Baca deh, kalau
nggak percaya. Yang dipakai sebagai referensi pengutukan gay lelaki
selalu Sodom dan Gomorah, dan Nabi Lut. Tapi Alquran itu ayatnya banyak
sekali. Jadi tidak saja Sodom dan Gomorah saja yang seharusnya menjadi
referensi. Tapi kisah Sodom dan Gomorah itu sebenarnya dipengaruhi oleh
budaya saat itu dan juga interpretasi manusia yang menuliskannya juga.

Dan ada beberapa hal yang aneh pada kisah itu: Pertama, kalau memang
gay lelaki yang dikutuk, kenapa istri-istri mereka juga dikutuk oleh
Allah? Ini mengherankan sekali. Dan dalam Islam itu ada ijtihad. Yaitu,
kita berpikir sesuai dengan hati nurani dan konteks. Jadi, konteks
Sodom dan Gomorah ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.

- Baik, tapi ini bukan cuma dari satu agama saja, ya bu Soe Tjen. Bukan
hanya agama Islam tapi beberapa golongan lain juga menolak keberadaan
LGBT ini dengan mengatasnamakan agama mereka.

Memang, dari golongan Kristen juga banyak sekali. Sama juga,
referensinya itu juga Sodom dan Gomorah itu. Jawaban saya sebenarnya
hampir sama dengan di Alquran itu dan yang . . . (diputus)

- Baik, bu Soe Tjen. Apakah menurut bu Soe Tjen kebudayaan LGBT ini
diimpor dari luar Negeri atau dasarnya itu sudah ada di Indonesia
aslinya?

Seperti yang sudah saya katakan: Masalah kebudayaan itu amat rancu.
Jadi kebudayaan itu tidak ada yang asli, tidak ada yang bisa disebut
hal ini kebudayaan Indonesia saja. Kebudayaan itu tidak pernah dari
satu sisi. Tapi, LGBT itu ada, dan sempat diterima dalam kebudayaan
kita, bahkan sempat dikecam oleh pihak luar.

- Bu Soe Tjen, sekarang saatnya kita terima komentar dan pertanyaan dari pendengar.

Pertanyaan dan komentar:

1. Begini, mbak, saya melihat di Indonesia ini sudah keblinger. Anda
mengatasnamakan budaya, dan dengan ini mereka bisa menentang agama.
Justru lelaki perempuan ini sudah ditakdirkan oleh Allah untuk para
mahluknya. Kita melihat binatang saja tidak ada yang begitu kok.
Apalagi manusia yang sudah mempunyai aturan-aturan agama. Ketika anda
berbicara agama dan budaya, semua disalahkan untuk membenarkan suatu
hal.

2. Menurut saya, ini harus dipahami dulu oleh ibu. Keberadaan lesbian
dan gay ini apakah hasil kebudayaan, kebiasaan, atau apa saja, ini
harus kita tolak. Ini merupakan penyakit. Seperti yang telah dinyatakan
oleh Profesor Naya Sujana di radio ini. Penyakit ini real, penyakit ini
ada di masyarakat. Jadi, hal ini penyakit. Masyarakat harus
menyembuhkannya. Jadi ibu jangan hanya hantam kromo begitu. Ini masalah
real. Ini memang betul-betul penyakit.

3. Saya menolak homo dan lesbian. Coba buka Alquran dan Hadis. Itu ada
di ALquran dan Hadis. INi penyakit social. Ini adalah penyakit yang
berbahaya. Oleh Rasul Allah kita dianjurkan untuk menikah. Ini sudah
diatur oleh agama dan moral itu sangat penting. Sampai kapan pun saya
tolak ini.

4. Allah sudah menciptakan manusia berpasang-pasangan, jadi jangan
merakayasa Alquran dan membuatnya mengikuti aturan manusia. Karena
hanya manusia aneh yang berbuat demikian.

Jawaban saya:

OK, sekarang tentang Alquran dan Islam dulu. Tapi dalam Islam itu ada
yang namanya Khuntsa. Ini munculnya pada abad-8, saat ada reformasi
pengetahuan dalam dunia Islam. Dan ini tertulis dalam Fikh. Khuntsa itu
artinya lelaki yang keperempuanan. Jadi ada gender-gender yang lain,
ada yang berkelamin ganda juga. Jadi, Quran itu tidak bisa dibaca satu
ayat saja, lalu dicuplik dan dilepaskan dari keseluruhan Alquran. Ini
yang menyebabkan kekerasan dan kebencian. Padahal saya yakin, Islam itu
agama yang penuh cinta kasih.

Sekarang tentang kebudayaan, kalau ada pemirsa yang bilang budaya kita
tidak bisa diterima. Aduh, saya sudah berkali-kali berkata bahwa
kebudayaan itu tidak ada yang asli. Budaya selalu berubah. Seperti yang
saya sebut, dulu orientasi seksual yang berbeda itu cukup diterima di
Nusantara dan bahkan sempat dikecam oleh orang-orang Eropa.

- Baik, ibu Soe Tjen. Jadi, kesimpulannya LGBT belum diterima secara
bebas di Indonesia ya. Kalau sembunyi-sembunyi mungkin tidak apa-apa
ya. Tapi kalau come out, di Indonesia ini mungkin masih belum bisa.
Baik, ibu Soe Tjen Makasih atas waktunya yang diberikan untuk radio
Elshinta.

Solidarität mit ILGA Asien



Der Lesben- und Schwulenverband (LSVD) fordert die Bundesregierung auf,
gegenüber der Regierung Indonesiens auf die Wahrung der vollen
Menschen- und Bürgerrechte für Lesben und Schwule zu pochen.

Am 26. März 2010 verhinderte eine Gruppe islamistischer
Fundamentalisten im indonesischen Surabaya eine Konferenz der
asiatischen Region der International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and
Intersex Association (ILGA). Die mehr als 100 Konferenzteilnehmer innen
und –teilnehmer aus zwölf Staaten wurden belagert, bedroht und
eingeschüchtert. Die 4. ILGA Asien Konferenz sollte vom 26. bis 28.
März in der zweitgrößten Stadt Indonesiens stattfinden. Gastgeber der
Veranstaltung war Indonesiens älteste schwullesbische Organisation GAYa
NUSANTARA, deren Gründer und Direktor, Dede Oetomo, im internationalen
Beirat der Hirschfeld-Eddy- Stiftung vertreten ist. ILGA Asien zählt
mehr als 160 Mitgliedsorganisati onen aus 17 asiatischen Staaten.

Obwohl die örtlichen Polizeibehörden den Organisatoren zunächst ihre
Unterstützung zugesagt hatten, machten sie einen Rückzieher, als die
Fundamentalisten vor Ort massive Proteste ankündigten. Man sehe sich
nicht in der Lage, die Konferenzteilnehmer innen und -teilnehmer zu
schützen. ILGA Asien wurde zu einer öffentlichen Erklärung gezwungen,
wonach die Konferenz offiziell abgesagt werden. Bereits am 24. März
hatte das Mercure Hotel die Gäste wieder ausgeladen, obwohl Zimmer und
Konferenzräume bereits bezahlt waren. Die zahlreichen Aktivistinnen und
Aktivisten mussten in ein anderes Hotel ausweichen. Am 29. März soll
laut Presseberichten das indonesische Ministerium für religiöse
Angelegenheit angekündigt haben, gerichtlich gegen die Organisatoren
der Konferenz vorzugehen wegen „antireligiöser Aktivitäten“.

Das Vorgehen der indonesischen Behörden ist mit der Verfassung des
Landes, die auf weltlichen Prinzipien beruht und den
Gleichheitsgedanken hochhält, unvereinbar. Zudem widerspricht das
Vorgehen der Behörden den demokratischen Prinzipien der Versammlungs-
und Demonstrationsfreih eit und mehreren UN Menschenrechtsabkom men, die
auch Indonesien unterzeichnet hat. Antihomosexuelle Übergriffe
verletzen elementare Menschenrechte wie sie in der Allgemeinen
Erklärung der Menschenrechte und im Internationalen Pakt über
bürgerliche und politische Rechte festgelegt sind. Das Recht auf ein
Leben ohne Diskriminierung schließt den Schutz vor Diskriminierung
aufgrund der sexuellen Identität mit ein.

Der LSVD hat das Auswärtige Amt am 30. März bereits über die Vorfälle
informiert und auf die weiterhin bestehende Gefahr für die
Aktivistinnen und Aktivisten von GAYa NUSANTARA hingewiesen.

Wir fordern die Bundesregierung auf, gegenüber der indonesischen
Regierung gegen das Vorgehen der Behörden in Surabaya zu protestieren
und klarzustellen, dass die Menschenrechte universell und unteilbar
sind, für alle gelten, auch für Lesben und Schwule. Die Frage, wie mit
sexuellen Minderheiten in einer Gesellschaft umgegangen wird, ist immer
ein Lackmustest für den Freiheits- und Reifegrad eines Gemeinwesens. In
der Frage der Achtung der Menschenrechte darf es keine
Hierarchisierungen geben, der eine darf nicht mehr Menschenrechte oder
größeren Schutz genießen als der andere.

Seorang Gay Muslim dan Sekretaris Umum Ourvoice




Konferensi International Gay Lesbian Association (ILGA) Asia ke-4 batal
dilaksanakan 26- 28 Maret 2010 di Surabaya Jawa Timur akibat tekanan
dari kelompok garis keras yang tergabung dalam FUI dan FPI. Padahal
Konferensi itu telah mendapat rekomendasi dari Kepolisian Daerah Jatim
Wilayah Kota Besar Resor Surabaya Selatan REKOM/67/III/ 2010/POLRES
tanggal 3 Maret 2010. Anehnya polisi memilih tunduk pada intimidasi
kelompok garis keras dibandingkan mempertahankan rekomendasi yang mereka
keluarkan sendiri.

Ini menunjukkan kegagalan kepolisian dalam melindungi setiap warga
negaranya untuk berkumpul dan berekspresi. Hak kami sebagai warga
negara yang diatur dalam UUD 45 telah dikalahkan oleh kelompok garis
keras. Tindakan mereka jelas-jelas melanggar hukum telah memaksakan
kehendak pada orang lain dengan menggunakan kekerasan. Sulit dipikirkan
mengapa polisi sebagai aparat negara telah kehilangan wibawa dan
kekuatan di hadapan kelompok pelaku kekerasan. Bahkan Menteri Agama RI
Surya Dharma Ali menyatakan pelaksana konferensi ILGA Asia dapat
dipidanakan. Karena dapat dianggap sebagai bentuk penodaan agama dan
pelecehan susila.

Tindakan pelarangan ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia.
Kita masih ingat pada tanggal 13 Februari 2010 para waria di Banda
Aceh melakukan kegiatan malam sosial mendapatkan kecaman dari para ulama
di Aceh. Menurut Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Ali
di Banda Aceh bahwa “kegiatan itu telah menodai pelaksanaan syariat
Islam di Aceh”. Demikian juga dengan kejadian di Tasikmalaya, yaitu
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tasikmalaya Achef Noor Mubarok
akan melakukan pembinaan kepada 900 gay yang bekerjasama dengan
Departemen Agama (Depag) dan Polisi Resort (Polres) Kota Tasikmalaya,
dengan alasannya karena gay dianggap sebagai penyakit mental dan
dinilai sebuah adzab.

Kekeliruan umum dalam memahami homoseksualitas di Indonesia masih
sangat kuat. Meskipun tuduhan bahwa homoseksualitas itu sama dengan
“penyakit mental” “kelainan jiwa” dan beberapa keliruan lainnya
sebenarnya telah lama dianulir. Pada tahun 1973 American Psychiatric
Association (APA) menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa.
Kemudian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 17 Mei 1990
secara resmi mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit. Sehingga 17 Mei
dijadikan momentum peringatan International Day Against Homophobia
(IDAHO), hari melawan kebencian terhadap homoseksual.

Di Indonesia sendiri dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa, Edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun
1983 (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) 1993, pada point F66 meyebutkan bahwa
orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) jangan
dianggap sebagai suatu gangguan. PPDGJ I-III oleh Depkes ditetapkan
sebagai acuan profesi kesehatan jiwa dan akademisi di seluruh Indoensia.
Sehingga tuduhan oleh orang atau kelompok bahwa homoseksual selalu
dikaitkan dengan gangguan jiwa ataupun penyakit hanya sebuah asumsi dan
tuduhan yang tidak berasalan.

Saya pribadi adalah seorang gay yang hingga saat ini terus menghayati
keislaman saya. Saya dibesarkan di keluarga dan masyarakat muslim
Muhammadiyah. Saya muslim yang meyakini ajaran yang diperintahkan oleh
Allah Swt dan Rasul-Nya: Muhammad Saw seperti sholat, puasa dan juga
berbuat baik pada orang lain. Tidak ada perbedaan ritual ibadah yang
saya lakukan dengan umat Islam pada umumnya. Keyakinan Islam saya
bukanlah seperti keyakinan yang dituduh “sesat” oleh ulama, seperti
Ahmadiyah, Lia Eden, Syiah.

Pertanyaan yang sering mengganggu saya adalah mengapa kebencian sebagian
ulama yang dalam hal ini diwakili kelompok garis keras sangat besar
kepada homoseksual? Tak hanya sebagian ulama yang memiliki kebencian
terhadap homoseksual, tetapi juga pemerintah. Hampir semua peraturan
daerah tentang pelacuran, maksiat, perbuatan asusila memasukan kelompok
homoseksual sama dengan pelacuran. Seperti yang terdapat pada Perda Kota
Palembang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Pelacuran, pasal 8
ayat 1 dan 2 meyebutkan bahwa: Pelacuran adalah perbuatan yang
dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar bertujuan
mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau
tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Yang
termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah a. homoseks; b. lesbian;

Pandangan keagamaan dan peraturan di atas mengingatkan saya ketika
belajar agama pada masa saya kecil bahwa Allah Swt menjanjikan surga
bagi seorang muslim. Rasulullah Saw bersabda melalui Abu Dzar: “Jibril
berkata kepadaku, ‘Barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak
mempersekutukan sesuatu kepada Allah maka dia pasti masuk surga atau
tidak masuk neraka” (HR. Bukhari). Di dalam Al-Quran sendiri terdapat
teks yang tertulis: “Adapun orang – orang yang kafir dan mendustakan
ayat – ayat kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”
(QS Al Baqarah: 39)

“Orang kafir” dalam pemahaman yang saya adalah orang-orang yang tidak
percaya kepada ajaran Allah Swt dan Muhammad Saw. Artinya kalau dikaji
secara sederhana walau saya seorang gay tetapi sepanjang saya beriman
saya tetap bersangka baik pada Allah bahwa saya termasuk yang dijanjikan
masuk surga. Walau doktrin surga yang dijanjikan selama ini tidak
begitu menarik bagi saya. Surga yang digambarkan dengan
bidadari-bidadari yang cantik dan awet muda. Padahal saya tidak ada
ketertarikan sama sekali dengan perempuan. Surga yang terbayangkan oleh
saya adalah surga yang berisi laki-laki dewasa yang ganteng dan
baik-baik.

Sesuatu hal yang sangat sulit dan mungkin mustahil kalau saya harus
meninggalkan rasa cinta dan ketertarikan kepada laki-laki. Sama sulitnya
ketika saya harus meninggalkan Islam sebagai agama yang saya yakini.
Dua hal ini tak mungkin dilepaskan dari saya meskipun dengan paksaan,
kekerasan hingga kehilangan jiwa. Dalam situasi ini apakah kemudian saya
akan meyalahkan Allah Swt yang telah menciptakan saya sebagai seorang
gay?

Mengapa non-muslim yang katanya “kafir” jauh dipandang lebih “baik”
oleh para ulama dan masyarakat muslim di Indonesia dibanding kami:
kalangan homoseksual yang masih beriman? Meskipun saya sadari tidak
sepenuhnya teman-teman non muslim mendapatkan hak-hak yang sama, tetapi
minimal jauh lebih baik dibandingkan dengan saya sebagai seorang gay.
Teman-teman non muslim masih memiliki perlindungan hukum yang jelas,
baik di ruang politik maupun ekonomi.

Bahkan sudah banyak kebijakan nasional maupun international yang
menghargai dan melindungi perbedaan karena keyakinan agamanya, tetapi
nasib ini belum berlaku untuk kami sebagai homoseksual. Jangankan
dipenuhi dan dilindungi hak-haknya, malah mengkriminalkan homoseksual
sebagai seorang pelacur, sakit jiwa dan tuduhan yang menyeramkan
lainnya.

Mengapa hujatan dan hinaan terus dilekatkan kepada kami sebagai kelompok
pendosa dan pembawa bencana bagi kehidupan manusia? Bukankah semua
muslim bersaudara? Bukankah penghormatan kepada setiap orang adalah
esensi dari ajaran Islam? pertanyaan-pertanya an tadi terus berkecamuk
dalam sanubari saya, tetapi saya percaya bahwa hanya Allah Swt yang
paling berhak apakah homoseksual itu berdosa atau tidak.

Salam